Taksi dan Negara yang Tidak Terkonsolidasi
Kacung Marijan ;
Kepala LPPM Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya;
Guru Besar FISIP Universitas
Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 24 Maret
2016
DEMO para sopir layanan transportasi
konvensional yang disertai bentrokan antara mereka dan sopir transportasi
berbasis aplikasi online sungguh memilukan. Selain membuat Jakarta terganggu
seharian, tidak sedikit kendaraan yang rusak. Dan, kepala mereka yang
terlibat bentrokan berdarah-darah.
Bagi penganut analisis kelas, bentrokan itu
jelas tidak masuk akal. Yang terlibat berasal dari kelas yang sama, yaitu
sama-sama dari ''kelas pekerja''. Secara teoretis, seharusnya mereka bersatu,
sama-sama memperjuangkan kepentingan untuk menyejahterahkan diri mereka. Tetapi,
mengapa mereka justru berseteru hebat?
Pasar Terbatas
Secara sosial, mereka memang berasal dari
kelas yang sama. Mereka juga bekerja di ladang yang sama, yaitu jasa
transportasi. Jasa itu memang tumbuh sangat pesat seiring dengan tumbuh
kembangnya ekonomi di perkotaan. Mengingat negara tidak mampu melayani
kebutuhan semacam itu, negara membuka ruang bagi pelaku ekonomi swasta untuk
terlibat dalam industri jasa seperti itu.
Sebagaimana hukum pasar, kebutuhan dan
persaingan di dalam pasar telah melahirkan beragam kreativitas serta inovasi
di dalam memberikan layanan. Kalau sebelumnya layanan terpaku pada angkutan
kota (angkot) dan bus kota, lalu muncul taksi yang pergerakannya tidak harus
mengikuti rute.
Kemunculan taksi yang bebas bergerak pada
awalnya melahirkan ketegangan. Tetapi, ketegangan itu relatif terkontrol dan
akhirnya bisa diterima. Hal itu bisa terjadi setidaknya karena tiga hal.
Pertama, terdapat ''pembagian ladang'' antara
angkot/bus kota dan taksi. Angkot dan bus kota melayani rute tertentu, sedangkan
taksi tanpa jalur. Kedua, ongkos angkot/bus kota lebih murah, sedangkan taksi
lebih mahal. Ketiga, pemerintah bertindak sebagai regulator, telah hadir
dalam mengatur perubahan itu.
Pesatnya teknologi informasi telah melahirkan
inovasi dan kreativitas baru dalam industri jasa transportasi seperti yang
kita lihat belakangan. Inovasi dan kreativitas itu tidak hanya hadir dalam
bentuk kecepatan dalam memberikan layanan, melainkan juga pengorganisasian
dalam memberikan pelayanan.
Dalam hal penggunaan teknologi informasi,
sebenarnya tidak muncul masalah yang terlalu serius. Perusahaan-perusahaan
penyedia jasa transportasi konvensional juga bisa menggunakan teknologi
serupa. Sederhana.
Tetapi, dalam hal pengorganisasian pemberian
layanan, telah timbul ancaman yang sangat serius. Pemain baru itu, baik dalam
menyediakan jasa motor maupun mobil, telah melibatkan individu-individu
publik di dalam sistem mereka. Penyedia lebih sebagai organisator dan
penyedia teknologi, sedangkan alat transportasinya berasal dari individu
anggota masyarakat.
Pengorganisasian semacam itu tidak hanya
membuat layanan lebih cepat, tetapi juga ongkosnya jauh bisa ditekan.
Organisatornya, misalnya, tidak perlu memikirkan biaya perawatan dan beberapa
biaya lainnya.
Yang lebih praktis, mereka tidak perlu
berhadapan dengan ''rezim birokrasi'' terkait dengan perizinan dan aturan
lain-lainnya. Implikasinya, pengguna transportasi cepat jatuh cinta kepada
pemain baru tersebut.
Di lain pihak, dalam tahun-tahun terakhir ini,
kondisi perekonomian Indonesia sedang lesu. Implikasinya, pengguna layanan
transportasi juga tidak mengalami pertumbuhan. Dalam situasi kapasitas pasar
yang terbatas semacam itulah, kemunculan pemain baru tersebut melahirkan
tantangan yang sangat serius. Mereka sama-sama mencari rezeki untuk
menghidupi keluarga dalam suasana yang sangat menekan. Akibatnya, pemain
transportasi konvensional bersatu melawan pemain baru.
Negara
Suasana bertambah tegang karena negara tidak
terkonsolidasi secara baik. Di satu sisi, sebagai institusi teknis yang
menangani masalah transportasi, Kementerian Perhubungan berusaha konsisten
terhadap regulasi dengan cara melarang penyedia jasa transportasi aplikasi
online. Di sisi lain, Kementerian Komunikasi dan Informatika mendukung
perkembangan penggunaan teknologi informasi itu. Presiden dan wakil presiden
juga mendukung.
Suasana menjadi semakin panas karena negara
dianggap tidak hanya merusak kehidupan ekonomi para pemberi jasa layanan
transportasi konvensional. Melainkan juga dianggap tidak memperlakukan mereka
secara adil. Mereka, misalnya, dituntut mengikuti aturan, mulai perizinan
sampai pajak. Sedangkan pemain baru tidak.
Secara substansi, tidak ada yang salah dalam
pernyataan presiden dan wakil presiden. Penggunaan teknologi informasi di
dalam industri transportasi merupakan suatu keniscayaan, tidak akan bisa
dihindari. Hal serupa terjadi di negara-negara lain.
Tetapi, membiarkan inovasi dan kreativitas
masuk begitu saja ke wilayah pasar tanpa aturan lain yang jelas juga
sama-sama membuka ruang yang seluas-luasnya kepada pemain untuk berjibaku
secara terbuka.
Di negara yang paling liberal sekali pun,
fungsi negara sebagai regulator tidak pernah hilang. Negara bertindak sebagai
perumus kebijakan untuk mengatur permainan di pasar agar berlangsung secara
fair. Negara juga berperan sebagai pemberi hukuman ketika para pemain itu
melakukan pelanggaran.
Masuknya pemain baru dalam dunia transportasi
tidak perlu melahirkan kegaduhan seperti sekarang ini jika negara hadir dan
terkonsolidasi secara baik dalam membuat dan mengimplementasikan regulasi
secara adil untuk semua pemain.
Regulasi tidak berarti adanya pengekangan yang
membuat inovasi dan kreativitas terdera. Regulasi itu juga bermakna adanya
kepastian dan rasa aman untuk bersama-sama mencari rezeki di ladang yang sama
secara adil serta menguntungkan banyak pihak. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar