Kelas Menengah, Gerakan, dan Aktivisme Online
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN SINDO, 19 Maret
2016
Penetrasi internet
dalam ruang sosial politik kelas menengah Indonesia semakin masif dalam tahun
mutakhir. Tercatat pengguna internet di Indonesia kini mencapai 72 juta
netizen aktif.
Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII) memaparkan persentase aktivasi internet
tersebut yaitu sosialisasi (71%), informasi (65,3%), mengikuti perkembangan
zaman (51,2%), dan bersenang-senang (32,6%). Media sosial menempati fitur
teratas dalam aktivasi internet di Indonesia dengan menempatkan aplikasi
Facebook (14%), WhatsApp (12%), dan Twitter (11%), sebagai tiga model sosial
media teratas kelas menengah Indonesia.
Besarnya atensi kelas
menengah dalam menggunakan media sosial tersebut merupakan bagian dari upaya
membentuk ruang publik baru. Hal itu juga bagian dari fenomena representasi
populer yang tengah menggejala di negara- negara kawasan Asia Tenggara.
Masyarakat mencoba membuat saluran representasi baru yang sifatnya informal
ketika artikulasi kepentingan dalam arena formal berlangsung secara elitis (Stokke,
2010).
Maka itu, media sosial
kemudian dianggap sebagai alat penting dalam artikulasi kepentingan publik
tersebut. Krisis representasi menjadi penting untuk dibicarakan dalam
menganalisis kemunculan aktivisme politik kelas menengah Indonesia melalui
media sosial ini. Gejala tersebut berkelindan dengan munculnya gelombang
media baru (new media) yang
menggejala di Indonesia sejak penetrasi internet tersebut.
Seperti yang telah
dijelaskan di atas bahwa internet telah mengubah kontur maupun tekstur masyarakat
Indonesia secara keseluruhan. Melalui percakapan yang terjadi dalam dunia
media sosial tersebut, kelas menengah Indonesia mampu menampilkan dirinya
sebagai demos untuk penyeimbang dan pengawas negara.
Berbagai gerakan
politik mutakhir dari kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) vs Polri pada
2009-2010 hingga relawan pada Pemilu 2014 menunjukkan bahwa kekuatan politik
media sosial merupakan kekuatan potensial dalam lanskap politik Indonesia.
Dorongan kelas menengah yang secara intens dan instan dalam mengakses media
sosial merupakan elemen penting gerakan politik tersebut.
Apalagi, kelas
menengah Indonesia kini didominasi kalangan profesional (55%), mahasiswa
(18%), dan ibu rumah tangga (16%) merupakan aktor penting yang membuat
gerakan politik tersebut berlangsung secara masif dan dinamis. Adapun
pertanyaan penting dalam melihat gejala tersebut adalah sampai sejauh mana
keefektifan sosial media sebagai alat politik kelas menengah Indonesia
kekinian.
Pertanyaan tersebut
penting untuk menjawab relasi partisipasi publik dalam demokrasi kekinian.
Digitalisasi pelayanan publik maupun semakin terbukanya pemerintahan dalam
skema egovernment merupakan upaya
pemerintah mendekatkan diri kepada masyarakat sehingga diharapkan mendorong
partisipasi publik dalam masyarakat.
Aktivasi internet
kelas menengah Indonesia yang masih berupa leisure and pleasure perlu
dioptimalkan sebagai kekuatan politik penekan. Hal ini karena jangan sampai
aktivisme internet yang kini sedang berkembang terjerembab dalam bentuk aktivisme
malas. Munculnya internet sebagai media gerakan memang berperan penting dalam
melakukan transformasi politik, namun itu belumlah menjadi kekuatan
solidaritas bersama.
Munculnya platform
petisi online seperti change.org merupakan contoh menarik dalam melihat sisi
politik tersebut. Sebelumnya gerakan relawan juga sukses menghadirkan gerakan
people power masif pasca-1998 yang kesemuanya didorong oleh internet.
Karenaitulah, pentinguntuk terus menjaga konsistensi dan eksistensi aktivisme
politik online tersebut sebagai pengawas (watchdog)
jalannya pemerintahan sekarang ini.
Catatan penting yang
perlu digaris bawahi dalam membaca aktivitas politik online kelas menengah
Indonesia, tidak selalu berujung pada aksi gerakan. Gerakan politik online
membutuhkan ada isu dan figuritas yang kuat sehingga mampu mendorong publik
untuk ikut berpartisipasi dalam arena politik online.
Selama ini aktivitas
politik online lebihbanyakdidominasiaktivitas forwarding message, like and
dislike, maupun updating status yang lazim disebut sebagai slacktivism
(aktivisme malas). Dalam kasus gerakan politik online kelas menengah
Indonesia, masih membutuhkan ada endorser dan influencer yang kuat di ranah
politik online.
Dengan kata lain,
patronase politik masih berlaku di Indonesia meski kini sudah memasuki iklim
demokratisasi. Tantangan lain yang dihadapi dalam aktivitas online adalah
persebaran internet di Indonesia juga belumlah maksimal. Konsentrasi populasi
internet terbesar yaitu Jawa sebesar 52%, diikuti Sumatera sebesar 18,6%, dan
sisanya Indonesia wilayah timur sebesar 13,4%.
Kelas menengah
terdidik masih berpusat di Jawa, sementara masyarakat non-Jawa yang lain
masih menjadi follower politik dari masyarakat urban Jawa. Dengan kata lain,
kemunculan kelas menengah terdidik karena ada diseminasi internet sebatas
berada di Pulau Jawa, sedangkan pola kelas menengah yang timbul dan lahir di
non-Jawa masih sebatas isu ekonomi.
Hal itu kemudian
berdampak pada sosialisasi nilai-nilai demokrasi yang timpang—partisipasi
politik mulai tumbuh di Jawa, sementara bagi kelompok kelas menengah yang
lain masih permisif terhadap politik. Kehadiran internet dalam demokrasi di
Indonesia memang urgen dan signifikan untuk meruntuhkan dinding-dinding
elitisme dan oligarki kekuasaan yang membatasi partisipasi publik meluas.
Terlebih lagi
pertumbuhan kelas menengah Indonesia sebagai motor politik dan ekonomi
sehingga jangan terlalu dikonsentrasikan di Jawa saja. Khususnya bagi
kelompok kelas menengah Indonesia, perlu untuk memanifestasikan diri sebagai
kelompok penekan (pressure groups),
dan tidak sekadar kelompok kepentingan (interest
groups).
Hal itu tentu karena
melalui aktivitas politik online sekarang ini dapat mengubah arah haluan
politik negara. Dalam beberapa tahun ke depan, demokratisasi di Indonesia
akan semakin riuh dalam konten digital sehingga penting untuk disimak
mengenai perkembangan dunia media sosial, bagi kelas-kelas menengah ini dalam
pendalaman demokrasi baik di tingkat nasional maupun aras lokal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar