Ahok dan Demokrasi
Poo Tjian Sie ;
Lulusan Beijing Language and
Culture University
|
KORAN JAKARTA, 15
Maret 2016
Keputusan Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
maju Pilkada DKI 2017 lewat jalur perseorangan terus menjadi sorotan
dan menjadi “trending topic.” Ahok mengibaratkan pilihannya seperti Presiden Soekarno yang diculik kaum muda ke
Rengasdengklok, Karawang, Jabar.
Semula Bung Karno tidak ingin merdeka 17 Agustus
1945. Dia menunggu Jepang. Tapi anak-anak muda memaksanya memproklamasikan
kemerdekaan pada 17 Agustus. Demikian juga anak muda “Teman Ahok,” mendesak Ahok agar memilih jalur independen. Menurut
Ahok, maju lewat PDIP membuka kesempatan lebih besar mempertahankan kursi
DKI-1.
PDIP memenuhi
syarat mengusung cagub sendiri di DKI.
Mesin partai juga bisa digunakan untuk pemenangan. Ahok mengibaratkan maju
lewat PDIP seperti naik mobil mewah. Sedangkan jalur independen bagaikan naik bus. Teman Ahok mengingatkan, kalau naik mobil bagus memang enak, tapi Ahok sendirian. Naik
bus bersama masyarakat.
Ahok menambahkan, jika
hanya mengejar jabatan, sudah lama
masuk partai politik. Tidak heran,
pilihan Ahok lewat jalur independen
dianggap sebagai deparpolisasi. Ketua Umum PDI-P Megawati
Soekarnoputri ketika mengumpulkan para elite PDI-P Senin (7/3) malam, memerintahkan PDI-P DKI Jakarta memperkuat
konsolidasi dan melawan deparpolisasi.
Namun penilaian
deparpolisasi itu sesunguhnya tidak terlalu tepat. Ada hukum positif yang
dibuat parpol mengizinkan
jalur perseorangan. Buktinya, pada pilkada serentak tahun 2015, ada 35%
pasangan calon perseorangan. Malahan
14,4% mereka mengalahkan
kandidat yang diusung parpol.
Memang dalam sistem
demokrasi perwakilan seperti di sini,
parpol tidak bisa diabaikan. Bahkan ada jaminan konstitusional dalam
Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah
partai politik.” Kemudian dalam Pasal
6A ayat (2) ”Pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Hanya, harus diakui, ada kejenuhan masyarakat
terhadap parpol terutama perilaku
mereka. Menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti , langkah Ahok
seperti ingin memberi pelajaran kepada parpol
agar tidak gengsi. Sebab banyak parpol
merasa harus didatangi, bukan sebaliknya. Buktinya cagub DKI lain seperti Yusril Ihza Mahendra dan
Adhyaksa Dault kini mempertimbangkan untuk mengikuti jejak Ahok memilih jalur
independen.
Ahok juga
menegaskan, langkahnya bukan
deparpolisasi. Dia tidak keberatan didukung Nasdem.
Ketika bersama Jokowi
maju sebagai pasangan cagub dan wagub
DKI 2012, mereka didukung PDIP dan Gerindra. Ahok diaggap sebagai
kartu mati karena Tionghoa dan Kristen. Maklum etnis dan agama yang
menempel pada Ahok dalam peta perpolitikan
negeri ini, dianggap
sebagai kartu mati atau kendala. Meski
menghadapi kampanye hitam, terkait etnis dan agama, syukurlah sebagian besar masyarakat Jakarta
yang heterogen akhirnya memilih pasangan itu.
Meski hanya menjadi
orang nomor dua, Ahok bukanlah bayang-bayang Jokowi. Dia memprakarsai transparansi semua agenda
rapat dan kegiatan agar bisa dilihat
publik di Youtube. Salah satu videonya, saat sedang ‘mengajar’ karyawan Dinas
Pekerjaan Umum (PU) DKI di Ruang Rapat Bappeda DKI, yang diunggah pada 8 November 2012, pada 29
November pagi, jumlah viewers-nya
hingga 1,3 juta. Pamor Ahok pun melonjak drastis.
Setelah Jokowi menjadi presiden, bekas bupati Belitung Timur ini sejak 1
Juni 2014 menjadi Pelaksana Tugas Gubernur DKI. Dia pada 24 September 2014 dilantik menjadi Gubernur DKI. Pelantikannya menjadi
berita besar. Majalah Time membuat judul “Indonesia
Reaches Racial Milestone With Chinese Governor of Jakarta” (Indonesia
meraih batu loncatan dalam ras, dengan memilih Gubernur Jakarta dari etnis
Tionghoa).
Meski ada ormas mencoba menolak pelantikan, juga karena
sentimen agama, tak ada yang bisa menghalangi pelantikannya. Apalagi,
demokrasi Indonesia bukanlah
teokrasi atau berdasar agama, tapi
berbasis pada pilihan rakyat. Siapa pun yang mendapat mandat langsung rakyat untuk menjadi pemimpin, tak akan
bisa digagalkan. Ahok tak mau mengkhianati suara rakyat yang memilihnya.
Terkait parpol, Ahok
memang kerap membuat langkah berani. Sosok
kelahiran 29 Juni 1966 di Manggar,
Belitung Timur itu berani mundur dari
Gerindra. Padahal ketika masih jadi anggota DPR dari Golkar
(2009-2014), Gerindra merayunya untuk mendampingi Jokowi dalam Pilgub DKI
2012. Setelah diantar ke kursi wagub, Ahok justru mundur dari Gerindra.
Dia tak setuju
kebijakan partai yang hendak mengembalikan mekanisme pemilihan kepala
daerah (Pilkada) lewat DPRD. Ahok
berani melawan hegemoni parpol. Dia
hanya loyal pada pemilihnya, bukan ke parpol pengusung.
Kepentingan Luas
Langkah Ahok sejak
Wagub DKI menjadi bukti sosok
yang bekerja untuk orang banyak dan kepentingan luas. Simak saja, baru genap 100 hari memimpin Jakarta per 26
Februari 2015 lalu, dia kembali
berhadapan dengan para anggota DPRD DKI yang mengajukan hak angket untuk memakzulkan.
Sebab Ahok menemukan ada dana siluman 12,1 triliun rupiah dalam draf APBD 2015.
Salah satu yang
membuat dia geleng-geleng kepala
adalah proyek pengadaan buku Trilogi Ahok sebesar 30 miliar rupiah dalam RAPBD 2015. Tapi
terbukti, pemakzulan akhirnya gagal.
Ahok juga terus
mencoba mencari akar masalah banjir di Jakarta. Dia berani menggusur warga
Kampung Pulo bahkan Kalijodo, dengan
menyediakan rusun. Meski terus
dicap kafir oleh kalangan tertentu, dialah gubernur pertama DKI yang
memberangkatkan 40 penjaga mesjid
Jakarta untuk umrah. Ahoklah yang membangun mesjid megah di Balai
Kota. Dia pula gubernur nonmuslim yang mengorbankan puluhan sapi tiap Idul
Adha.
Itu semua menjadi
bukti, Ahok sama sekali tak
tersandera etnis atau agamanya. Malah
dia bisa melampaui semua ini seperti terbukti
gajinya disihkan untuk sedekah,
infaq dan zakat bagi orang miskin.
Di negara
demokrasi, sebenarnya pertimbangan untuk menjadi pemimpin tak boleh
lagi mengacu pada faktor primodial seperti ras dan agama. Ahok mungkin mirip
Faruk Choudhury, wali kota Bristol yang muslim ketika terpilih pada 2013. Ahok mungkin juga mirip
Lutfur Rahman, Wali kota muslim di
Tower Hamlets, sebuah kota kecil
London, Inggris. Ahok mungkin masih di bawah presiden ke-11 India yang beragama Islam, Abdul Kalam, yang menjabat 2002-2007.
India mayoritas Hindu.
Jadi untuk negara yang
sangat majemuk seperti Indonesia, ke depan jelas diperlukan pemimpin
dengan kapabilitas, kompetensi dan
menyejahterakan semua lapisan masyarakat. Jangan lagi pertimbangan berdasar primordialisme.
Ahok sudah membuktikan lewat kebijakan dan aksi nyata untuk menjadikan
Jakarta lebih baik. Warganya lebih
sejahtera.
Meski ucapan Ahok
kerap dinilai kasar dan arogan, namun terjadinya krisis kepercayaan kepada
para pemimpin parpol yang kebanyakan korup, santun tapi munafik (antara ucapan dan tindakan
bertolak belakang), membuat “style” atau gaya Ahok yang ceplas ceplos dan apa
adanya, lebih disukai. Ahok juga “nothing to lose” terkait jabatan gubernur.
Banyak warga DKI takut Ahok tak terpilih lagi pada Pilkada 2017, sehingga
muncul relawan Teman Ahok. Mereka sukarela bekerja demi memenangkan Ahok.
Kita boleh berbeda
pilihan politik, tapi jangan
sampai mengorbankan martabat dan memecahbelah persatuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar