Generasi Y dan Calon Perseorangan
Beni Sindhunata ;
Pendiri INBRA
|
KOMPAS, 31 Maret
2016
Tidak ada yang aneh dari generasi Y atau generasi
milenial,generasi yanglahir antara 1980 dan 1999, berusia 17-36 tahun
(Kompas, 14/3).
Walaupun kontestasi Pilkada DKI-1 masih setahun lagi, Juli 2017,
dinamika perseteruan partai politik, politikus, dan calon perseorangan mulai
ramai. Media cetak dan media elektronik lewat berbagai cara menjadi sarana
ampuh guna menyikapi gejala tersebut. Generasi ini sangat akrab dengan aneka
jenis gadget dan aplikasi yang berhamburan.
Dalam konteks ini kita menyoroti bagaimana keakraban pengguna
media massa dan media sosial, khususnya dari generasi Y, melibatkan diri
dalam pilkada daerah skala nasional tersebut. Dari perspektif usia terlihat
bahwa segelintir WNI yang ikut serta dalam perpacuan merebut takhta DKI-1
umumnya perpaduan generasi baby boomer
dan generasi X yang lahir dari 1947 sampai 1965. Ibarat anak –keponakan
memilih calon pemimpin dari generasi yang digantikannya.
Sementara waktu ini kita tanyakan dari segelintir calon DKI-1,
berapa besar perhatiannya soal penurunan 5–11 sentimeter air muka daratan DKI
setiap tahun (Kompas, 18/3). Apakah lima tahun lagi Balai Kota DKI masih
layak dihuni dan dijadikan kantor. Atau, lima tahun lagi DKI dan kawasan
Ring-1 Ibu Kota selalu tergenang.
Masih berapa banyak yang berpikir ke arah itu atau hanya ikut
lomba menduduki kursi empuk DKI-1 tanpa hiraukan kemaslahatan bagi warga
merangkap konstituennya. Pertanyaan ini lebih ditujukan kepada segelintir WNI
yang merasa layak menduduki dan memperebutkan singgasana DKI-1. Semuanya
ditentukan oleh seberapa banyak kita bisa kumpulkan suara warga DKI untuk
sang calon.
Santun dan jeruji
Coba kita lihat berapa banyak yang santun, sopan, dan pintar,
bahkan rajin beribadah ke rumah ibadah tetapi menjadi tamu atau penghuni
jeruji besi di KPK. Atau sudah biasakah orang menggunakan rompi oranye KPK
dengan rambut klimis bak seorang selebritas yang sedang digelandang. Apakah
itu seorang mantan bupati, wali kota, lurah, gubernur, menteri, atau anggota
parlemen, tinggal dapat dihitung dengan jari. Mantan bupati penggemar narkoba
(dari Ogan Ilir) atau Ahok petahana dari Jakarta hanya satu contoh untuk
menelusuri bibit, bobot,dan bebet seorang pemimpin daerah, bermutu atau
tidak.
Karena itu, layaklah calon perseorangan, independen, atau apa
pun istilahnya harus diperketat persyaratannya. Padahal, UU No 8 Tahun 2015
sudah mengatur tentang persentase seorang calon perseorangan sebab para
mantan dan calon perseorangan, kalau ikut, umumnya kalah dari pesaing usungan
partai politik.
Survey Politik Indonesia menyatakan, 35 persen kontestan
independen atau perseorangan menang di jalur pilkada, itu pun kurang
sepertiga hanya 40 persen peserta pilkada. Lainnya dimenangi oleh partai
politik, jadi partai politik tetap menjuarai.
Di sisi lain, kita lihat aspek positif berapa banyak dari jutaan
lebih PNS bersikap sederhana dan bisa hidup dengan benar dan wajar.
Bahagialah anggota parlemen sekarang berpeluang untuk jadi pemimpin di daerah
masing-masing yang pernah diwakili sebagai konstituen. Berkesempatan jadi
independen atau perseorangan di luar partai politik yang ada merupakan satu
kesempatan dalam karier politik.
Hanya saja, sangat kita sayangkan berapa banyak yang masuk dalam
generasi emas dan bersinar bagi masa depan bangsa karena di sisi lain lahir
pula plutokratisme di mana yang kaya yang berkuasa sekelompok kecil
masyarakat yang dengan gelimangan harta dan berada di puncak piramida harta dan
kuasa. Mereka adalah kelompok satu persen yang kuasanya lebih dari 99 persen
yang ada. Mungkin mereka sebagian dari 6.000 warga negara Indonesia yang
mempunyai deposito di luar negeri. Kelompok ini bisa muncul dalam berbagai
bentuk di masyarakat. Mereka tidak hanya mengubah budaya dan tata cara
korporasi, tetapi juga manajemen publik sampai ke panggung politik. Misalnya,
dengan cara maju perseorangan di samping lembaga politik yang ada, tempat
mereka pernah dibesarkan. Disebut sebagai orang kaya atau masuk dalam
kelompok miliarder baru sudah biasa, sudah harus berpacu jadi orang kaya dan
superkaya (high net worth individual/HNWI).
Komponen masa depan
Generasi Y yang diidentikkan warga milenia merupakan komponen
dari masa depan bangsa. Mereka adalah pendobrak generasi sebelumnya dengan
kinerja yang lebih efisien dan pengubah wajah korporasi saat ini. Tak ada
hukum besi yang menyatakan calon independen atau perseorangan tak boleh
diusung atau dicalonkan parpol lagi, semua bisa berubah tergantung dimensi
waktu, tempat, dan kepentingan. Yang harus ditakutkan dengan calon
independen, sejauh itu sesuai UU Pilkada, MK dan atau KPU mengizinkan,
biarkan saja.
Sebagai satu warga DKI yang tidak berminat merebut singgasana
DKI-1 (2017), maka pilihan ke model perseorangan dengan jalur nirpartai
merupakan alternatif yang legal sebab dengan berprinsip pada calon gubernur
yang paling sedikit janjinya, maka dialah yang paling rendah potensi
bohongnya. Karena itu, setengah abadhidup dalam kebesaran partai politik, ini
merupakan sarana alternatif.Tak semua orang partai politik jelek. Sebagian
kecil di antaranya pasti baik.
Sebagian warga masih perlu partai politik karena keberadaanya
sebuah keniscayaan, soal rakyat dipaksa memilih itu lain soalnya. Namun,
partai politik perlu berubah dan ber-evolusi dengan perubahan demografis.
Semua perlu berubah. Jika calon independen ini ternyata busuknya tidak kurang
dari yang sudah-sudah, rakyat akan sadar dan mundur teratur, dan calon
perseorangan pun surut sesuai zaman. Jadi tidak ada yang perlu ditakutkan
oleh klausul calon perseorangan. Karena bukan yang kaya yang berkuasa, tetapi
justru yang muda yang berkarya demi masa depan bangsa dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar