Film dan Wajah Kita
Hidayat Banjar ;
Peminat Masalah Film dan Sosial Budaya
|
KOMPAS, 26 Maret
2016
Tahun ini saatnya ekonomi kreatif bangkit. Masa pemetaan masalah
dan perencanaan program cukup di tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Diharapkan kontribusi ekonomi kreatif terhadap sektor perekonomian di
Indonesia dapat dirasakan masyarakat luas. Di samping itu, ekonomi kreatif
Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara lain, khususnya di kawasan
ASEAN.
Dunia perfilman Indonesia sesungguhnya tidak muda lagi untuk
dapat bersaing dengan produk asing. Jika merujuk tanggal pertama kali bioskop
tayang di Nusantara (5 Desember 1990), dunia perfilman sudah memasuki usia
116 tahun.
Jika berpedoman pada Konferensi Kerja Dewan Film Nasional dan
Organisasi Perfilman (1962) yang menetapkan 30 Maret sebagai Hari Film
Nasional, perfilman Indonesia memasuki usia 66 tahun. Pada 30 Maret 1950
menjadi momen dilakukannya pengambilan gambar pertama kali oleh sutradara
Usmar Ismail dalam film Darah dan Doa yang sepenuhnya dikerjakan orang
Indonesia. Film tersebut menjadi rilisan perdana perusahaan film miliknya,
Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini).
Berwajah Indonesia
Sebetulnya, Darah dan Doa bukan film pertama yang digarap sosok
yang kita kenal sebagai Bapak Film Nasional tersebut. Sebelumnya, dia
menyutradarai Harta Karun dan Tjitra untuk perusahaan South Pacific Film,
tetapi baru di Darah dan Doa, Usmar Ismail seutuhnya menggarap secara
teknis-kreatif maupun secara ekonomi bersama kru asal Indonesia. Darah dan
Doa benar-benar berwajah dan beraroma Indonesia.
"Buat pertama kalinya pula, film Indonesia mempersoalkan
kejadian nasional sifatnya," ujar Usmar dalam tulisannya berjudul
"Pengantar ke Dunia Film" seperti dikutip dalam buku 100 Bioskop di
Indonesia (1900-2000).
Lewat Djam Malam (1954), Usmar merengkuh penghargaan Sutradara
Unggulan di Asian Film Festival 1955. Praktis, film ini juga mendominasi
penghargaan Festival Film Indonesia gelaran pertama pada 1955.
Lewat Djam Malam memborong tujuh dari dua belas nomine
penghargaan yang ada, di antaranya Pemeran Utama Wanita Terbaik (Dhalia),
Pemeran Utama Pria Terbaik (AN Alcaff), Pemeran Pembantu Pria Terbaik
(Bambang Hermanto dan Awaludin), Penulis Skenario dengan Catatan Istimewa untuk
Dialog (Asrul Sani), Penata Artistik Terbaik (Chalid Arifin), dan tentu saja
Film Terbaik (bersama film Tarmina) dalam penganugerahan tersebut.
Indonesia-melalui Usmar Ismail-telah membawa wajah Indonesia ke
kancah perfilman Asia (1954). Wajah yang hadir bukanlah sekadar pakaian dan
gaya hidup, juga karakter dan jati diri Indonesia.
Spirit bangsa
Menghidupkan industri kreatif (film) sejatinya adalah
menghidupkan spirit bangsa. Karena itu, sewajarnyalah segenap komponen bangsa
(termasuk pemerintah) memperlakukan seni film sebagai anak kandung, bukan
anak tiri, apalagi anak haram jadah.
Spiritlah yang membuat sebuah bangsa memiliki roh, yang membuat
hidup jadi lebih hidup (dinamis). Ketika sebuah bangsa kehilangan roh,
niscaya akan gampang diombang-ambingkan karena telah kehilangan self
defence-nya.
Di samping agama, spiritualitas bangsa ada di dunia kesenian
(film). Justru itu, negara-negara yang peduli pada seni (film) umumnya lebih
maju dibandingkan dengan yang abai. Karena itu, usaha membangkitkan kesadaran
terhadap peran strategis seni film harus terus-menerus dilakukan. Negara yang
telah kehilangan sensibilitasnya terhadap seni adalah negara yang tengah
menegasikan potensinya sendiri dalam hal menumbuhkembangkan kreativitas dan
otentisitas.
Sudah menjadi aksioma, persaingan ekonomi dan industri pada abad
ke-21 berbasis inovasi. Sementara inovasi itu sendiri berpijak pada
kreativitas dan otentisitas. Tak dapat dielakkan, seni film merupakan lahan subur tumbuhnya
"pohon" kreativitas dan otentisitas.
Agar Indonesia mau dihargai dalam kancah pergaulan
internasional, kesenian haruslah dianggap sebagai anak kandung. Sekali lagi,
kesenian tradisional ataupun modern adalah spirit dan jati diri bangsa yang
menegaskan otentisitas sebuah bangsa. Keutuhan sebuah bangsa dapat ditandai
dengan kemampuan bangsa itu menghargai, merawat, dan mengembangkan
keseniannya.
Korelasi
Ya, kesenian (budaya) memiliki korelasi yang kuat dengan ekonomi
sebagaimana pepatah Tiongkok mengatakan, Wenhua gou jian de jiduan, jingji
fazhan zhong de geju, yang artinya "kebudayaan membangun panggung dan
ekonomi memainkan operanya".
Kenapa kita perlu film? Sebagai salah satu cabang kesenian, film
merupakan sarana yang paling efektif digunakan untuk pendidikan, propaganda,
dan lain-lain. Sesungguhnya, film tidaklah sekadar hiburan.
Lihatlah bagaimana Amerika Serikat memanfaatkan sarana film
untuk propaganda bahwa mereka adalah adikuasa. Obsesi Amerika untuk menjadi
penguasa dunia dimanfaatkan lewat film.
Film yang di dalamnya terhimpun ragam seni (suara, gerak, mimik,
musik, dan lain-lain) sangat memungkinkan dimanfaatkan untuk kepentingan
banyak hal. Pluralisme pun dapat tersosialisasikan dengan baik lewat film.
Hal itulah mungkin yang mendasari Hanung Bramantyo membuat film ? (baca: tanda
tanya).
Jakob Sumardjo dalam makalahnya, "Pokok-pokok Filosofi
Film" yang disampaikan dalam Forum Film Bandung beberapa waktu lalau
mengatakan, dengan menonton film, mengindera film, mengalami film, penonton
menangkap nilai-nilai tertentu yang termuat dalam bentuk film tadi. Pada
dasarnya, membuat film adalah menyampaikan nilai-nilai tertentu kepada
penonton film. Membuat film adalah menuangkan nilai-nilai tertentu dalam
bentuk film. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar