Jumat, 25 Maret 2016

Kebesaran Hati Dua Putri Asia

Kebesaran Hati Dua Putri Asia

Hamid Awaludin ;  Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar; Mantan Duta Besar RI untuk Rusia
                                                       KOMPAS, 24 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Indonesia baru setahun merdeka, tetapi negeri-negeri lain sudah mendekat dan mengulurkan tangan persahabatan. Di antaranya, Burma, negeri yang kini bernama Myanmar.

Pada 30 Oktober 1946, Kepala Pemerintahan Sementara Burma Jenderal Aung San mengirim kawat kepada Presiden Soekarno. Isi suratnya adalah tawaran kerja sama yang erat antara Indonesia dan Burma. Aung San juga menyampaikan undangan kepada wakil-wakil Indonesia yang hendak menghadiri Konferensi Pan Asia di New Delhi, India, 1947, untuk singgah dan tinggal beberapa waktu di Burma.

Aung San dan Soekarno adalah dua sahabat yang sama-sama memanggul harapan bangsanya. Dari keduanya juga lahir anak-anak yang memadukan nama besar orangtua, tanggung jawab kepada bangsa, dan karisma sang ayah. Putri Jenderal Aung San, Aung San Suu Kyi, dan putri Soekarno, Megawati Soekarnoputri, seperti buah pinang dibelah dua di tanah yang berbeda: keduanya lama berjuang dan beroposisi terhadap tirani yang berkuasa.

Aung San Suu Kyi tabah memimpin partai yang dijunjung rakyat kecil, Persatuan Nasional untuk Demokrasi (NLD), sampai kemudian Myanmar berubah dan lebih terbuka berkat perjuangannya dan tekanan dunia internasional. Suu Kyi yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada 1991 akhirnya bebas, terjun ke politik, dan partainya kemudian memenangi pemilu.

Namun, Aung San Suu Kyi tak bisa menapak puncak kekuasaan dengan menjadi presiden. Suaminya, Michael Aris, yang warga negara Inggris, jadi pangkal sebab. Konstitusi Myanmar melarang seorang perempuan bersuamikan warga negara asing sebagai presiden. Meskipun demikian, Suu Kyi tidak perlu berkecil hati. Orang dekatnya, Htin Kyaw, terpilih menjadi presiden sipil pertama dalam 53 tahun negeri Myanmar.

Nasib Megawati di Indonesia serupa tetapi tidak sama. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin Megawati memenangi pemilihan umum legislatif pada 2014, tetapi sang putri tak menuliskan namanya di tiket untuk maju ke gelanggang pemilihan presiden. Ia mendengarkan suara rakyat yang tengah memuja seorang kader dekatnya bernama Joko Widodo (Jokowi) yang baru setahun menjadi gubernur Jakarta. Megawati mengantarkan Jokowi menjadi presiden Republik Indonesia dan mendukungnya sepenuh hati.

Medan magnet

Megawati dan Suu Ky adalah medan magnet bagi partai mereka. Keduanya sangat berkarisma dan penuh wibawa di partai. Maka, tatkala keduanya mengambil keputusan politik, seluruh kader ikut. Yang mungkin berbeda kelak antara keduanya adalah bahwa presiden yang diusung oleh Megawati kini sudah mulai disoal oleh sejumlah kader PDI-P. Ini tak mungkin terjadi pada Htin Kyaw, pilihan Aung San Suu Kyi kelak. Masalahnya, Htin Kyaw adalah kader partai NDL yang ikut berjuang dan berdarah-darah dengan Aung San Suu Kyi.

Di sisi lain, sejumlah kader PDI-P mempersepsikan bahwa presiden pilihan Megawati memang adalah kader PDI-P, tetapi bukan kader yang ikut berjuang dari hulu dan berdarah-darah. Faktor lain, sejumlah orang yang berada di sekitar Presiden Jokowi tidak terlampau menyenangkan kader-kader PDI-P, yang gilirannya memengaruhi persepsi kader-kader PDI-P terhadap Presiden Jokowi. Faktor ini tidak terjadi pada diri Htin Kyaw sebab semua orang yang dipakai oleh Htin Kyaw adalah hasil rumusan bersama antara dirinya dan partainya, NDL, yang sekaligus berarti persetujuan Aung San Suu Kyi.

Kudeta militer

Kini, Megawati telah menikmati buah perjuangan demokrasi di negerinya, yang telah lama ia perjuangkan. Aung San Suu Kyi baru beranjak meninggalkan rezim totalitarian. Demokrasi belum sepenuhnya ia nikmati sebab militer masih saja bercokol di parlemen dengan kekuatan 25 persen ditambah hak veto. Sesuatu yang sama sekali tidak bisa dinilai sebagai demokrasi. Kondisi ini masih diperparah lagi oleh kenyataan bahwa Presiden Htin Kyaw tidak mempunyai wewenang memilih menteri dalam negeri, menteri pertahanan, dan menteri perbatasan. Yang memiliki kewenangan mengangkat ketiga menteri tersebut adalah Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar.

Format politik teranyar Myanmar tersebut membuat setiap orang masih harus selalu awas terhadap kekuatan militer. Bisa jadi kelak, militer dengan mudah melakukan kudeta terhadap pemerintahan Htin Kyaw. Dalam menjalankan pemerintahan di masa transisi seperti sekarang, Htin Kyaw tentu saja akan mengalami  berbagai kerumitan tersendiri kelak dan itu bisa menjadi alasan kudeta militer. Faktor-faktor seperti ini tidak lagi dialami oleh Megawati sekarang.

Tatkala Megawati jadi presiden, melalui menterinya, Jusuf Kalla, konflik sosial berdarah yang amat parah, konflik Poso dan Ambon, diselesaikan melalui rekonsiliasi dan semua pihak yang terlibat pertikaian tersebut setuju dan puas dengan rekonsiliasi yang ditempuh. Aung San Suu Kyi masih harus diuji untuk urusan konflik horizontal ini. Masalah Rohingya adalah masalah yang sangat krusial dan selama ini Aung San Suu Kyi tidak pernah memberi posisi dan sikap tentang itu, apalagi rencana penyelesaiannya.

Setelah konflik horizontal Poso dan Ambon diselesaikan, Megawati memulai ikhtiar damai dan rekonsiliasi dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2002. Ikhtiar tersebut berakhir di meja perundingan damai dan GAM berhenti mengangkat senjata melawan pemerintahan sah Republik Indonesia.

Kendati perundingan formal dan penandatanganan perjanjian damai dilakukan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada 2005, rintisan ke arah damai sudah dirambah pemerintahan Megawati melalui Menkonya, Jusuf Kalla.  Di Myanmar sekarang ada sekitar 14 kelompok etnisitas yang masih menggemuruh mengangkat senjata melawan pemerintah. Srikandi Myanmar, Aung San Suu Kyi, harus berhadapan dengan ini dan dunia menanti apa gerangan langkah yang diambilnya bersama partai dan presiden pilihannya, Htin Kyaw. Ini pekerjaan rumah awal paling rumit setelah pemerintahan militer Myanmar pelan-pelan surut dari panggung politik.

Lepas dari masalah potensi konflik sosial itu, Myanmar harus melepaskan diri dari pengaruh tekanan Tiongkok, yang selama beberapa dekade sangat terasa. Melepaskan diri dari dominasi Tiongkok adalah ikhtiar serius untuk tidak menjadikan Myanmar baru sebagai palagan adu kekuatan Amerika Serikat dengan Tiongkok. Pekerjaan ini memang tidak mudah sebab ekonomi Myanmar sekarang ini masih sulit dan Tiongkok berada dalam posisi menentukan bagi kelangsungan ekonomi Myanmar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar