TNI dan Penanggulangan Terorisme
Evan A Laksmana ; Peneliti Centre for Strategic and
International Studies (CSIS)
|
KOMPAS, 22 Maret
2016
Pasca serangan teror
Thamrin, Jakarta Pusat, Januari 2016, perdebatan lama soal peran TNI dalam penanggulangan
terorisme kembali mencuat. Hal ini terutama karena proses revisi UU No
15/2003 tentang Terorisme yang tengah berjalan tampak justru tak memperjelas
peran perbantuan TNI kepada Polri dalam penanggulangan terorisme.
Bahkan, Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengingatkan bahwa revisi UU Terorisme perlu
menegaskan peran dan pada saat apa TNI membantu menangani terorisme sebagai
bagian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional penanggulangan terorisme
(Kompas, 5/3).
Pokok persoalannya
bukan boleh atau tidak TNI terlibat, tetapi kapan, bagaimana, dan dalam
kondisi seperti apa.
Pada prinsipnya, UU
TNI Tahun 2004 meletakkan penanggulangan aksi terorisme sebagai bagian dari
Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Namun, pengerahan kekuatan militer—termasuk
kontrateror—harus berangkat dari keputusan politik negara melalui Presiden.
Artinya, operasi kontrateror TNI tidak terjadi secara otomatis.
Dalam hal ini Presiden
selaku panglima tertinggi harus memutuskan kapan dan bagaimana TNI dapat
dikerahkan. Beberapa kondisi yang memungkinkan, misalnya, saat serangan teror
bersifat masif dan melumpuhkan pemerintahan, saat teror bersenjata sudah
mengarah ke separatisme penuh, atau saat aksi teror melibatkan WNI yang
berada di luar negeri.
Permasalahannya, hingga
saat ini, kondisi restriktif penggunaan kekuatan atau kekerasan militer,
dikenal sebagai rules of engagement (RoE), belum kita atur secara formal dan
nasional dalam sebuah UU. Pengaturan penggunaan instrumen militer perlu
diundangkan karena RoE berangkat dari konvensi hukum humaniter internasional
soal konflik bersenjata dan berperan melindungi TNI secara hukum dari
tuduhan-tuduhan penggunaan kekerasan.
Sejauh ini UU TNI
mengatur pengerahan militer pada tataran strategis (dari presiden ke
panglima). Akan tetapi, pada tataran operasional dan taktis, TNI cenderung
mengandalkan diskresi komandan lapangan atau satuan tugas (satgas), batasan
misi medan laga, atau prosedur tetap (protap) yang terkadang bersifat
organisasional (informal) dan hanya terlembaga di satuan, korps, atau
angkatan tertentu.
Pertimbangan matang
Mengingat perdebatan
publik soal RoE dapat berlangsung lama, untuk sementara kantor Kepala Staf
Kepresidenan perlu mengkaji sebuah inpres atau perpres yang memberikan
rambu-rambu bagaimana dan dalam kondisi apa TNI dapat menanggulangi aksi
teror. Selain itu, diharapkan pula keputusan pelibatan TNI nantinya
berdasarkan pertimbangan yang matang dan tidak grusa grusu. Hal ini terutama karena pelembagaan dan pelebaran
misi secara perlahan dalam penanggulangan terorisme dapat memperlemah
efektivitas TNI sebagai instrumen militer pertahanan negara.
Secara umum, kita
dapat menakar kemampuan pertahanan sebuah negara melalui tingkat efektivitas
fungsional militernya dalam kondisi perang dan damai. Dalam keadaan perang,
efektivitas militer cenderung diukur secara dinamis dan relatif terhadap
lawan; misalnya dari tingkat korban jatuh hingga durasi pertempuran. Tentu
ukuran-ukuran ini tidak sesuai dengan konteks penanggulangan teror.
Dalam soal ini kita dapat
mengukur efektivitas militer dengan mempertimbangkan organisasi militer dalam
keadaan damai. Sebagaimana dijelaskan Risa Brooks dan Elizabeth Stanley, Creating Military Power (2007),
efektivitas militer dapat diukur dari tingkat integrasi kebijakan organisasi,
pendidikan, dan keahlian personal, kecepatan dan kemampuan respons strategis,
serta kualitas teknologi persenjataan. Dipandang melalui lensa ini, pelibatan
TNI dalam penanggulangan terorisme (sebagai paham atau strategi menciptakan
teror)—bukan mengatasi aksi teror tertentu (serangan terbatas, tetapi
masif)—tampak lebih banyak mudarat daripada manfaat.
Di satu sisi,
pemerintah menargetkan pembaruan alat utama sistem persenjataan (alutsista)
TNI sesuai kerangka kekuatan pokok minimum (KPM), menjanjikan peningkatan
anggaran hingga 1,5 persen dari produk domestik bruto, dan mendorong
penguatan industri pertahanan dalam negeri. Semua ini dalam rangka
meningkatkan kapabilitas pertahanan negara di tengah pertarungan strategis AS
dan Tiongkok di Indo-Pasifik dan bergesernya pasar teknologi militer canggih
ke kawasan. Belum lagi kita bicara mandat Nawacita dan doktrin ”Poros Maritim
Dunia”.
Namun, di sisi lain,
jika TNI dikerahkan untuk memberantas terorisme secara tuntas—sebagaimana
komunisme dahulu, misalnya—maka cepat atau lambat mereka harus
berhadap-hadapan dengan berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, dan
ideologi yang mendorong kelompok-kelompok tertentu melakukan serangan
kekerasan teror.
Dalam paradoks ini,
lama-kelamaan, mission creep pembinaan teritorial dan keterlibatan TNI dengan
persoalan-persoalan ekonomi, sosial, dan politik lokal akan sulit dihindari.
Hal ini dapat diperparah oleh kecenderungan Presiden Joko Widodo untuk
memerintahkan TNI meningkatkan berbagai ”operasi bhakti”, seperti ketahanan
pangan.
Akibatnya, selain
potensi munculnya kembali konflik intra-militer seperti zaman Orde Baru,
sumber daya pertahanan yang terbatas mungkin akan diarahkan pada peningkatan
kapabilitas personel intelijen, pasukan khusus, dan kemampuan komando
teritorial untuk menjalankan tugas pembinaan wilayah, dan bukan pada
persiapan dan kesiagaan operasi. Hal ini dapat berdampak pada menurunnya
kemampuan respons TNI terhadap perubahan cepat di lingkungan strategis,
seperti eskalasi ketegangan di Laut Tiongkok Selatan. Selain itu, fokus pada
intelijen dan pasukan khusus dapat mengarah pada mandeknya proses pembangunan
KPM berlandaskan alutsista berteknologi tinggi dan menurunnya dorongan
penguatan industri pertahanan (sebagaimana dimandatkan UU No 16/2012).
Bila tren ini
berlanjut, dampak negatifnya dapat memengaruhi berbagai proses penguatan
organisasi integratif TNI. Sebutlah seperti formulasi berbagai doktrin dan
latihan operasi tri-matra atau gabungan, reformasi kurikulum pendidikan
militer profesional, pembentukan komando gabungan wilayah pertahanan ataupun
validasi organisasi lainnya yang sedang berjalan.
Pada akhirnya, TNI
merupakan instrumen militer utama pertahanan negara dan kita perlu menjaga
proses transformasi pertahanan yang sedang berlangsung. Dalam hal ini,
Presiden perlu merumuskan kebijakan nasional penanggulangan teror tanpa
melemahkan sendi-sendi demokrasi dan tanpa menurunkan kapabilitas TNI sebagai
alat pertahanan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar