DPD dalam Pusaran
Baharuddin Aritonang ; Mantan Anggota PAH I BP MPR 1999-2004
|
KORAN SINDO, 21 Maret
2016
Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) kini berada dalam pusaran. Pada Sidang Paripurna, 17 Maret 2016,
lembaga negara yang lahir di alam reformasi ini terjadi kericuhan. Yang
membuat kita merasa sedih bukan karena berdebat soal eksistensi negara,
tentang perdebatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak di daerah, atau
berbagai hal yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara lain, melainkan
persoalan yang saya anggap amat sederhana, tentang masa jabatan pemimpinnya
semata. Perdebatan begitu dengan mudah diartikan, akan menyangkut sekadar
perlambang, paling-paling soal rezeki dan fasilitas yang diterima.
Ada pihak yang
menginginkan pimpinan DPD (ketua dan wakil ketua) cukup setengah masa jabatan
saja agar berganti dengan yang lain. Kini saatnya masa jabatan itu berakhir
dan saatnya pula digantikan. Tentu karena ada yang ingin mobil dinas bernomor
RI, tunjangan jabatan, rumah jabatan, atau tampil bersama pimpinan
lembaga-lembaga negara, termasuk menghadiri beragam acara atau muncul di
media memberi keterangan tentang lembaganya.
Mereka lupa, tanpa
jabatan itu pun, dan cukup sebagai anggota, akan bisa tampil terhormat di
masyarakat. Tentu melalui pemikiran cemerlang tentang negeri dan bangsa ini,
juga program-program yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Aspeknya
tentang negara dan daerah, sesuatu yang sesungguhnya juga teramat luas. Tapi,
apa yang terjadi selama ini. Yang amat sering terlontar adalah tuntutan
perubahan UUD1945 untuk memperkuat kelembagaan DPD.
Dasar yang
dikemukakan, posisi sekarang ini tidak sesuai dengan teori sistem bikameral.
Mestinya kan posisi DPD itu lebih kuat dari DPR. Setidaknya, sejajarlah, baik
di bidang legislasi (perundang- undangan), budget (penganggaran), dan kontrol
(pengawasan) atas jalannya pemerintahan negara. Ungkapan itu selalu mereka
kemukakan berulang-ulang. Tanpa penguatan itu pun, sebagian besar sudah
menamakan diri sebagai ”senator”.
Padahal, DPD bukanlah
senat sebagaimana di Amerika Serikat, di mana negara federal terbentuk atas
dasar negara-negara bagian. Republik Indonesia adalah negara kesatuan. Yang
terbentuk lebih dulu adalah negara RI, baru di dalamnya dibentuk
provinsi-provinsi, kabupaten, dan kota.
Lagipula, bukankah
teori tidak selalu diterapkan secara murni sebagaimana halnya Trias Politika
Montesquieu yang tidak ada sebuah negara pun di dunia ini yang menjalankannya
secara murni? Lagi pula pembentukan sebuah negara akan berdasar pada apa yang
dirumuskan bangsa itu di dalam konstitusi atau hukum dasar tertulisnya. Bagi
negeri ini tidak lain dari UUD1945.
Itu sebenarnya juga
sesuai teori konstitusi. Seharusnya DPD berjalan atau melaksanakan fungsinya
(legislasi, budget, dan kontrol) sebagaimana yang tertuang di UUD1945.
Betapapun terbatasnya fungsi itu. Bukankah para anggota DPD sejak awal sudah
memahami keterbatasan ini? Bahkan para calon anggota DPD yang mendaftar sudah
mengerti akan peranannya yang terbatas itu?
Jika peranan yang
terbatas ini dapat dijalankan dengan baik, niscaya akan memberi sumbangan
nyata di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi, lihatlah di dalam
berbagai program negara yang terkait dengan daerah sekalipun para anggota DPD
belum memberikan peranan yang nyata. Di mana DPD ketika pemekaran daerah
berkembang ke arah yang tidak terkendali seperti sekarang ini?
Tahukah mereka jika
kantor bupati di kampung saya baru selesai setelah lebih dari 15 tahun
dimekarkan? Pernahkah diulas kesejahteraan apa yang didapatkan rakyat setelah
daerahnya dimekarkan?
Lantas, apa yang
mereka rasakan ketika terjadi pembalakan besar-besaran atas hutan, kekayaan
alam yang terkandung di dalam bumi, taman nasional yang digali sekadar untuk
mendapatkan emas bagi kehidupan rakyat yang sesaat, atau kebakaran hutan di
Sumatera dan Kalimantan yang menjadi sorotan dunia? Di mana mereka berdiri
ketika laporan keuangan daerah masih banyak yang amburadul? Apa sikap mereka
atas pilkada yang disandarkan pada kekuatan uang?
Tanggal 17 Maret 2016
saya diundang para tenaga ahli DPR untuk berdiskusi bagaimana memberlakukan
hasil pemeriksaan BPK ke depan. Seorang tenaga ahli bercerita jika anggaran
pendidikan itu hanya 35% yang dikelola pusat. Sisanya ditransfer ke daerah.
Saya katakan, dalam keadaan seperti itulah tugas-tugas DPD dilanjutkan.
Bukan untuk ikut
bermain, tetapi untuk mengawasinya agar digunakan bagi kepentingan rakyat.
Kalau mau diurai, sesungguhnya amat banyak yang tidak atau belum dikerjakan
oleh DPD, tanpa harus mengubah lagi UUD1945 untuk memperkuat kelembagaannya
melalui sistem bikameral. Amat banyak yang harus dikerjakan tanpa
berteriak-teriak meminta penguatan wewenang.
Jika protesprotes
tanpa bekerja itu dilanjutkan, tentulah akan banyak pihak lain yang kesal.
Tidak heran bila Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melalui mukernasnya meminta
agar lembaga ini dibubarkan saja. Mungkin memang tidak harus sejauh itu.
Tetapi, bagaimana mengembalikannya ke pangkal jalan. Sejarah lahirnya DPD tak
lepas dari pelaksanaan UUD1945 selama ini.
Ketika belum terjadi
perubahan UUD945, di samping masa jabatan presiden, yang banyak dipersoalkan
adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat. Semula bunyinya ”Kedaulatan di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ”. Dalam
praktiknya, yang berdaulat bukanlah rakyat.
Sebagian anggota DPR/
MPR berdasar pengangkatan, baik melalui perimbangan maupun berdasar utusan
golongan (karena MPR terdiri atas anggota DPR dan utusan daerah dan utusan
golongan). Karena itu, melalui Perubahan UUD1945, Pasal 1ayat (2) di atas di
ubah menjadi ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”.
Sejalan dengan itu,
seluruh anggota MPR dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. MPR
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih langsung oleh rakyat.
Jika DPR dicalonkan melalui partai politik (organisasi yang menghimpun
aspirasi politik rakyat), DPD mewakili daerah-daerah. Pelaksanaan kedaulatan
rakyat dilakukan melalui lembaga-lembaga negara (lembaga-lembaga yang
kewenangannya diatur langsung oleh UUD1945 yakni DPD, DPR, MPR, presiden, MA,
MK, KY, dan BPK).
Itu dilakukan melalui
”checks and balances ”. Jika DPR, DPD, dan presiden dipilih langsung oleh
rakyat, lembaga negara lain diatur dengan UU dan keanggotaannya ditetapkan
oleh ketiganya (DPR, DPD, dan presiden) dengan cara yang bervariasi. Dengan
latar belakang seperti itulah, pada rapat Lembaga Pengkajian MPR, saya
katakan mestinya DPD dengan rendah hati melakukan pekerjaan-pekerjaan besar
ini dengan baik.
Kalaupun dianggap
sebagai pelengkap, sekadar ikut membahas, memberikan pertimbangan, dan
sejenisnya, biarkan sajalah. Jika tugas-tugas yang terbatas itu dilakukan
dengan intens dan baik, niscaya rakyat akan memberi kepercayaan sepenuhnya.
Kenapa harus menuntut kewenangan terus, sedang kewenangan yang diberikan itu
belum dijalankan dengan baik?
Mestinya DPD harus
bersyukur dengan Perubahan UUD1945 tersebut karena berdasar itulah, lembaga
ini hadir. Sebelumnya dalam bentuk utusan daerah, yang dipilih oleh DPRD
provinsi. Itu pun seringkali direkayasa sehingga yang menjadi ”wakil rakyat”
dari daerah itu adalah ”wakil penguasa”.
Nah, kini saatnyalah
merenung. Bekerjalah untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan kepentingan
orang per orang. Termasuk hanya memikirkan jabatan. Kalau tidak akan datang
gugatan yang lebih dahsyat; tuntutan akan menghilangkan eksistensi lembaga
ini. Yang terakhir ini pun sudah mulai muncul. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar