Karut-marut BPJS Kesehatan
Arif Minardi ;
Anggota Komisi IX DPR 2009-2014
yang membidani BPJS Kesehatan
|
KORAN JAKARTA, 16
Maret 2016
Kenaikan iuran Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) untuk peserta
bukan penerima upah (PBPU) atau biasa disebut peserta mandiri sangat
mengecewakan. Para peserta mandiri BPJS Kesehatan seperti pelaku UMKM, petani, wiraswasta, dan
kelompok profesi lainnya menggugat kenaikan iuran yang tertuang dalam Perpres
No 19 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12
tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.
Kenaikan iuran
tersebut dan masih buruknya layanan
BPJS Kesehatan, maka kategori peserta mandiri diprediksi semakin
banyak akan mengundurkan diri karena tidak sanggup membayar premi untuk seluruh
anggota keluarga. Kenaikan iuran merupakan langkah kontraproduktif saat diusahakan menambah peserta PBPU. Mestinya pemerintah memberi
perhatian khusus terhadap PBPU yang sangat sensitif. Hal itu terlihat angka gagal mengiur PBPU selama ini sangat besar.
Begitu pula secara nasional persentase total PBPU masih kecil.
Pemerintah tidak perlu
menambah anggaran PBI. Dalam Perpres No 19 tahun 2016 iuran PBPU dinaikkan
untuk kelas III dari 25.500 rupiah per orang per bulan menjadi 30.000. Untuk kelas II meningkat
dari 42.500 per orang per bulan menjadi 51.000. Sedang kelas I
bertambah dari 59.500 per orang per
bulan menjadi 80.000.
Masyarakat menentang
kenaikan mulai 1 April 2016 ini karena
belum disosialisasikan. Masyarakat memiliki asumsi, besaran iuran berdasarkan perhitungan
jumlah penduduk dan kewajiban seluruh
warga mengiur adalah tahun 2019,
sehingga sampai tahun 2019 terus terjadi defisit.
Komunikasi BPJS
Kesehatan tidak baik karena tak ada roadmap
defisit sampai 2019 dan yang
menalangi. Ini tidak terinci
dengan jelas. Seharusnya sampai tahun 2019, defisit ditalangi negara, jangan dibebankan kepada rakyat. Apalagi hingga
kini pelayanan BPJS masih buruk. Akibatnya banyak perusahaan menggunakan
asuransi kesehatan lain.
Masalah krusial lain
adanya disparitas biaya pengobatan antara standar yang diberlakukan oleh
Menteri Kesehatan dengan biaya faktual dilapangan. Pemerintah belum berhasil
dalam menerapkan standar biaya pengobatan penyakit, sehingga ada dokter yang
merasa dibayar terlalu kecil oleh BPJS Kesehatan. Sebagian besar Rumah Sakit
di Indonesia, dijadikan lahan bisnis untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya. Dengan fakta fakta tersebut diatas, seharusnya Pemerintah
membenahi dahulu seluruh permasalahan
tersebut sebelum menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Mismanajemen
Masyarakat melihat
kondisi carut-marut BPJS Kesehatan yang terjadi mismanajemen. Hal itu
terlihat BPJS Kesehatan mengalami defisit 5,85 triliun pada 2015.
Mismanajemen juga menyangkut alokasi anggaran Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Di mana untuk APBN-P 2015 alokasi PBI 20,3 triliun. Angka tersebut didasarkan
pada cakupan penduduk miskin 88,2 juta jiwa dengan nilai PBI sebesar 19.225
perbulan per orang setahun. Data cakupan tersebut masih tumpang tindih. Ada kerancuan,
sehingga data tidak akurat dan rawan penyelewengan.
Pada penghujung 2015
ada berita memilukan. Seorang karyawan
PT Dirgantara Indonesia (PT DI) ditemukan tewas di kamar mandi di gedung Fix
Wing lantai IV. Lehernya terlilit tali yang menggantung di kusen bagian atas
pintu kamar mandi pada saat jam kerja. Dia menggantung karena putus asa
karena penyakitnya asam urat,
diabetes, dan darah tinggi. Yang bersangkutan frustrasi lantaran mendapat perawatan kesehatan kurang layak.
Pada era BPJS Kesehatan
ternyata karyawan industri pesawat terbang saja belum mendapat fasilitas
kesehatan memadai. Bagaimana dengan
perusahaan kecil lain yang tidak melibatkan teknologi canggih.
Sangat beralasan, rakyat menuntut segera dibenahi total.
Terkait dengan aspek ketenagakerjaan, kini iuran BPJS Kesehatan yang
dibayarkan perusahaan banyak sia-sia karena buruh tidak mau layanan
fasilitas kesehatan tingkat pertama sangat buruk. Dengan demikian perusahaan
terpaksa membuat layanan kesahatan lainnya. Hal itu terjadi pada perusahaan
yang tergabung dalam grup Toyota.
Ironisnya pengelola BPJS Kesehatan mengklaim
rugi 5,85 triliun rupiah tahun ini. Ini sangat ganjil. Ini diduga
ada modus korupsi dan manipulasi. Apalagi sistem klaim dari pelaksana faskes
tingkat pertama hingga rumah sakit sangat mudah dimanipulasi. Beberapa
perusahaan yang terpaksa membayar dua skema jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan
dan asuransi lain), namun karena buruknya pelayanan BPJS Kesehatan di tingkat
bawah, maka kaum buruh tidak mengambil pelayanan tersebut. Dengan demikian
iuran buruh dan perusahaan menjadi sia-sia.
Buruh menuntut agar
fasilitas kesehatan tingkat pertama (faskes I) dengan pelayanan bermutu
diarahkan ke perusahaan atau kawasan permukiman kaum buruh. Sebisa mungkin
diperbanyak dokter perusahaan atau poliklinik berkualitas dengan pelayanan prima.
Saat ini jumlah dokter
dan poliklinik fasilitas BPJS di daerah sangat sedikit. Bahkan poliklinik
yang ditunjuk rata-rata kondisisnya buruk dan tidak buka 24 jam. Sabtu dan
Minggu tutup. Presiden Joko Widodo
sebaiknya segera membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan kategori PBPU dan
menutup defisit dengan APBN. Pemerintah
juga meningkatkan alokasi anggaran untuk PBI.
Sekarang buruh
merupakan segmen masyarakat rentan gangguan kejiwaan. Ancaman PHK, sistem
outsourcing, himpitan beban kerja, diskriminasi, kurang memadainya besaran
UMR dan bencana alam merupakan faktor dominan pemicu stres. Mereka juga
depresi dan mengalami banyak gangguan
kejiwaan lainnya.
Gangguan kejiwaan yang
menimpa kaum buruh sering terabaikan. Ada baiknya program dan layanan BPJS
Kesehatan juga difokuskan membangun
pusat rehabilitasi mental dan aspek kesehatan jiwa para pekerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar