Kebesaran Hati Dua Putri Asia
Hamid Awaludin ;
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar; Mantan Duta
Besar RI untuk Rusia
|
KOMPAS, 24 Maret
2016
Indonesia baru setahun
merdeka, tetapi negeri-negeri lain sudah mendekat dan mengulurkan tangan
persahabatan. Di antaranya, Burma, negeri yang kini bernama Myanmar.
Pada 30 Oktober 1946,
Kepala Pemerintahan Sementara Burma Jenderal Aung San mengirim kawat kepada
Presiden Soekarno. Isi suratnya adalah tawaran kerja sama yang erat antara
Indonesia dan Burma. Aung San juga menyampaikan undangan kepada wakil-wakil
Indonesia yang hendak menghadiri Konferensi Pan Asia di New Delhi, India,
1947, untuk singgah dan tinggal beberapa waktu di Burma.
Aung San dan Soekarno
adalah dua sahabat yang sama-sama memanggul harapan bangsanya. Dari keduanya
juga lahir anak-anak yang memadukan nama besar orangtua, tanggung jawab
kepada bangsa, dan karisma sang ayah. Putri Jenderal Aung San, Aung San Suu
Kyi, dan putri Soekarno, Megawati Soekarnoputri, seperti buah pinang dibelah
dua di tanah yang berbeda: keduanya lama berjuang dan beroposisi terhadap
tirani yang berkuasa.
Aung San Suu Kyi tabah
memimpin partai yang dijunjung rakyat kecil, Persatuan Nasional untuk
Demokrasi (NLD), sampai kemudian Myanmar berubah dan lebih terbuka berkat
perjuangannya dan tekanan dunia internasional. Suu Kyi yang menerima Hadiah
Nobel Perdamaian pada 1991 akhirnya bebas, terjun ke politik, dan partainya
kemudian memenangi pemilu.
Namun, Aung San Suu
Kyi tak bisa menapak puncak kekuasaan dengan menjadi presiden. Suaminya,
Michael Aris, yang warga negara Inggris, jadi pangkal sebab. Konstitusi
Myanmar melarang seorang perempuan bersuamikan warga negara asing sebagai
presiden. Meskipun demikian, Suu Kyi tidak perlu berkecil hati. Orang
dekatnya, Htin Kyaw, terpilih menjadi presiden sipil pertama dalam 53 tahun
negeri Myanmar.
Nasib Megawati di
Indonesia serupa tetapi tidak sama. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P) yang dipimpin Megawati memenangi pemilihan umum legislatif pada 2014,
tetapi sang putri tak menuliskan namanya di tiket untuk maju ke gelanggang
pemilihan presiden. Ia mendengarkan suara rakyat yang tengah memuja seorang
kader dekatnya bernama Joko Widodo (Jokowi) yang baru setahun menjadi
gubernur Jakarta. Megawati mengantarkan Jokowi menjadi presiden Republik
Indonesia dan mendukungnya sepenuh hati.
Medan magnet
Megawati dan Suu Ky
adalah medan magnet bagi partai mereka. Keduanya sangat berkarisma dan penuh
wibawa di partai. Maka, tatkala keduanya mengambil keputusan politik, seluruh
kader ikut. Yang mungkin berbeda kelak antara keduanya adalah bahwa presiden
yang diusung oleh Megawati kini sudah mulai disoal oleh sejumlah kader PDI-P.
Ini tak mungkin terjadi pada Htin Kyaw, pilihan Aung San Suu Kyi kelak.
Masalahnya, Htin Kyaw adalah kader partai NDL yang ikut berjuang dan
berdarah-darah dengan Aung San Suu Kyi.
Di sisi lain, sejumlah
kader PDI-P mempersepsikan bahwa presiden pilihan Megawati memang adalah
kader PDI-P, tetapi bukan kader yang ikut berjuang dari hulu dan
berdarah-darah. Faktor lain, sejumlah orang yang berada di sekitar Presiden
Jokowi tidak terlampau menyenangkan kader-kader PDI-P, yang gilirannya
memengaruhi persepsi kader-kader PDI-P terhadap Presiden Jokowi. Faktor ini
tidak terjadi pada diri Htin Kyaw sebab semua orang yang dipakai oleh Htin
Kyaw adalah hasil rumusan bersama antara dirinya dan partainya, NDL, yang
sekaligus berarti persetujuan Aung San Suu Kyi.
Kudeta militer
Kini, Megawati telah
menikmati buah perjuangan demokrasi di negerinya, yang telah lama ia
perjuangkan. Aung San Suu Kyi baru beranjak meninggalkan rezim totalitarian.
Demokrasi belum sepenuhnya ia nikmati sebab militer masih saja bercokol di
parlemen dengan kekuatan 25 persen ditambah hak veto. Sesuatu yang sama
sekali tidak bisa dinilai sebagai demokrasi. Kondisi ini masih diperparah
lagi oleh kenyataan bahwa Presiden Htin Kyaw tidak mempunyai wewenang memilih
menteri dalam negeri, menteri pertahanan, dan menteri perbatasan. Yang
memiliki kewenangan mengangkat ketiga menteri tersebut adalah Panglima
Angkatan Bersenjata Myanmar.
Format politik
teranyar Myanmar tersebut membuat setiap orang masih harus selalu awas
terhadap kekuatan militer. Bisa jadi kelak, militer dengan mudah melakukan
kudeta terhadap pemerintahan Htin Kyaw. Dalam menjalankan pemerintahan di
masa transisi seperti sekarang, Htin Kyaw tentu saja akan mengalami berbagai kerumitan tersendiri kelak dan itu
bisa menjadi alasan kudeta militer. Faktor-faktor seperti ini tidak lagi
dialami oleh Megawati sekarang.
Tatkala Megawati jadi
presiden, melalui menterinya, Jusuf Kalla, konflik sosial berdarah yang amat
parah, konflik Poso dan Ambon, diselesaikan melalui rekonsiliasi dan semua
pihak yang terlibat pertikaian tersebut setuju dan puas dengan rekonsiliasi
yang ditempuh. Aung San Suu Kyi masih harus diuji untuk urusan konflik
horizontal ini. Masalah Rohingya adalah masalah yang sangat krusial dan
selama ini Aung San Suu Kyi tidak pernah memberi posisi dan sikap tentang
itu, apalagi rencana penyelesaiannya.
Setelah konflik
horizontal Poso dan Ambon diselesaikan, Megawati memulai ikhtiar damai dan
rekonsiliasi dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2002. Ikhtiar
tersebut berakhir di meja perundingan damai dan GAM berhenti mengangkat
senjata melawan pemerintahan sah Republik Indonesia.
Kendati perundingan
formal dan penandatanganan perjanjian damai dilakukan di era pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada 2005, rintisan ke arah damai sudah
dirambah pemerintahan Megawati melalui Menkonya, Jusuf Kalla. Di Myanmar sekarang ada sekitar 14 kelompok
etnisitas yang masih menggemuruh mengangkat senjata melawan pemerintah. Srikandi
Myanmar, Aung San Suu Kyi, harus berhadapan dengan ini dan dunia menanti apa
gerangan langkah yang diambilnya bersama partai dan presiden pilihannya, Htin
Kyaw. Ini pekerjaan rumah awal paling rumit setelah pemerintahan militer
Myanmar pelan-pelan surut dari panggung politik.
Lepas dari masalah
potensi konflik sosial itu, Myanmar harus melepaskan diri dari pengaruh
tekanan Tiongkok, yang selama beberapa dekade sangat terasa. Melepaskan diri
dari dominasi Tiongkok adalah ikhtiar serius untuk tidak menjadikan Myanmar
baru sebagai palagan adu kekuatan Amerika Serikat dengan Tiongkok. Pekerjaan
ini memang tidak mudah sebab ekonomi Myanmar sekarang ini masih sulit dan
Tiongkok berada dalam posisi menentukan bagi kelangsungan ekonomi Myanmar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar