Danau Toba, Konservasi dan Edukasi
Mangadar Situmorang ;
Rektor Universitas Katolik Parahyangan
|
KOMPAS, 08 Maret
2016
Determinasi pemerintah
untuk menjadikan kawasan Danau Toba sebagai destinasi pariwisata
internasional didasarkan pada penilaian (appraisal) ekonomis dan nirekonomis.
Sebagaimana
dikemukakan para pejabat terkait, secara global sektor pariwisata kian
signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dunia dan secara nasional pariwisata
diproyeksikan menjadi penyumbang devisa terbesar. Sebagai bagian dari
kalkulasi ekonomi dan nirekonomi itu, pariwisata Danau Toba juga diyakini
memberi dampak positif bagi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Toba.
Optimisme yang
digaungkan pemerintah dan antusiasme yang ditunjukkan berbagai lapisan ma-
syarakat berangkat dari pengakuan kolektif: Danau Toba dan sekitarnya
berpotensi pariwisata luar biasa. Ini mencakup keindahan warisan sejarah bumi
yang merupakan hasil letusan gunung berapi 74.000 tahun silam dan
keistimewaan peradaban umat manusia yang tinggal dan menyatu dengan alam itu.
Karena itu, keduanya
harus dapat dikelola sebaik-baiknya sekaligus dimanfaatkan untuk tujuan
pembangunan. Jika dikelola dengan tepat dan holistis, pariwisata Danau Toba
akan berdampak positif luas karena berdasar pada sumber daya alam tak
berkesudahan dan berbasis pada masyarakat dan budaya luhur.
Determinasi pemerintah
tampaknya akan segera diikuti dengan eksekusi konversi.Langkah konversi
pertama yang harus dilakukan adalah restorasi daya dukung kawasan. Ini dapat
dilaksanakan sesegera mungkin: menghentikan seluruh aktivitas ekonomis dan
nirekonomis yang telah mengakibatkan degradasi dan kerusakan lingkungan yang
luar biasa. Penebangan hutan secara liar, perikanan jaring apung (keramba),
dan pembuangan limbah ke danau oleh industri peternakan dan pertanian
(pestisida) merupakan tiga kelompok kegiatan yang selama ini telah merusak
bukan saja keindahan, melainkan juga daya hidup dan daya dukung kawasan.
Langkah kedua yang
segera mengikuti adalah reboisasi hamparan hutan di sepanjang Bukit Barisan
yang mengitari danau dan jadi sumber pasokan air Danau Toba. Ini bertujuan
mengembalikan keindahan serta memulihkan daya dukung alam untuk sebuah
industri ekoturisme. Jika berhasil dilakukan, ini akan menegaskan keunggulan
paradigma pembangunan berbasis alam dan bukan paradigma yang merusak alam
melalui kegiatan ekstraktif dan eksploitatif, seperti pertambangan atau
perkebunan modern.
Sejalan dengan desain
ekoturisme, kegiatan restorasi akan diikuti dengan pemetaan kawasan untuk
fungsi tertentu. Dalam hal ini konversi lahan menjadi dominan. Ini harus
diwaspadai karena kerap menimbulkan kontroversi. Secara indikatif konversi
ini bisa mencakup pengalihan fungsi, perluasan manfaat, sekaligus pemaknaan
ulang terhadap alam dan lingkungan hidup.
Pengalihan fungsi bisa
berarti pemanfaatan lahan atau area tadinya tak ekonomis menjadi ekonomis.
Perlu menghindari pengalihan lahan/kawasan yang potensial untuk pertanian
atau pengalihan kawasan yang memiliki situs historis, kebudayaan, atau
bermakna sakral dan religius. Lereng gunung yang sangat terjal, tandus, dan
rawan longsor boleh jadi terbuka dialihfungsikan jadi kawasan berpotensi
edukatif dan rekreatif. Rekayasa sains dan teknologi amat membantu konversi
semacam ini.
Konversi yang
merupakan upaya peningkatan manfaat tampaknya tak terlalu sensitif. Sebagai
ilustrasi, jika selama ini kawasan Danau Toba hanya sekadar tempat tinggal
bagi penduduk setempat, melalui pariwisata daerah itu menjadi tempat tujuan
banyak orang mendapat pelajaran dan pengetahuan. Kampung- kampung adat atau
luat dapat dikembangkan menjadi obyek wisata tempat wisatawan belajar dan
mengalami. Danau yang selama ini untuk mencari ikan dan dijual di pasar
tradisional atau sebagai sumber air bersih untuk kebutuhan rumah tangga dan
pertanian dapat dikembangkan menjadi sarana edukasi, olahraga, dan rekreasi.
Perlu dicermati
sungguh-sungguh bahwa pengalihan dan perluasan fungsi lahan sangat rentan
terhadap terjadinya kemungkinan tuduhan praktik perampasan, penyerobotan
lahan, atau bahkan penggusuran penduduk. Ini akan memicu perdebatan,
pertikaian, bahkan tindak kekerasan. Dalam banyak kasus, klaim atas
kepemilikan lahan/tanah baik secara legal maupun kultural tidak selalu mudah
dikompromikan dan berakhir dengan solusi-solusi yang beradab.
Preservasi budaya
Keindahan alam Danau
Toba tak dapat dipisahkan dari masyarakat yang tinggal di kawasan itu. Ini
termasuk seluruh aspek kebudayaan yang dimilikinya. Karena itu, pariwisata
Danau Toba tak hanya merupakan wisata alam, tetapi juga wisata historis,
wisata kultural, bahkan wisata spiritual (seperti ziarah). Ada satu kesatuan
dari alam, masyarakat, dan budaya setempat. Hal itu tampaknya sejalan dengan
pernyataan Menteri Pariwisata Arief Yahya bahwa pemerintah ingin menciptakan
”10 Bali baru” di Indonesia, salah satunya kawasan Danau Toba.
Seperti halnya
destinasi internasional Bali, berarti seluruh unsur kebudayaan harus dijaga
dan dirawat. Ini meliputi sistem pengetahuan dan kepercayaan, sistem ekonomi,
dan tatanan sosial kemasyarakatan yang, sekali lagi, menyatu dengan
lingkungan alamnya (tanah dan danau).
Pemerintah dan seluruh
pihak yang terkait dengan pembangunan ekowisata Danau Toba tak boleh
mengabaikan kekhawatiran/ketakutan sebagian masyarakat bahwa pariwisata
justru akan menggusur masyarakat dari tanah kelahirannya, bona pasogit, dan
mencabut mereka dari akar budaya dan sistem kepercayaan yang diwarisi dari
nenek moyangnya selama berabad-abad.
Fakta penggusuran
(yang terjadi di berbagai tempat guna mengakomodasi berbagai megaproyek,
seperti jalan tol, bandara, atau infrastruktur lain) dikhawatirkan dialami
masyarakat di sekitar Danau Toba. Jika dikemas dengan berbagai argumentasi
akademis bahkan ideologis, kecemasan dan ketakutan semacam itu dapat berubah
menjadi penolakan. Akibatnya, keputusan pemerintah hanya sekadar keputusan
tanpa implementasi.
Untuk menghindari
penolakan yang masif dan kultural, pemerintah pusat ataupun jajaran
kabupaten, kecamatan, dan desa perlu segera mengambil langkah antisipatif.
Sosialisasi kebijakan pembangunan pariwisata perlu dilakukan sejak dini,
terstruktur, dan berkelanjutan. Lebih jauh lagi, melibatkan komponen
masyarakat, seperti sekolah, lembaga keagamaan, dan asosiasi adat. Masyarakat
perlu dipersiapkan. Berbagai ragam organisasi masyarakat sipil lain dapat
disertakan dalam edukasi ini.
Kombinasi aparat
pemerintahan (hingga desa), tokoh adat atau marga, dan unsur masyarakat sipil
lain dapat jadi critical mass yang mengusung semangat pembangunan dan
konservasi. Semuanya membawa pesan sama bahwa pembangunan pariwisata Danau
Toba tak akan merusak lingkungan alam dan tak akan jadi ancaman terhadap
tatanan sosio-kultural masyarakat.
Tujuan sosialisasi dan
edukasi adalah mendapatkan pengertian dan dukungan dari masyarakat bahwa
pembangunan itu justru dimaksudkan menjaga alam dan merawat budaya leluhur
sembari memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Dengan edukasi yang baik, masyarakat akan ambil bagian, jadi pelaku utama,
dan penerima utama industri jasa pariwisata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar