Tan Malaka
M Subhan SD ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 31 Maret
2016
Tanggal 13 Februari 1922, Tan Malaka ditangkap di Bandung saat
memimpin sekolah Sarekat Islam (SI). Bagi Belanda, ia berbahaya. Tanggal 23 Maret 2016, juga di Bandung, Tan Malaka dilarang
tampil. Pementasan "Monolog Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah" di
pusat kebudayaan Perancis IFI batal karena ditolak massa. Setelah Wali Kota
Bandung Ridwan Kamil turun tangan, baru esoknya bisa dipentaskan.
Masa lalu telah berlalu, tetapi kecemasan sejarah terus saja
membayang: Tan Malaka masih dianggap berbahaya. Dia memang sosok
kontroversial. Ditolak karena Marxis/komunis. Namanya dihapus dalam sejarah
bangsa oleh rezim Orde Baru.
Tan Malaka memang misterius. Jejak perjuangannya melampaui 11
negara di dua benua. Namun, di mana pun ia berada, selalu dianggap berbahaya.
Dialah orang paling dicari polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika Serikat,
Tiongkok. Terpaksa ia bersembunyi dan menyamar. Sedikitnya ia punya 23 nama
samaran. Toh, pernah merasakan bui di Filipina dan Hongkong.
Tan Malaka memang sosok kontroversi. Marxis, tetapi mengkritik
keras Komunisme Internasional (Komintern) karena enggan bekerja sama dengan
Pan-Islamisme. Pada usia 25 tahun (1921), dia sudah memimpin PKI, tetapi
ditolak oleh PKI. Dia menolak rencana pemberontakan tahun 1926-1927, juga tak
terlibat pemberontakan Madiun tahun 1948. Dari tempat persembunyiannya di
Bangkok, dia membangun partai sendiri, Partai Republik Indonesia (Pari) tahun
1927.
Tan Malaka juga ironi. Mendapat gelar pahlawan pada 1963,
tetapi akhir hayatnya sangat tragis. Dia dieksekusi dengan tangan terikat ke
belakang, yang disinyalir dilakukan tentara pada 1949. Harry A Poeze, sejarawan Belanda yang setia menelusuri jejak
Tan Malaka, menelusuri makamnya di Selopanggung, Kediri.
Namun, sulit membantah Tan Malaka tokoh legendaris. Sesungguhnya
ia nasionalis tulen. Apa pun ideologinya, ia mencurahkan hidup untuk
kemerdekaan bangsanya. Bahkan, tak hirau dengan kehidupannya sendiri. Tak
heran, nama besarnya menjadi patron bagi para pejuang bangsa. Dia disebut
"Bapak Republik Indonesia", setelah menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik) tahun 1925.
Di kalangan mahasiswa sampai awal 1990-an, ia adalah idola. Pada
zaman Orde Baru, buku-bukunya dicari lewat bisik-bisik. Madilog (1943) jadi
puncak karya Tan Malaka, sebagai filsuf sampai tataran praksis, bukan cuma
tataran ide. Berburu buku-buku Tan Malaka tak saja sulit, tetapi juga
kater-ketir. Sekitar 1988-1989, karena sering berjongkok di penjual buku
loakan di Pasar Senen, Jakarta Pusat, beruntung mendapatkan buku-buku lawas
Tan Malaka, termasuk masih dalam bentuk ketikan.
Tahun 1994, ketika pergi ke Bayah, Banten selatan, salah satu
tempat persembunyian Tan Malaka zaman penjajahan Jepang, ada orang tua yang
mengenalnya. Pak Tua cuma ingat, tahun 1940-an, ada lelaki bertubuh tidak
tinggi, tetapi dikenal pintar dan jago bicara. Sayang, sewaktu di Haarlem,
Belanda, tahun 2014, tak sempat menelusuri jejak Tan Malaka (1913-1919).
Sekarang tahun 2016. Komunisme telah lama apkir. Rezim pun telah
berganti. Namun, Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka, begitu nama lengkapnya,
tetap saja "berbahaya". Dia benar-benar pejuang revolusioner yang
kesepian. Sejarah memang penuh ironi. Padahal, kata sejarawan Sir John Seeley
(1834-1895), belajar sejarah agar kita lebih bijak. Kita-generasi yang
merasakan kenikmatan kemerdekaan sekarang-sesungguhnya telah berutang kepada
Tan Malaka dan pendiri bangsa yang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar