Senin, 28 Maret 2016

Film dan Wajah Kita

Film dan Wajah Kita

Hidayat Banjar ;  Peminat Masalah Film dan Sosial Budaya
                                                       KOMPAS, 26 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun ini saatnya ekonomi kreatif bangkit. Masa pemetaan masalah dan perencanaan program cukup di tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Diharapkan kontribusi ekonomi kreatif terhadap sektor perekonomian di Indonesia dapat dirasakan masyarakat luas. Di samping itu, ekonomi kreatif Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara lain, khususnya di kawasan ASEAN.

Dunia perfilman Indonesia sesungguhnya tidak muda lagi untuk dapat bersaing dengan produk asing. Jika merujuk tanggal pertama kali bioskop tayang di Nusantara (5 Desember 1990), dunia perfilman sudah memasuki usia 116 tahun.

Jika berpedoman pada Konferensi Kerja Dewan Film Nasional dan Organisasi Perfilman (1962) yang menetapkan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional, perfilman Indonesia memasuki usia 66 tahun. Pada 30 Maret 1950 menjadi momen dilakukannya pengambilan gambar pertama kali oleh sutradara Usmar Ismail dalam film Darah dan Doa yang sepenuhnya dikerjakan orang Indonesia. Film tersebut menjadi rilisan perdana perusahaan film miliknya, Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini).

Berwajah Indonesia

Sebetulnya, Darah dan Doa bukan film pertama yang digarap sosok yang kita kenal sebagai Bapak Film Nasional tersebut. Sebelumnya, dia menyutradarai Harta Karun dan Tjitra untuk perusahaan South Pacific Film, tetapi baru di Darah dan Doa, Usmar Ismail seutuhnya menggarap secara teknis-kreatif maupun secara ekonomi bersama kru asal Indonesia. Darah dan Doa benar-benar berwajah dan beraroma Indonesia.

"Buat pertama kalinya pula, film Indonesia mempersoalkan kejadian nasional sifatnya," ujar Usmar dalam tulisannya berjudul "Pengantar ke Dunia Film" seperti dikutip dalam buku 100 Bioskop di Indonesia (1900-2000).

Lewat Djam Malam (1954), Usmar merengkuh penghargaan Sutradara Unggulan di Asian Film Festival 1955. Praktis, film ini juga mendominasi penghargaan Festival Film Indonesia gelaran pertama pada 1955.

Lewat Djam Malam memborong tujuh dari dua belas nomine penghargaan yang ada, di antaranya Pemeran Utama Wanita Terbaik (Dhalia), Pemeran Utama Pria Terbaik (AN Alcaff), Pemeran Pembantu Pria Terbaik (Bambang Hermanto dan Awaludin), Penulis Skenario dengan Catatan Istimewa untuk Dialog (Asrul Sani), Penata Artistik Terbaik (Chalid Arifin), dan tentu saja Film Terbaik (bersama film Tarmina) dalam penganugerahan tersebut.

Indonesia-melalui Usmar Ismail-telah membawa wajah Indonesia ke kancah perfilman Asia (1954). Wajah yang hadir bukanlah sekadar pakaian dan gaya hidup, juga karakter dan jati diri Indonesia.

Spirit bangsa

Menghidupkan industri kreatif (film) sejatinya adalah menghidupkan spirit bangsa. Karena itu, sewajarnyalah segenap komponen bangsa (termasuk pemerintah) memperlakukan seni film sebagai anak kandung, bukan anak tiri, apalagi anak haram jadah.

Spiritlah yang membuat sebuah bangsa memiliki roh, yang membuat hidup jadi lebih hidup (dinamis). Ketika sebuah bangsa kehilangan roh, niscaya akan gampang diombang-ambingkan karena telah kehilangan self defence-nya.

Di samping agama, spiritualitas bangsa ada di dunia kesenian (film). Justru itu, negara-negara yang peduli pada seni (film) umumnya lebih maju dibandingkan dengan yang abai. Karena itu, usaha membangkitkan kesadaran terhadap peran strategis seni film harus terus-menerus dilakukan. Negara yang telah kehilangan sensibilitasnya terhadap seni adalah negara yang tengah menegasikan potensinya sendiri dalam hal menumbuhkembangkan kreativitas dan otentisitas.

Sudah menjadi aksioma, persaingan ekonomi dan industri pada abad ke-21 berbasis inovasi. Sementara inovasi itu sendiri berpijak pada kreativitas dan otentisitas. Tak dapat dielakkan, seni film  merupakan lahan subur tumbuhnya "pohon" kreativitas dan otentisitas.

Agar Indonesia mau dihargai dalam kancah pergaulan internasional, kesenian haruslah dianggap sebagai anak kandung. Sekali lagi, kesenian tradisional ataupun modern adalah spirit dan jati diri bangsa yang menegaskan otentisitas sebuah bangsa. Keutuhan sebuah bangsa dapat ditandai dengan kemampuan bangsa itu menghargai, merawat, dan mengembangkan keseniannya.

Korelasi

Ya, kesenian (budaya) memiliki korelasi yang kuat dengan ekonomi sebagaimana pepatah Tiongkok mengatakan, Wenhua gou jian de jiduan, jingji fazhan zhong de geju, yang artinya "kebudayaan membangun panggung dan ekonomi memainkan operanya".

Kenapa kita perlu film? Sebagai salah satu cabang kesenian, film merupakan sarana yang paling efektif digunakan untuk pendidikan, propaganda, dan lain-lain. Sesungguhnya, film tidaklah sekadar hiburan.

Lihatlah bagaimana Amerika Serikat memanfaatkan sarana film untuk propaganda bahwa mereka adalah adikuasa. Obsesi Amerika untuk menjadi penguasa dunia dimanfaatkan lewat film.

Film yang di dalamnya terhimpun ragam seni (suara, gerak, mimik, musik, dan lain-lain) sangat memungkinkan dimanfaatkan untuk kepentingan banyak hal. Pluralisme pun dapat tersosialisasikan dengan baik lewat film. Hal itulah mungkin yang mendasari Hanung Bramantyo membuat film ? (baca: tanda tanya).

Jakob Sumardjo dalam makalahnya, "Pokok-pokok Filosofi Film" yang disampaikan dalam Forum Film Bandung beberapa waktu lalau mengatakan, dengan menonton film, mengindera film, mengalami film, penonton menangkap nilai-nilai tertentu yang termuat dalam bentuk film tadi. Pada dasarnya, membuat film adalah menyampaikan nilai-nilai tertentu kepada penonton film. Membuat film adalah menuangkan nilai-nilai tertentu dalam bentuk film. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar