Demografi Pemilih dalam Pilkada DKI Jakarta
Sonny Harry B Harmadi ;
Kepala Lembaga Demografi FEB UI
|
MEDIA INDONESIA,
28 Maret 2016
SETAHUN menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, berbagai prediksi
dan bakal calon gubernur mulai bermunculan. Tentu menarik menganalisis
potensi tiap-tiap bakal calon gubernur DKI Jakarta. Namun, tulisan ini tidak
akan membahas para bakal calon gubernur, tapi menguraikan peta calon pemilih
dan isu dalam pilkada mendatang di DKI Jakarta. Para bakal calon gubernur tentu
perlu memperhatikan karakteristik penduduk dan pemilih guna merancang
strategi yang tepat untuk menggalang dukungan dan suara.
Analisis demografi dapat memberikan gambaran tentang perilaku
pemilih dan determinan dari keputusan mereka. Setiap pemilih pada kelompok
umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, status perkawinan, tingkat pendidikan,
dan asal daerah tertentu memiliki perilaku dan kecenderungan preferensi yang
berbeda. Namun, beberapa penelitian di negara lain menunjukkan usia dan
tingkat pendidikan pemilih merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangkan
dalam meraih pemilih.
Karakteristik demografi
pemilih
Dalam buku Proyeksi Penduduk Indonesia yang dipublikasikan
Bappenas (2013), jumlah penduduk DKI Jakarta 2017 diproyeksikan mencapai
lebih dari 10,37 juta jiwa. Jumlah terbesar berada dalam kelompok umur 25
tahun-34 tahun. Kelompok umur itu disebut sebagai young adult (dewasa muda) dan akan menjadi salah satu penentu
kemenangan calon gubernur di pilkada DKI Jakarta mendatang. Angka ketergantungan
(dependency ratio) DKI Jakarta
berada di bawah angka 40.
Hal itu menunjukkan DKI Jakarta saat ini sedang berada dalam
periode bonus demografi. Penduduk usia produktif mencapai lebih dari 71%
dengan jumlah manula sekitar 4%. Komposisi penduduk laki-laki dan perempuan
relatif berimbang, dengan jumlah laki-laki sedikit lebih banyak.
Hampir 8 juta penduduk diperkirakan menjadi calon pemilih di
pilkada DKI Jakarta. Sekitar 70% calon pemilih berstatus sudah/pernah
menikah.
Lebih dari 65% calon pemilih di DKI Jakarta berpendidikan SLTA
ke atas dan hanya sekitar 16% yang berpendidikan SD ke bawah. Ini menunjukkan
para calon pemilih di pilkada DKI Jakarta memiliki tingkat pendidikan yang
tinggi dan menentukan pilihan berdasarkan kapasitas calon. DKI Jakarta
merupakan provinsi dengan tingkat pendidikan penduduk terbaik di Indonesia.
Menarik juga dicermati bahwa 44% penduduk DKI Jakarta ialah
pendatang dan tidak lahir di Jakarta. Dalam demografi, penduduk yang memiliki
tempat kelahiran berbeda dengan tempat tinggal saat ini disebut sebagai life time migrant. Pendatang terbesar
berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan persentase mencapai sekitar
17% dari seluruh calon pemilih di Jakarta. Meskipun tidak ada penelitian
khusus, fenomena itu dapat diduga menjadi salah satu sumber kemenangan
Jokowi-Ahok dalam Pilgub 2012. Sebanyak 12% pemilih merupakan migran yang
berasal dari Jabar dan Banten dan hampir 5% berasal dari Jatim.
Untuk migran yang berasal dari luar Pulau Jawa, diketahui bahwa
migran dari Sumatra Utara memiliki proporsi pemilih cukup besar di DKI
Jakarta (sekitar 3%), diikuti pemilih yang merupakan kelahiran Sumatra Barat
(mendekati 2%). Migran dari Sumatra Selatan, Lampung, dan Kalimantan Barat
memiliki proporsi pemilih di DKI Jakarta terbesar setelah Sumatra Barat. Namun,
karena penduduk Jakarta relatif terbuka dan telah terjadi pembauran budaya,
asal daerah pemilih bisa saja tidak memiliki hubungan langsung dengan asal
daerah calon gubernur. Pemilih yang rasional dengan pendidikan tinggi tetap
mempertimbangkan kapasitas kepemimpinan calon gubernur sebagai pertimbangan
utama.
Lebih dari 50% calon pemilih aktif menggunakan internet dalam 3
bulan terakhir (Susenas 2015). Ternyata hampir 95% di antaranya mengakses
internet melalui telepon seluler. Penggunaan smartphone telah memudahkan
masyarakat dalam membuka akses internet dan mengikuti perkembangan yang ada. Sekitar
62% calon pemilih berstatus bekerja dan 38% lainnya berstatus tidak bekerja
(ibu rumah tangga, pelajar/mahasiswa, pensiunan, dan sebagainya). Hampir
setengah dari calon pemilih yang bekerja merupakan buruh atau pegawai. Sebagian
besar dari mereka bekerja di sektor perdagangan, hotel, restoran, dan
jasa-jasa (sekitar 38%).
Pemilih pemula di Jakarta
Menarik untuk dicermati bahwa sekitar 13% dari calon pemilih
ialah calon pemilih pemula (first time
voter) yang akan memiliki hak suara untuk pertama kalinya dalam pilkada
2017. Sekitar 60% pemilih pemula tinggal dengan orangtua mereka. Ini berarti
bahwa sebagian besar pemilih pemula berinteraksi secara intensif dengan
orangtua mereka.
Lebih dari 90% pemilih pemula di DKI Jakarta berstatus belum
menikah.
Namun, kita juga harus memperhatikan meskipun sebagian besar
pemilih pemula tinggal dengan orangtua, pilihan mereka dapat berbeda dengan
orangtua mereka. Mereka cenderung dididik secara demokratis dan diberi
kebebasan memilih oleh orangtua. Terkadang justru peer pressure (dari teman sebaya) yang akan memengaruhi keputusan
pemilih pemula.
Dengan menggunakan cohort
analysis, kita dapat menganalisis perilaku umum para calon pemilih pemula
di DKI Jakarta. Meskipun sebagian pemilih pemula pilkada DKI tidak
'benar-benar pemula' karena sebagian sudah menggunakan hak pilih pada Pemilu
2014, mereka 'pemula' dalam pilkada. Pemilih pemula pilkada DKI 2017 di sini
diasumsikan lahir antara 1996 dan 2000. Mereka yang lahir dalam periode waktu
berdekatan cenderung memiliki perilaku dan cara pengambilan keputusan yang
relatif mirip (Harmadi, 2013). Cara berpikir dan pengambilan keputusan mereka
sangat dipengaruhi kondisi Indonesia yang sudah demokratis, memiliki jumlah
saudara kandung yang sedikit, berpendidikan baik, dan hidup di era digital
yang sarat teknologi informasi. Kita dapat menyebut generasi ini sebagai connected kids.
Kehidupan demokratis dan pendidikan yang baik yang ditunjang
kemampuan akses ke media sosial membuat para pemilih pemula itu cenderung
paham dan mengikuti situasi politik yang berkembang saat ini.
Apalagi, DKI Jakarta sebagai ibu kota dan pusat segala aktivitas
memiliki kuantitas, kualitas, dan akses informasi yang sangat baik.
Pemilih pemula di DKI Jakarta juga sangat berkualitas dan mampu
memahami kualitas para calon pemimpin. Pemilih pemula itu secara cerdas akan
mengambil keputusan rasional dengan menilai kapasitas para calon gubernur. Popularitas
saja tidak akan cukup menarik para pemilih pemula untuk memberikan suara. Namun,
tantangan terbesar ialah masih rendahnya partisipasi pemilih pemula dalam
pemilihan, baik pemilu maupun pilkada. Oleh karena itu, para calon gubernur
DKI Jakarta juga harus mampu menarik sebanyak-banyaknya kelompok pemilih
pemula untuk berpartisipasi dalam pilkada DKI Jakarta kali ini.
Isu kampanye
Isu kampanye dapat menentukan kemenangan calon gubernur. Dalam
masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi, isu kampanye menjadi
penting.
Mereka tidak lagi sekadar ingin mendengar pendidikan dan
kesehatan, misalnya, akan menjadi program prioritas. Setiap calon gubernur
tentu akan mengatakan hal yang sama. Namun, perbedaannya ada pada bagaimana
setiap calon gubernur menyampaikan ide terobosan dalam implementasi program.
Besarnya pemilih yang berasal dari kelompok usia produktif
memberikan sinyal bagi para calon gubernur DKI mendatang bahwa mereka harus
mampu mengusung isu-isu yang terkait penduduk usia produktif, seperti isu
ekonomi, transportasi, lapangan kerja, dan upah minimum.
Ambil saja contoh isu kemacetan dan transportasi umum menjadi
sangat penting karena hal ini berpengaruh besar terhadap produktivitas para
penduduk usia produktif. Isu lainnya seperti perumahan juga penting untuk
dibahas karena harga tanah di DKI Jakarta sedemikian tingginya dan terus
meningkat. Sebagian migran dari luar Jakarta datang karena tertarik tingginya
upah. Namun, yang terjadi sesungguhnya money
illusion.
Meskipun upah tinggi, biaya hidup juga sangat tinggi. Akhirnya
sebagian dari mereka akan memilih tempat tinggal yang ilegal di pusat kota
untuk menekan biaya hidup, baik perumahan maupun transportasi, yang mendorong
bertambahnya permukiman kumuh. Oleh karena itu, isu perumahan menjadi
penting. Isu lainnya ialah kriminalitas dan aktivitas ilegal yang menjadi
ciri kota besar di negara berkembang.
Dengan memahami karakteristik demografi pemilih, para bakal
calon gubernur dapat memilih isu kampanye yang tepat dengan visi yang jelas.
Satu hal yang mungkin belum terbayang oleh kita ialah visi
Jakarta di masa depan. Akan seperti apakah Jakarta yang diimpikan para calon
gubernur tersebut? Sudah menjadi tugas mereka untuk berbagi mimpi dengan para
calon pemilih. Mimpi yang dibangun dalam keadaan sadar, realistis, dan mampu
diwujudkan secara nyata bersama para pemilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar