Penegakan Hukum dan Pilkada
Ramlan Surbakti ;
Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga
Surabaya; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 08 Maret
2016
Salah satu parameter
pemilu atau pemilihan kepala daerah yang demokratis adalah sistem penegakan
hukum dan penyelesaian sengketa pemilu yang adil dan tepat waktu. Ada dua
jenis ketentuan pemilu dan satu kode etik yang perlu ditegakkan secara adil,
dan tiga jenis sengketa pemilu yang wajib diselesaikan secara adil. Ketentuan
dimaksud adalah Ketentuan Administrasi Pemilu (KAP), Ketentuan Pidana Pemilu
(KPP), dan Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP). Ketiga jenis sengketa
pemilu adalah sengketa administrasi pemilu (sengketa terjadi ketika peserta
pemilu/pasangan calon menggugat keputusan Komisi Pemilihan Umum/KPU
Provinsi/KPU Kabupaten-Kota), sengketa antarpeserta pemilu/pasangan calon,
dan sengketa hasil pemilu/pilkada yang harus diselesaikan tepat waktu.
Soal penegakan hukum
dan penyelesaian sengketa pemilu/pilkada harus adil, boleh dikatakan semua
pihak memahami maksudnya karena salah satu asas pemilu demokratik adalah adil
(Pasal 22E Ayat (1)). Dimensi waktu yang disebutkan secara paralel dengan
asas-asas pemilu demokratik adalah penyelenggaraan pemilu secara periodik.
Asas penyelenggaraan pemilu secara periodik disebutkan dalam Pasal 22E Ayat
(1) sebagai ”setiap lima tahun sekali”. Namun, penegakan hukum dan
penyelesaian sengketa pemilu ”tepat waktu” tak ada dalam Pasal 22E itu.
Kalau begitu mengapa
penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu harus tepat waktu? Apa yang
dimaksud dengan tepat waktu? Dua aspek yang menjadi fokus perhatian dan
pertanyaan dari semua pihak ketika hasil pemilu ditetapkan dan diumumkan oleh
KPU (hasil pilkada oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten-Kota). Aspek pertama,
apakah hasil pemilu/pilkada itu jujur, akurat, dan sepenuhnya sesuai dengan
pilihan para pemilih (tidak ada kesalahan baik yang disengaja karena segala
bentuk manipulasi maupun kesalahan yang tidak disengaja).
Aspek kedua, apakah
semua bentuk pelanggaran dan sengketa pemilu sudah ditangani secara adil.
Bila sebagian besar pemilih dan pemantau pemilu (domestik dan internasional)
menilai hasil pemilu bebas dari kesalahan yang sengaja dan tidak sengaja,
atau, mengandung kesalahan yang dinilai masih dapat diterima; dan semua
pelanggaran dan sengketa pemilu telah diselesaikan secara adil, atau,
sebagian besar pelanggaran dan sengketa pemilu yang dinilai bernilai
strategik sudah ditangani secara adil, maka mereka akan menerima hasil
pemilu/pilkada tersebut sebagai demokratis.
Penyederhanaan sistem penegakan hukum pemilu
Karena menilai hasil
pemilu/pilkada sebagai demokratis, maka pasangan calon terpilih hasil
pemilu/pilkada akan diterima sebagai penyelenggara negara yang berlegitimasi.
Penyelenggara negara yang diterima rakyat sebagai berlegitimasi secara
politik dan hukum merupakan faktor utama penentu efektivitas pemerintahan.
Setiap pelanggaran
KAP, KPP, dan KEPP harus tuntas ditegakkan secara adil sebelum KPU/KPU Provinsi/KPU
Kabupaten-Kota menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu/pilkada. Sengketa
administrasi pemilu, sengketa antarpeserta pemilu, dan sengketa hasil pemilu
juga harus tuntas diselesaikan secara adil sebelum KPU/KPU Provinsi/KPU
Kabupaten-Kota menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu/pilkada.
Prinsip utamanya
adalah setiap pelanggaran dan sengketa pemilu harus ditangani secara tuntas
dan adil sesuai dengan jadwal waktu setiap tahapan pemilu. Akan tetapi,
mewujudkan prinsip ini tidak mudah, baik karena karakteristik dasar jenis
pelanggaran dan hukum acaranya, maupun instansi yang menegakkannya.
Bila penegakan dan
penyelesaian sengketa pemilu harus tuntas sebelum KPU/KPU Provinsi/KPU
Kabupaten-Kota menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu/pilkada, maka yang
menjadi pertanyaan adalah berapa hari sebelum penyelenggara pemilu menetapkan
dan mengumumkan hasil pemilu?
Batasan tepat waktu
ini berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD adalah 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu. Berdasarkan
ketentuan Pasal 265, ”putusan pengadilan terhadap kasus tindak pidana pemilu
yang menurut UU ini dapat memengaruhi perolehan suara peserta pemilu harus
sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara
nasional.” Karena jenis pelanggaran yang memengaruhi hasil pemilu tak hanya
sejumlah tindak pidana pemilu, tetapi juga sejumlah pelanggaran KAP, maka
yang harus tuntas ditegakkan lima hari sebelum KPU menetapkan dan mengumumkan
hasil pemilu tidak saja tindak pidana pemilu. Ketentuan Pasal 265 sudah tepat
sehingga tindak pidana lain yang tak memengaruhi hasil pemilu secara langsung
dapat ditegakkan sesuai dengan prosedur normal. Yang perlu ditegaskan dalam
UU adalah apa saja tindak pidana pemilu yang memengaruhi secara langsung
hasil pemilu.
Pelanggaran yang
selama ini praktis tidak pernah ditegakkan adalah ketentuan tentang
penyalahgunaan uang dalam pemilu. Penyalahgunaan uang dalam pemilu yang
dimaksud adalah ketentuan yang secara umum disebut sebagai politik uang.
Sejumlah ketentuan yang termasuk penyalahgunaan uang dalam pemilu/pilkada
dapat disebutkan. Pertama, pemberian dan penerimaan imbalan dalam proses
pencalonan pilkada (Pasal 47, UU No 8/2015 tentang Pilkada). Seharusnya
ketentuan ini diperbaiki menjadi ”memberikan atau menjanjikan imbalan” karena
dalam praktik pemberian ini tidak selamanya bersifat kontan melainkan akan
diberikan bila telah ditetapkan sebagai calon atau bila terpilih.
Kedua, jual-beli suara
baik langsung maupun melalui perantara. Jual-beli suara ini dirumuskan
sebagai ”memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada pemilih
agar memilih calon tertentu atau agar tak memilih calon tertentu.” Jual-beli
suara juga dapat terjadi bukan antara calon/tim sukses dengan pemilih baik
secara langsung maupun melalui perantara (tokoh masyarakat), tetapi antara
calon dan petugas (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, Panitia
Pemungutan Suara atau Panitia Pemilihan Kecamatan) sebagaimana yang
dijanjikan PPK Pasuruan kepada seorang calon anggota DPR pada Pemilu
Legislatif 2014 lalu. Salah satu penyebab utama mengapa dugaan pelanggaran
terkait penyalahgunaan uang dalam pemilu tak pernah diproses secara hukum
adalah ketentuan itu merupakan ketentuan administrasi dan pidana pemilu sekaligus.
Karena itu, penegakan ketentuan administrasi pemilu tergantung pada putusan
pengadilan atas pelanggaran itu. Untuk menjamin tepat waktu penegakan
ketentuan administrasi pemilu harus dipisah secara jelas dari penegakan
tindak pidana pemilu.
Dugaan penyalahgunaan
uang dalam pemilu pertama-tama harus diproses sebagai dugaan pelanggaran
ketentuan administrasi pemilu. Penegakan ketentuan administrasi pemilu yang
menyangkut penyalahgunaan uang dalam pemilu/pilkada diserahkan kepada Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi. Bila keberatan terhadap putusan Bawaslu
Provinsi, dapat diajukan banding kepada Bawaslu Nasional sebagai upaya hukum
terakhir. Penyalahgunaan uang dalam pemilu sebagai tindak pidana pemilu
diproses oleh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan tanpa terikat pada batas
waktu (lima hari sebelum KPU menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu).
Penyelesaian sengketa
administrasi pemilu yang selama ini dibawa ke lembaga pengadilan (Pengadilan
Tata Usaha Negara sampai Mahkamah Agung) justru menjadi penyebab mengapa lima
daerah (Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Simalungun,
Kota Manado, dan Kota Pematang Siantar) mengalami penundaan dalam
menyelenggarakan pilkada. Proses penyelesaian sengketa administrasi pemilu
(gugatan terhadap putusan KPU Provinsi/KPU Kabupaten-Kota) tidak hanya perlu
disederhanakan, tetapi juga instansi yang menanganinya perlu diganti.
Penyelesaian sengketa administrasi pemilu lebih tepat seluruhnya diserahkan
kepada Bawaslu Provinsi dan bila tidak puas dapat naik banding kepada Bawaslu
Nasional sebagai upaya hukum terakhir. Penyelesaian sengketa hasil pemilu
oleh Mahkamah Konstitusi sudah barang tentu tidak terikat pada tepat waktu
karena hasil pemilu yang ditetapkan dan diumumkan KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten-Kota-lah
yang menjadi obyek sengketa di MK.
Integrasi hukum pemilu
Dalam rangka
pengintegrasian hukum pemilu (kodifikasi empat UU pemilu), tim kemitraan
(yang saya pimpin) telah mengajukan proposal pembentukan Komisi Penegakan
Hukum Pemilu (Election Tribunal) kepada semua fraksi di DPR dan pemerintah
dengan cara mentransformasi Bawaslu menjadi Komisi Penegakan Hukum Pemilu
(KPHP). KPHP ini tentu dengan kualifikasi keanggotaan dan kewenangan yang
berbeda dari Bawaslu. Penyalahgunaan uang dalam pemilu, penegakan ketentuan
dana kampanye pemilu, dan perselisihan administrasi pemilu merupakan tiga
dari lima tugas dan kewenangan yang diusulkan menjadi tugas KPHP. Untuk
Pilkada 2017 dan pilkada sebelum kodifikasi UU pemilu, penegakan ketentuan
administrasi pemilu dan perselisihan administrasi pemilu lebih tepat
ditangani Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Nasional karena keduanya permanen dan
anggotanya sudah dipilih berdasarkan standar yang sama.
Dan, akhirnya, untuk
menjamin tepat waktu, penegakan kode etik penyelenggara pemilu tidak hanya
harus tuntas sebelum KPU Provinsi/KPU Kabupaten-Kota menetapkan dan
mengumumkan hasil pemilu, tetapi juga agar Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) tidak membuat keputusan yang berada di luar lingkup tugas dan
kewenangannya. Bila DKPP membuat keputusan berupa perintah kepada KPU
Provinsi atau KPU Kabupaten-Kota untuk mencabut keputusan tentang pasangan
calon, maka putusan ini tidak hanya akan memperpanjang/menunda tahap
pencalonan, tetapi juga berada di luar yurisdiksinya.
Berdasarkan UU No
15/2011, DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau
laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara
pemilu (KPU dan jajarannya, dan Bawaslu dan jajarannya). Sanksi yang dapat
dijatuhkan oleh DKPP bila berdasarkan hasil proses pemeriksaan seseorang
terbukti melanggar KEPP adalah salah satu dari tiga jenis sanksi ini: teguran
tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap. Dalam UU itu
DKPP juga tidak diberi kewenangan memerintahkan penyelenggara pemilu mencabut
keputusannya. DKPP bertugas menegakkan kode etik penyelenggara pemilu, bukan
menegakkan atau memulihkan keadilan. Tujuan yang baik harus pula dicapai
dengan cara yang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar