Antisipasi Musim Panen dan Kemarau Basah
Bustanul Arifin ; Guru Besar UNILA; Ekonom Senior Indef;
Ketua Forum Masyarakat Statistik
(FMS)
|
MEDIA INDONESIA,
21 Maret 2016
MUSIM panen padi pada
2016 ini diperkirakan bersamaan dengan fenomena kemarau basah, mirip kejadian
pada 2010-2011. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
memprakirakan pada April-Mei 2016 akan terjadi La Nina, suatu kondisi hujan
berlebih, yang umumnya mengikuti musim kering esktrem El Nino. Sebuah lembaga
kredibel International Research
Institute for Climate and Society (IRI), yang berafiliasi dengan Columbia
University (Amerika Serikat), juga memprakirakan terjadinya iklim basah (La
Nina) masih tinggi pada Agustus-Oktober 2016.
Secara teknis,
pertemuan suhu muka laut yang sangat dingin di Samudra Pasifik (Daerah Nino
3,4) dan suhu perairan Indonesia yang hangat akan menimbulkan curah hujan
dengan intensitas tinggi di Indonesia. Saat terjadi La Nina, angin pasat
timur yang bertiup di sepanjang Samudra Pasifik membuat massa air hangat yang
terbawa semakin banyak ke arah Pasifik Barat. Akibatnya, massa air dingin di
Pasifik Timur bergerak ke atas dan menggantikan massa air hangat yang
berpindah itu. Pada 2011, La Nina berdampak menurunkan produksi padi 1,1%,
yang telah diakui secara objektif oleh pemerintah.
Artikel ini
menganalisis fenomena kemarau basah itu sebagai suatu fakta perubahan iklim
yang mewarnai ekonomi beras pada 2016. Artikel ini menawarkan strategi
antisipasi yang perlu dilakukan pemerintah dan pengampu kepentingan pertanian
lainnya.
Harga gabah belum jatuh
Pada akhir Maret atau
April 2016, musim panen padi diperkirakan akan berlangsung terutama di hampir
semua sentra produksi di Sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi, dan sebagian di
Flores, Nusa Tenggara Timur. Sekitar 60%-65% padi Indonesia dipanen pada
musim rendeng, yang kebetulan mengalami musim tanam mundur 3-4 minggu,
sebagai dampak dari musim kering ekstrem El Nino yang terjadi pada 2015. Pemerintah
dan Badan Pusat Statistik (BPS) masih melakukan prognosis produksi dengan
memperhitungkan sekian macam asumsi, prediksi, laporan dari lapangan, dan
pengukuran dari sampel ubinan. Dengan pertimbangan strategis, psikologi pasar
dan lain-lain, angka ramalan produksi pangan akan diumumkan pada 1 Juli 2016.
Salah satu indikator
yang dijadikan acuan tentang keseimbangan suplai, cadangan, dan permintaan
beras ialah pergerakan harga gabah dan harga beras. Pergerakan harga di
tingkat lapangan itu dapat dijadikan acuan bagi Perum Bulog untuk melakukan
pengadaan beras, pengelolaan cadangan, dan tugas besar yang baru, yaitu
stabilisasi harga tingkat produsen dan tingkat konsumen untuk beras, jagung,
dan kedelai. Harga beras relatif mudah diprediksi karena pemerintah
memberikan perhatian yang memadai, termasuk jargon pajale (padi, jagung, dan
kedelai) yang telah mulai akrab di tengah masyarakat.
Harga jagung terkadang
bertingkah laku agak aneh, apalagi kredibilitas data produksi sering
diragukan oleh lembaga internasional. Kenaikan harga jagung yang terjadi pada
awal tahun di tengah super siklus penurunan harga jagung dunia juga
berhubungan dengan kebijakan perdagangan jagung dalam negeri. Harga kedelai
juga relatif mudah dimengerti karena Indonesia amat tergantung pada pasokan
kedelai impor, terutama dari Amerika Serikat, Argentina, Brasil, dan
lain-lain.
Laporan resmi dari
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sepanjang Februari 2016, harga
rata-rata gabah kering panen (GKP) di tingkat petani masih tinggi, Rp5.211
per kilogram, dan harga gabah kering giling (GKG) juga tinggi, yaitu Rp5.753
per kilogram. Dari 625 observasi yang dilakukan, dapat ditelusuri bahwa harga
gabah petani GKP terendah tercatat di Jawa Tengah (Rp3.800) dan tertinggi di
Kalimantan Tengah (Rp9.000). Dari 153 observasi, harga GKG terendah tercatat
di Sumatra Utara (Rp4.500) dan tertinggi di Kalimantan Selatan (Rp8.878). Harga
rata-rata gabah kualitas rendah atau yang tidak memenuhi syarat teknis untuk
diolah dan disimpan juga masih tinggi, yaitu Rp4.223 per kilogram.
Dari 167 observasi,
harga gabah kualitas rendah tercatat paling rendah di Jawa Timur (Rp3.200)
dan paling tinggi di Banten (Rp6.300).
Situs resmi
Kementerian Pertanian juga menampilkan harga rata-rata GKP per 19 Maret 2016
yang tinggi, yaitu Rp4.512 per kilogram dan GKG yang tinggi Rp5.195 per
kilogram. Angka tersebut memang menunjukkan penurunan ketimbang harga GKP
pada 7 Maret 2016 yang tercatat Rp4.578 dan GKG sebesar Rp5.313 per kilogram.
Harga gabah masih jauh
di atas harga referensi atau harga pembelian pemerintah (HPP) GKP Rp3.700 per
kilogram di petani dan GKG Rp4.600 per kilogram di penggilingan, sesuai
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pengadaan Gabah/Beras
dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Tidak mengherankan jika banyak analis
yang mempertanyakan validitas dan efektivitas HPP untuk melindungi petani
atau membantu mengurangi risiko usaha tani, karena HPP tersebut berada di
bawah harga keseimbangan pasar.
Secara teori, harga
referensi HPP berbeda dengan harga dasar gabah (HDG)--kini tidak diadopsi
lagi--yang selalu ditetapkan di atas harga keseimbangan pasar. HPP lebih
banyak hanya dimaksudkan sebagai referensi bagi kegiatan pengadaan gabah oleh
Perum Bulog. Benar bahwa sampai akhir minggu lalu, harga gabah ada yang
berada di bawah HPP, seperti di Sumbawa (Rp3.400), Brebes, Tuban, dan Bima
(Rp3.600). Rendahnya harga gabah sampai di bawah HPP berhubungan dengan
kualitas gabah yang tidak memenuhi persyaratan teknis, umumnya terlalu basah,
sehingga jika dipaksakan digiling, gabah akan patah dan bahkan hancur.
Kementerian Pertanian
juga melaporkan harga rata-rata beras medium per 19 Maret 2016 sebesar
Rp9.063 per kilogram dan beras premium Rp10.253 per kilogram, berdasarkan
laporan dari 43 kabupaten/kota.
Harga tersebut sedikit
lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga sehari sebelumnya atau pada 18
Maret 2016, yaitu Rp8.992 per kilogram untuk beras medium dan Rp10.157 per
kilogram untuk beras premium, yang berasal dari 93 kabupaten/ kota. Laporan
harga beras dari Kementerian Pertanian tercatat lebih rendah ketimbang
laporan harga beras dari Kementerian Perdagangan, yang mencatat bahwa harga
rata-rata sebesar Rp10.920 per kilogram pada 18 Maret 2016.
Dari kedua sumber data
resmi tersebut, harga beras di Indonesia masih lebih tinggi ketimbang harga
beras rata-rata di Thailand, Vietnam, dan India, sebagaimana dilaporkan
Lembaga Oryza per 18 Maret 2016. Harga beras Thailand 25% broken (setara
beras medium di Indonesia) tercatat US$355-US$365 per ton, beras Vietnam 25%
broken US$355-US$365 per ton, dan beras India 25% broken US$335-US$345 per
ton. Para analis umumnya mengolah lagi informasi dasar tentang harga beras
itu, disesuaikan dengan paritas impornya dengan mempertimbangkan ongkos
angkut, asuransi, dan lain-lain.
Pada akhir bulan, BPS
akan mengeluarkan laporan resmi yang diolah dari beberapa data harga beras
dari sekian macam instansi resmi. BPS juga melakukan pencatatan berkala
tentang perubahan harga beras dan harga pangan strategis lain bersama
harga-harga umum, menjadi angka laju inflasi yang dilaporkan setiap awal
bulan berikutnya. BPS melakukan pengolahan tingkat lanjut harga dan produksi
barang dalam suatu tabel input-output (I-O), khususnya tabel suplai dan
penggunaan atau supply and use table (SUT) walau terlambat beberapa tahun. Tabel
I-O amat bermanfaat untuk analisis akademik dan kebijakan ekonomi, berikut
intervensi yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing bangsa di masa
depan.
Penanganan pascapanen
Antisipasi yang perlu
dilakukan pemerintah dalam menghadapi kemarau basah ini ialah memperbaiki
penangan pascapanen, dari tingkat penggilingan sampai transportasi dan
distribusi. Berdasarkan hasil pendataan industri penggilingan padi (PIPA)
yang dilakukan BPS (2012), jumlah penggilingan padi di Indonesia tercatat
182.199 unit, sebagian besar (94%) penggilingan skala kecil, 6% skala
menengah, dan 1% skala besar. Penggilingan padi skala besar mampu
menghasilkan kualitas beras kepala sampai 82,5% dengan rendemen cukup tinggi
61,5%, sedangkan penggilingan padi hanya mampu menghasilkan beras kepala
sampai 74,3% dan rendemen rendah sebesar 55,7%.
Jika sebagian besar
gabah di Indonesia diolah oleh industri penggilingan skala kecil, volume dan
kualitas beras yang dihasilkan tidak terlalu tinggi.
Pada kondisi kemarau
basah, penggilingan skala kecil itu bahkan akan menderita inefisiensi cukup
tinggi karena gabah yang basah akan mudah pecah dan hancur.
Di masa depan,
Indonesia perlu lebih serius memperbaiki penanganan pascapanen padi dan
secara berkala meningkatkan skala usaha industri penggilingan padi ke arah
skala menengah dan besar. Pertama, memberikan fasilitas yang memadai pada
investasi baru penggilingan beras skala besar, dan konsolidasi penggilingan
skala kecil dan menengah, sesuai ketersediaan bahan baku dan infrastruktur pendukung
di perdesaan. Langkah itu perlu dintegrasikan dengan pembangunan
infrastruktur pertanian, terutama jalan, pelabuhan dan jaringan irigasi
sebagai proksi penyediaan bahan baku di lapangan.
Kedua, melakukan
penguatan kelembagaan kelompok tani, pendampingan yang terus-menerus untuk
meningkatkan kapasitas pelaku usaha pangan, seperti pengembangan usaha pangan
masyarakat (PUPM) dan lembaga usaha ekonomi pedesaan lainnya, baik yang
difasilitasi pemerintah, maupun atas inisiatif masyarakat. Tingkat kewirausahaan
akan menjadi cikal bakal penguatan industri penggilingan padi serta daya
saingnya di masa depan.
Ketiga, mengembangkan
sistem kemitraan petani dan penggilingan padi dalam suatu kerja sama contract farming yang adil dan
beradab, sampai pada tingkat pasar induk dan pasar eceran. Sistem kemitraan
itu seharusnya mampu berkontribusi pada perbaikan penyimpanan cadangan beras,
manajemen pergudangan, dan peningkatan daya jangkau (outreach) sistem resi gudang (SRG) dan pasar lelang pada sentra
produksi beras di seluruh Tanah Air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar