Efektivitas Pengawasan KPK
Bambang Soesatyo ;
Ketua Komisi III DPR RI
|
KORAN SINDO, 24 Maret
2016
Setelah sekian lama mengungkap beragam modus para koruptor
mengakali anggaran pembangunan, sangat relevan jika pada waktunya nanti
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mau berinisiatif memberi rekomendasi
tentang metode meningkatkan efektivitas sistem pengawasan, baik kepada
pemerintah maupun DPR.
Peningkatan efektivitas sistem pengawasan harus terus diupayakan
karena penindakan saja sudah terbukti tidak cukup kuat untuk mengurangi
hasrat melakukan tindak pidana korupsi (tipikor). Akumulasi penindakan oleh KPK
yang telah mempermalukan ribuan koruptor ternyata belum juga menimbulkan efek
jera. Pun tidak membuat para pelaku tipikor merasa dipermalukan.
Jumlah kasus korupsi tetap saja tinggi. Dalam banyak kasus,
pelakunya juga melibatkan oknum dari unsur swasta. Beberapa kasus bahkan
melibatkan anggota keluarga; ayah dan anak, kakak dan adik, atau suami-istri.
Barubaru ini, pengadilan memvonis mantan Gubernur Sumatera Utara dan istrinya
karena terbukti mengorupsi dana bantuan sosial (bansos).
Dalam banyak kasus, keluarga terpidana kasus korupsi tidak
malu-malu mempertontonkan pola hidup mewah. Mereka seperti merasa tidak ada
yang salah dengan gaya hidup seperti itu kendati sudah jelas bahwa pola hidup
berlebih itu dibiayai dengan hasil korupsi. Kecenderungan ini menjadi bukti
yang cukup relevan untuk mengatakan bahwa rangkaian aksi penindakan oleh KPK
selama belasan tahun terakhir ini belum berhasil membuat orang takut
melakukan tipikor.
Eksistensi dan kerja KPK selama ini gagal membangun efek jera.
Menurut sejumlah kalangan, ada beberapa alasan yang menyebabkan efek jera
melakukan tipikor itu tidak juga tumbuh. Pertama, sanksi hukum terhadap
terpidana kasus korupsi terbilang sangat ringan. Kedua, tidak ada keberanian
pada sistem peradilan untuk memiskinkan terpidana koruptor dan keluarganya.
Semua terpidana koruptor bahkan tidak dibebani dengan sanksi
sosial lainnya. Hak mereka sebagai warga negara sama dengan semua orang lain
yang tidak pernah melakukan tipikor. Karena itu, tidak perlu heran jika
praktik tipikor tetap marak, baik untuk kasus berskala kecil maupun besar.
Setiap tahun dilakukan evaluasi tentang jumlah kasus, aspek kerugian negara
hingga uang negara yang berhasil diselamatkan.
Kalau dicermati betul, yang terlihat adalah kurva yang
fluktuatif, tetapi dalam skala perubahan yang sama sekali tidak signifikan.
Jumlah kasus mungkin saja turun, tetapi penurunannya tidaksignifikan. Selalu
saja begitu. Artinya, aksi pemberantasan korupsi di negara ini seperti
berjalan di tempat. Publik hanya dipuaskan dengan suguhan berita atau
informasi penindakan dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Hasil OTT memang
harus selalu diapresiasi.
Tapi, semua hasil OTT bukanlah yang utama. Paling utama dari
aksi pemberantasan tipikor adalah kesadaran semua orang bahwa tipikor adalah
kejahatan terhadap warga negara. Kalaupun kesadaran itu tidak merata pada
semua orang, minimal terbangun efek jera. Karena efek jera itu belum juga
terbangun, tentu harus dirumuskan strategi lain, yang minimal bisa menekan
praktik tipikor.
Opsi yang paling mungkin dan masuk akal adalah meningkatkan
efektivitas pengawasan sebagai instrumen pencegahan tipikor. Upaya itu
bukanlah sesuatu yang baru karena pemerintahan dimasa lalu pernah coba
memaksimalkan pengawasan internal dengan program yang disebut pengawasan
melekat (waskat). Sejatinya, prinsip waskat tetap dipraktikkan hingga kini.
Tapi waskat itu telah diselewengkan, antara lain untuk melakukan
korupsi berjamaah. Aksi tipikor menjadi aksi bersama dalam sebuah satuan
kerja. Atasan maupun bawahan sama-sama tahu dan saling mengawasi dalam
mempraktikkan tipikor itu supaya tidak ada kecurangan dalam pembagian uang
dari perbuatan haram itu.
Rekomendasi KPK
Karena KPK telah berhasil mendeteksi dan mengenali semua modus
pelaku tipikor selama ini, boleh diasumsikan bahwa KPK telah membuat sejumlah
analisis tentang bagaimana para pelaku tipikor bisa mengakali anggaran
pembangunan negara demi kepentingan sendiri dan teman- temannya. Karena sudah
mengenal ragam modus tipikor, KPK pun setidaknya tahu bagaimana menangkal
atau mencegah berulangnya modus tipikor serupa.
Idealnya, strategi atau sistem pencegahan melalui mekanisme
pengawasan yang efektif itumulai bisa diberlakukan sejak proses perencanaan
proyek, kelayakan, penghitungan anggaran proyek, tahap lelang, pelaksanaan
atau realisasi proyek hingga tahap memonitor spesifikasi material proyek.
Mekanisme pencegahan sekaligus pengawasan ini sudah bisa
diterapkan berkat dukungan teknologi informasi. Sejumlah perusahaan besar
swasta asing menggunakan teknologi dimaksud sejak perencanaan proyek,
kalkulasi anggaran hingga pengontrolan spesifikasi material proyek. Pada
kasus proyek Hambalang yang bermasalah, KPK tentu menemukan beberapa modus.
Bahkan KPK mau berinisitiatif untuk menyatakan pendapat yang
dialamatkan kepada pemerintah; bahwa untuk meneruskan pembangunan proyek
Hambalang, pemerintah diminta memperhatikan pendapat pakar. Apalagi setelah
tim dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) meneliti dan
menyatakan lokasi proyek itu di zona rawan.
Pertanyaannya adalah mengapa proyek yang telah menghabiskan
anggaran Rp2,7 triliun itu bisa lolos dalam tahap usulan dan pembahasan
anggarannya? Di mana letak kelemahan pengawasannya sehingga proyek itu
disetujui kendati dibangun di lokasi yang rawan bencana?
Selama peradilan kasus ini, dimunculkan beberapa catatan dari
para ahli tentang kejanggalan proyek ini. Misalnya, lokasi proyek Hambalang
berada dalam zona kerentanan gerakan tanah menengah tinggi sebagaimana Peta
Rawan. Pendapat lainnya menegaskan, terjadi kegagalan system management
design dan konstruksi proyek yang telah menyebabkan kegagalan proyek. Selain
itu, proses pembahasan di DPR pun mengandung sejumlah kejanggalan.
Dengan begitu, kasus proyek Hambalang mencerminkan lemahnya
pengawasan lintas instansi. Lemahnya koordinasi pengawasan lintas instansi
mendorong perilaku tidak peduli pada aspek prudent (kehatihatian).
Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yakin proyek itu layak walau
tidak didukung penelitian geologi yang kuat. Akibatnya, kendati proyek itu
sarat risiko, anggaran proyeknya disetujui dan dicairkan.
Pada tahap menyetujui dan mencairkan anggaran proyek ini, jelas
bahwa aspek prudent diabaikan. Kalau saja pengawasan lintas instansi
terkoordinasi dengan efektif, kasus proyek Hambalang pasti tidak pernah ada.
Contoh kasus lainnya yang mencerminkan lemahnya koordinasi pengawasan kasus
pengadaan alat uninterruptible power
supply (UPS) untuk sekolahsekolah di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat pada
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI tahun 2014.
Pengadaan UPS diidentifikasi sebagai anggaran siluman. Sekolah
sebagai pengguna tidak pernah mengajukan permintaan UPS, tetapi pada APBD DKI
ada anggaran untuk pengadaan UPS. Kasus ini bisa terjadi karena institusi
pengawasan tidak pernah berusaha mendapatkan konfirmasi dari pihak sekolah.
Dari catatan tentang ragam modus pelaku tipikor selama ini, KPK
bisa mengetahui dan menunjuk kelemahankelemahan dalam pengawasan pembangunan
nasional. Bahkan KPK pun bisa menemukan cara untuk menutup semua kelemahan
pada aspek pengawasan itu.
Pendapat KPK itulah yang diharapkan menjadi dasar untuk
memberikan rekomendasi kepada pemerintah maupun DPR guna mencari rumusan baru
bagi peningkatan efektivitas pengawasan. Sudah barang tentu pendapat atau
rekomendasi KPK itu tidak harus final. Tentunya harus didiskusikan terlebih
dahulu dengan semua institusi terkait.
Sudah waktunya KPK menunjuk kelemahan sistem pengawasan dan
berani merekomendasikan metode meningkatkan efektivitas sistem pengawasan.
Sebab, penindakan saja gagal menumbuhkan efek jera bagi calon pelaku tipikor.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar