Ombudsman tidak Menakutkan
Amzulian Rifai ; Ketua Ombudsman RI
|
MEDIA INDONESIA,
18 Maret 2016
BEGITULAH anggapan sebagian orang yang
mengenal lembaga negara yang tugasnya mengawasi pelaksanaan pelayanan publik
ini. Padahal, sepertinya untuk `kelas masyarakat Indonesia' menjadi lembaga
yang menakutkan itu elemen penting untuk bekerja. Mungkin kata menakutkan itu
identik dengan kepatuhan terhadapnya.
Memang persoalan serius dengan lembaga-lembaga
yang ada di negeri ini ialah soal kewibawaannya. Lembaga negara yang
berwibawa terkadang dinilai jelmaan dari lembaga yang menakutkan. Akibatnya
tolok ukur dan ekpektasi terhadap suatu lembaga mestilah menakutkan. Padahal,
jika era demokratis dan civil society
yang dikedepankan, kesan seram dan menakutkan mestinya ditinggalkan.
Ada yang percaya salah satu cara agar
menakutkan, harus berwenang untuk menahan dan memenjarakannya. Setiap lembaga
yang memiliki kewenangan memenjarakan sepertinya menjadi lembaga yang
ditakuti. Walaupun dengan kewenangan tersebut justru rentan penyelewengan. Isunya
justru kewenangan memenjarakan itu juga dimanfaatkan oknum tidak bertanggung
jawab untuk berlaku korup, tentu bukan kebijakan lembaganya.
Memang tidak
menakutkan
Ada beberapa alasan mengapa lembaga negara
Ombudsman memang tidak boleh menakutkan, antara lain karena filosofi
kehadiran Ombudsman untuk menyelesaikan permasalahan, tidak bertujuan
menghukum apalagi untuk memenjarakan. Walaupun bisa saja implikasi dari
proses interaksinya ada bukti-bukti yang mungkin saja berlanjut ke wilayah
hukum. Kehadiran Ombudsman berfungsi sebagai fasilitator dari persoalan yang
dihadapi pelapor dan terlapor. Ombudsman tidak dalam posisi sebagai lembaga
yang pasti membela pelapor.
Ombudsman memang berbeda dan mungkin sama apabila
dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara lainnya seperti kepolisian,
kejaksaan, ataupun KPK. Ombudsman berfungsi sebagai penengah agar apa yang
diselisihkan dapat terselesaikan dengan baik. Penyelenggara negara dan
pemerintahan memahami kesalahan dan memperbaiki kekurangan itu.
Pelayanan
kepada publik yang merupakan kewajiban mereka kepada masyakarat harusnya
menjadi nyata. Menggenapi keterbatasan Ombudsman, tidak pula memiliki
wewenang eksekusi atau menghukum.Batas kewenangan mereka hanyalah memberikan
rekomendasi terhadap para pihak.
Bahkan temuan-temuan Ombudsman tidak
serta-merta dapat dipublikasikan. Pasal 38 UU No 37/2008 membatasi hanya
terlapor yang `membangkang' tidak menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman saja
dapat dipublikasikan atau atas dasar demi kepentingan umum. Artinya, secara
prinsip Ombudsman memang tidak dihadirkan untuk bekerja dengan ingar-bingar
walaupun tentu saja publikasi terhadap institusi ini tetap dibutuhkan.
Membangun kesadaran
Konsen Ombudsman RI ialah bagaimana
terciptanya kesadaran para penyelenggara negara dan pemerintahan bahwa mereka
adalah pelayan publik. Justru selama ini `kebanyakan' birokrat merasa dirinya
sebagai pegawai negara yang harus dihormati, dilayani. Mereka ialah government official, berbeda jauh
dengan istilah public servant di
negeri luar sana.
Implikasi positif yang pertama, akan berkurang
signifikan perilaku koruptif juga kolusi dan nepotisme di kalangan
penyelenggara negara dan pemerintahan. Justru tingginya praktik KKN selama
ini disebabkan lemahnya kultur melayani di kalangan birokrasi pemerintah.
Implikasi kedua, publik memiliki tingkat
kepercayaan yang tinggi kepada lembagalembaga negaranya. Kepercayaan publik
yang tinggi sebagai modal utama dalam bekerja. Kondisi itu pula menjadi
perekat partisipasi publik terhadap berbagai program dari lembaga itu. Di
Indonesia justru absennya kepercayaan publik inilah sebagai kendala utama
bagi kebanyakan lembaga negara. Akibatnya, prestasi tinggi sekalipun yang
dicapai tidak mendapatkan apresiasi yang patut dari publik. Itu juga sebagai
refleksi lemahnya support publik terhadap tampilan mereka.
Dukungan parlemen
Setiap lembaga negara memerlukan dukungan
parle men. Begitulah yang terjadi di negara-negara demokratis. Idealnya
parlemen ialah penjelmaan dari masyarakat dengan berbagai aspirasinya.Oleh
karena itu, seharusnya `sepak terjang' parlemen terhadap lembaga-lembaga
negara suportif atas dasar ekspektasi publik. Sebagai mitra strategis, jauh
dari kesan subordinasi.
Khusus terhadap Ombudsman, sejauh ini Komisi
II DPR RI telah menunjukkan sikap suportif dan memperhatikan aspirasi publik.
Proses seleksi anggota Ombudsman 20162021 kental dengan aspirasi publik
tersebut. Komitmen Komisi II DPR RI untuk membesarkan lembaga negara pengawas
pelaksanaan pelayanan publik ini juga nyata.
Sejak awal, Komisi II DPR RI juga menyadari
Ombudsman memiliki keterbatasan dana dan SDM yang harus mendapat perhatian
patut. Ombudsman harus menghidupi kantor perwakilannya di 33 provinsi dan
kantor pusat dengan dana minim.
Komisi II DPR RI memberikan dukungan yang
tinggi, ikut memikirkan `bagaimana caranya' agar Ombudsman menjadi lembaga
yang bergigi walaupun tidak harus menyeramkan. Para wakil rakyat menyadari
bahwa sulit bagi Ombudsman untuk menjalankan tugas secara efektif jika temuan
mereka hanya berakhir dalam bentuk rekomendasi. Itu sebabnya sudah ada
ancang-ancang untuk merevisi UU No 37/2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia.
Esensi dari negara hukum, negara demokrasi,
dan negara kesejahteraan ialah pelayanan publik. Pada akhirnya pelayanan
publik prima inilah yang menjadi tujuan kita bernegara. Itu sebabnya dibentuk
Ombudsman sebagai lembaga pengawasnya. Mestinya rekomendasi Ombudsman
ditindaklanjuti sebagai kebutuhan para terlapor dalam upaya menggapai
kepercayaan publik yang belum bisa diraih kebanyakan birokrasi di negeri ini.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar