Calon Perseorangan dan Pemda
Ramlan Surbakti ;
Guru Besar Perbandingan Politik
pada FISIP Universitas Airlangga; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 31 Maret
2016
Baik sebelum pilkada serentak maupun pada pilkada serentak 2015,
jumlah calon perseorangan sangat kecil dan jumlah calon perseorangan yang
terpilih juga dapat dihitung dengan jari. Bahkan sejumlah calon perseorangan
yang terpilih menjadi kepala daerah justru kemudian menjadi ketua partai pada
tingkat kabupaten/kota
Berdasarkan fakta ini sesungguhnya calon perseorangan tidaklah
menjadi isu besar. Karena itu, mengapa calon perseorangan tiba-tiba dipandang
sebagai deparpolisasi. Calon perseorangan untuk pilkada niscaya bukan
deparpolisasi tidak hanya karena partai politik di DPR dan pemerintah yang
membuat undang-undang yang memungkinkan calon perseorangan menjadi calon
dalam pilkada, tetapi juga karena calon perseorangan sudah muncul sebelum
Pilkada Serentak 2015.
Karena itu, tiga pertanyaan perlu dijawab pada kesempatan ini.
Pertama, mengapa calon perseorangan tiba-tiba menjadi isu besar? Kedua,
apakah pencalonan melalui jalur partai politik dan melalui jalur perseorangan
merupakan jalur pencalonan yang berbeda secara kategorik? Dan, ketiga, apakah
kepala daerah terpilih dari jalur perseorangan mampu mendapatkan dukungan
dari semua fraksi di DPRD terhadap rencana kebijakan publik yang
diusulkannya?
Calon perseorangan untuk Pilkada 2017 menjadi isu sesungguhnya
hanya untuk DKI Jakarta karena dua hal. Pertama, model kepemimpinan Gubernur
Basuki Tjahaja Purnama yang dalam kajian kepemimpinan dikategorikan sebagai
kepemimpinan autentik (authentic leadership). Kedua, perilaku memilih
sebagian besar warga DKI Jakarta cenderung rasional karena mampu menilai
sepak terjang pemimpin. Tanpa disuruh dan dibiayai oleh Basuki, lebih dari
satu tahun ”Teman Ahok” sudah mendaftarkan dukungan warga Jakarta untuk
pencalonan Basuki untuk pilkada DKI Jakarta melalui jalur perseorangan.
Jumlah dukungan warga Jakarta sudah mencapai sekitar 700.000 dari 1 juta yang
ditargetkan.
Basuki kemudian harus mengambil keputusan apakah maju menjadi
calon gubernur DKI Jakarta melalui jalur partai politik ataukah melalui jalur
perseorangan. Basuki kemudian mengambil keputusan melalui jalur perseorangan karena
jalur partai dinilai memerlukan dana sangat besar sedangkan jalur
perseorangan dipandang tak memerlukan dana. Sejumlah partai politik yang
selama ini mendukung duet Basuki dengan Djarot Saiful Hidayat mempertanyakan
akurasi alasan itu.
Ketika maju sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur
DKI Jakarta bersama Joko Widodo pada 2012, pasangan ini jelas mendapat
bantuan dana baik dari PDI Perjuangan maupun dari Partai Gerindra, bukan
sebaliknya. Juga dipertanyakan bukankah maju melalui jalur perseorangan juga
memerlukan dana yang tidak sedikit. Dari mana ”Teman Ahok” mendapatkan dana
yang tidak sedikit tersebut? Sebagian lagi dari mereka yang berniat menyaingi
Basuki dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 memandang keputusan Basuki maju melalui
jalur perseorangan sebagai bukti nyata ketidakpercayaan Basuki terhadap
partai politik. Karena itu, sejumlah tokoh lain kemudian menyatakan niat
menjadi calon gubernur DKI Jakarta melalui jalur partai politik.
Konsekuensi politik
Setiap keputusan, apakah maju melalui jalur perseorangan ataupun
melalui jalur partai politik, memiliki konsekuensi politik baik yang dapat
diperkirakan (intended consequences) maupun yang tidak diperkirakan
sebelumnya (unintended consequences). Bila maju melalui jalur partai politik,
pasangan calon yang terpilih diperkirakan akan mendapat dukungan solid dari
partai politik yang mencalonkan dari DPRD. Namun, fakta menunjukkan betapa
dukungan dari partai yang mencalonkan tersebut tidaklah muncul dengan
sendirinya. Hal ini juga tergantung pada kepemimpinan politik kepala daerah
terpilih dalam menggalang dukungan dari partai tersebut di DPRD.
Sebaliknya, calon perseorangan yang terpilih menjadi kepala
daerah diperkirakan akan menghadapi kesukaran mendapatkan dukungan dari semua
partai politik di DPRD. Dalam praktik hal itu juga tergantung pada
kepemimpinan politik kepala daerah dalam melakukan pendekatan terhadap partai
politik di DPRD.
Konsekuensi pilihan jalur yang diambil juga tergantung pada
komposisi keanggotaan DPRD: apakah fragmentaris (perolehan kursi partai di
DPRD relatif seimbang, tidak ada partai politik yang mencapai jumlah anggota
yang signifikan), ataukah relatif homogen (terdapat satu atau dua partai
politik yang memiliki jumlah kursi yang signifikan).
Setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan jumlah calon
perseorangan tidak terlalu besar selama ini. Pertama, jumlah dukungan pemilih
yang diperlukan untuk dapat menjadi calon cukup besar, terutama pada provinsi
dan kabupaten/ kota yang jumlah penduduknya sangat besar, seperti di Pulau
Jawa. Mahkamah Konstitusi sudah mengubah syarat dukungan itu dari jumlah
penduduk menjadi jumlah pemilih. Putusan Mahkamah Konstitusi ini jelas
mengurangi jumlah dukungan pemilih yang diperlukan. Namun, upaya mendapatkan
dukungan dalam jumlah yang ditentukan tersebut juga bukanlah perkara mudah.
Dukungan pemilih harus dibuktikan dengan KTP, dan KTP harus difotokopi.
Namun, tim pengumpul dukungan juga harus hati-hati jangan sampai seorang
pemilih yang telah memberikan dukungan kepada satu pasangan calon
perseorangan juga memberikan dukungan kepada pasangan calon perseorangan
lain. Dukungan ganda ini tak jarang terjadi karena setiap dukungan yang
diberikan biasanya juga disertai balas jasa. Singkat kata dukungan pemilih
untuk pasangan calon perseorangan niscaya memerlukan dana yang tidak sedikit.
Dan, kedua, partai politik juga sudah membuka diri kepada tokoh
yang bukan anggota partai, yaitu menawarkan kesempatan bagi mereka menjadi
calon kepala daerah melalui jalur partai. Boleh dikata semua kepala daerah
yang dinilai berhasil di Indonesia sekarang ini, seperti Wali Kota Surabaya
Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Bantaeng Nurdin
Abdullah, Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo, dan sebagainya—termasuk Basuki
sendiri—maju menjadi calon kepala daerah melalui jalur partai. Padahal, semua
kepala daerah ini (kecuali Basuki) adalah pegawai negeri sipil yang jelas
bukan anggota partai.
Artinya, partai politik tidak hanya telah membuka diri kepada
tokoh yang bukan anggota partai, tetapi juga telah mampu memilih calon yang
tepat (karena memiliki kepemimpinan yang efektif dan integritas pribadi).
Tidak heran bila cukup banyak tokoh yang bukan anggota partai berupaya maju
melalui jalur partai. Karena itu, maju menjadi calon di pilkada melalui jalur
perseorangan tidak perlu dipertentangkan dengan maju melalui jalur partai
politik. Keduanya merupakan jalur yang dibenarkan secara hukum, dan jalur apa
yang akan ditempuh setiap bakal calon merupakan keputusan politik yang harus
diambil sesuai dengan konteks daerahnya. Basuki sendiri mungkin akan memilih
jalur partai bila menjadi calon di daerah lain, seperti Jawa Timur, misalnya.
Namun, untuk konteks Jakarta, Basuki merasa mantap maju melalui jalur
perseorangan karena karakter pemilih Jakarta yang rasional.
Pemerintahan daerah yang
efektif
Setidaknya terdapat dua indikator pemerintahan daerah yang
efektif: (1) kebijakan publik (perda dan APBD) yang disepakati dan ditetapkan
oleh kepala daerah dan DPRD sesuai dengan kehendak warga daerah; dan (2) kebijakan
publik yang sesuai dengan kehendak rakyat tersebut dapat diimplementasikan
menjadi kenyataan sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh warga daerah.
Indikator pertama berkaitan dengan sistem pemilihan kepala daerah dan proses
politik, sedangkan indikator kedua berkaitan dengan kapasitas dan efisiensi
birokrasi dalam melaksanakan kebijakan publik tersebut di bawah pengendalian
dan pengawasan kepala daerah.
Apakah kepala daerah terpilih yang maju melalui jalur
perseorangan akan mampu memimpin pemerintahan daerah dengan efektif? Jawaban
atas pertanyaan ini juga tergantung pada konteks daerahnya. Konteks daerah
yang dimaksud adalah karakter pemilih (pemilih rasional, loyalis partai
politik, tradisional, atau transaksional), komposisi keanggotaan DPRD fragmentaris
(DPRD terdiri atas banyak partai politik dengan perolehan kursi yang relatif
seimbang) ataukah relatif homogen (terdapat satu atau dua partai politik yang
memiliki kursi dalam jumlah yang signifikan), sistem pemilihan kepala daerah,
dan tipe kepemimpinan kepala daerah (kepemimpinan transaksional ataukah
transformatif, kepemimpinan sebagai acting ataukah kepemimpinan autentik).
Sebagian besar pemilih Jakarta cenderung memiliki pola perilaku
pemilih rasional. DPRD DKI Jakarta cenderung fragmentaris: PDI Perjuangan
sebagai fraksi terbesar hanya terdiri atas 28 dari 106 kursi DPRD DKI.
Delapan fraksi lain memiliki kursi berkisar antara lima sampai dengan 15
(masing-masing 15, 12, 11, 10, 10, 9, 6, dan 5 kursi). Berbeda dengan daerah
lain, kriteria keterpilihan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah di
Jakarta adalah harus mencapai lebih dari 50 persen suara. Model kepemimpinan
gubernur terpilih belum diketahui.
Karena perda dan APBD diputuskan bersama oleh kepala daerah dan
DPRD, apakah kepala daerah yang berasal dari jalur perseorangan mampu
menyelenggarakan pemerintahan daerah sesuai dengan kehendak warga daerah?
Kehendak rakyat (warga daerah) secara formal diwakili oleh semua partai
politik yang memiliki kursi di DPRD, dan pasangan kepala dan wakil daerah
(lebih dari 50 persen suara pemilih untuk DKI Jakarta).
Secara substansial kehendak warga daerah juga dapat dinyatakan
oleh setiap pemilih secara langsung maupun melalui berbagai organisasi
kemasyarakatan. Karena itu, jawaban atas pertanyaan tersebut tergantung pada
kepemimpinan politik kepala daerah: apakah mampu meyakinkan DPRD yang
fragmentaris, dan apakah mampu mendayagunakan dukungan dari mereka yang
mencalonkan (sekitar 700.000 warga DKI) dan yang memilihnya (lebih dari 50
persen pemilih terdaftar) sebagai aset dalam melakukan negosiasi dengan DPRD.
Dalam situasi seperti ini, tindakan calon kepala daerah dari perseorangan
yang membuka hubungan konfrontatif dengan partai politik niscaya bukanlah
tindakan yang tepat. Suka atau tidak suka secara formal partai politik
peserta pemilu yang memiliki kursi di DPRD-lah yang menjadi mitra kepala
daerah dalam membuat kebijakan publik.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa Basuki ternyata juga
mencari dan menerima dukungan dari sejumlah partai politik, seperti Partai
Nasdem dan Hanura. Namun, UU pilkada tidak memungkinkan pencalonan melalui
dua jalur sekaligus. Karena itu, setiap bakal calon melalui jalur
perseorangan perlu menemukan kesepakatan dengan partai pendukung tentang pola
dukungan yang diberikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar