Wajah Kemanusiaan yang Terluka
I Suharyo ;
Uskup Keuskupan Agung Jakarta
|
KOMPAS, 24 Maret
2016
Dalam artikel berjudul
"Zaman Edan" (Kompas, Minggu, 20 Maret 2016) diceritakan tentang
seorang perempuan muda bernama Ayak, berusia 18 tahun, yang bernasib malang. Dia
kehilangan kedua orangtuanya ketika pemberontak menyerang desanya di Sudan.
Ketika berusaha menyelamatkan diri, Ayak ditangkap pemberontak dan diperkosa
ramai-ramai. Karena itu, ia hamil dan mengidap HIV. Meskipun demikian, ia siap
memelihara anaknya yang selanjutnya menjadi satu-satunya anggota keluarganya.
Ada sekian banyak
kisah tentang kemanusiaan yang terluka ketika martabat manusia direndahkan
serta hak-hak dasarnya disangkal demi kekuasaan, uang, dan berbagai
kepentingan lainnya. Meskipun kehormatannya dicederai, Ayak tampil sebagai
pribadi yang sungguh-sungguh bermartabat. Sementara mereka yang tampaknya
berkuasa, sebenarnya menyandang luka-luka kemanusiaan yang bernanah.
Luka kemanusiaan
Luka-luka kemanusiaan
seperti itu merupakan salah satu unsur dominan yang mewarnai Pekan Suci yang
setiap tahun dirayakan umat Kristiani.
Pada Minggu, 20 Maret
2016, Pekan Suci dimulai. Dalam Ibadah Sabda dibacakan Kisah Sengsara Yesus
(Lukas 22: 63-23: 56). Luka-luka ini tampak dalam beberapa episode, misalnya
dalam diri orang-orang yang menahan Yesus, mengolok-oloknya, menutupi
matanya, kemudian memukulnya sambil bertanya, "Coba katakan, siapakah
yang memukul engkau?"
Mereka adalah
orang-orang bawahan yang biasa tidak dihargai, direndahkan, dan harus
melakukan kehendak yang punya kuasa atas mereka. Ketika ada kesempatan,
luka-luka mereka tampak dalam kekerasan yang mereka lakukan, sekadar untuk
menunjukkan bahwa mereka juga punya kekuasaan.
Luka-luka seperti itu
tidak hanya tampak dalam orang-orang bawahan, tetapi juga dalam diri
pembesar, seperti para anggota Mahkamah Agama, Pilatus, dan Herodes. Dengan
ringannya, tanpa perasaan bersalah sedikit pun, mereka mendakwa Yesus dengan
dakwaan dan-tentu saja-saksi-saksi palsu.
Merendahkan martabat
Demikian juga Pilatus.
Ia mempunyai wewenang penuh untuk membebaskan Yesus, tetapi tidak
melakukannya karena kepentingan pribadinya.
Sementara itu, Herodes
Antipas menunjukkan luka jenis lain lagi. Herodes secara harfiah berarti
mulia, tetapi kelakuannya sama sekali tidak mulia. Ia, antara lain,
menceraikan istrinya dan merebut istri saudaranya yang bernama Herodes
Philipus.
Yang ia lakukan
terhadap Yesus sama sekali tidak menunjukkan wibawanya sebagai pemimpin.
Sebaliknya yang terungkap adalah luka-luka batinnya. Tokoh-tokoh ini semua
sadar atau tidak sadar merendahkan martabat mereka sendiri.
Di dalam kisah
selanjutnya (Lukas 23: 33-43) ditampilkan konfrontasi antara kemanusiaan yang
terluka dan kemanusiaan yang sejati secara amat indah. Konfrontasi ini terasa
dalam dialog antara dua penjahat yang disalibkan bersama Yesus dan Yesus yang
tergantung di salib. Luka-luka kemanusiaan terbaca dalam kata-kata salah
seorang penjahat yang, ketika tergantung di salib, masih menghujat dan
berkata, "Bukankah engkau adalah Kristus? Selamatkanlah dirimu dan
kami!"
Penjahat yang satu
lagi mengungkap luka-luka kemanusiaan yang sama, tetapi dalam proses
disembuhkan. Ia berkata kepada kawannya, "Kita layak dihukum sebab kita
menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak
berbuat sesuatu yang salah".
Dalam saat-saat yang
sangat menentukan, terjadi konfrontasi antara kemanusiaan yang terluka yang
diwakili oleh penjahat yang menghujat dan kemanusiaan sejati yang tampak
dalam diri Yesus yang diam. Dalam diri penjahat yang lain, konfrontasi ini
menyadarkan dirinya bahwa ada kemanusiaan yang berwajah lain. Lebih daripada
itu, konfrontasi ini juga menggerakkan proses transformasi dalam dirinya.
Buahnya terungkap dalam kata-kata yang ditujukan dengan tulus kepada Yesus
yang tergantung di salib, "Yesus, ingatlah akan aku apabila engkau
datang sebagai raja". Luka-lukanya disembuhkan dan ia menjadi sahabat
dalam penderitaan.
Tahun ini, umat
Katolik merayakan Paskah ketika Gereja sedunia merayakan Tahun Suci Luar
Biasa Kerahiman Allah. Logo yang diciptakan dalam rangka Tahun Suci ini
menyampaikan pesan amat kuat mengenai luka-luka kemanusiaan. Logo itu
menggambarkan Yesus yang menggendong seseorang di bahunya. Luka-luka yang
tergambar jelas pada kedua kaki dan tangan Yesus menjadi lambang luka-luka
kemanusiaan dengan berbagai macam wajahnya.
Mata belas kasih
Salah satu mata dari
orang yang digendong tidak tampak, berada di belakang mata Yesus sehingga,
meskipun ada dua orang, mata yang tergambar hanya tiga. Pesannya jelas, yaitu
agar umat Kristiani memandang luka-luka kemanusiaan itu dengan mata Yesus,
yaitu mata yang berbelas kasih, mata yang berbela rasa, mata yang
mencerminkan wajah Allah yang Maharahim dan menyembuhkan.
Berita sehari-hari yang
termuat dalam koran dan disiarkan oleh radio dan televisi mengajak kita untuk
menyadari dengan jujur bahwa banyak luka kemanusiaan dengan berbagai
wajahnya, baik secara terbuka maupun tersembunyi, ada di tengah-tengah
kehidupan bersama kita sebagai bangsa.
Luka-luka itu bisa
disebabkan oleh peristiwa-peristiwa getir di masa lampau ataupun di masa
sekarang. Semoga perayaan Pekan Suci yang berpuncak pada Paskah menyadarkan
umat Kristiani akan adanya luka-luka itu dan memahaminya dengan mata bela
rasa.
Dan semoga kesadaran
ini mendorong terjadinya proses penyembuhan bukan hanya penyembuhan pribadi,
melainkan juga penyembuhan kolektif. Selamat merayakan Pekan Suci. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar