Pasar, Uber, dan Pemerintah
Muhammad Syarif Hidayatullah ; Peneliti Wiratama Institute
|
KOMPAS, 23 Maret
2016
Untuk kesekian
kalinya, Uber dan layanan transportasi online sejenisnya, ditolak dan
dicekal. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di
beberapa negara. Seperti yang terjadi di berbagai wilayah, penentang utama
Uber berasal dari perusahaan taksi. Motifnya jelas, keuntungan yang semakin
berkurang karena pangsa pasar mereka digerus layanan transportasi online.
Argumen penolakannya juga sama, bahwa Uber dan layanan sejenisnya ilegal,
tidak aman, tidak mematuhi peraturan, dan malah merugikan.
”Ubernomics”
Di tengah perdebatan
aspek legalitas dan keamanan layanan transportasi online, sejumlah peneliti
mencoba menganalisis dampak sosial-ekonomi dari Uber. Dalam paper-nya, The Social Cost of Uber, Brishen Roger
(2015) berpendapat bahwa layanan Uber menurunkan biaya pencarian (search cost) baik untuk penumpang dan
sopir. Penumpang dengan mudah membuka aplikasi dan mencari sopir yang sesuai,
sopir pun tidak sulit mencari penumpang. Sopir tidak perlu ngetem atau
berputar-putar mencari penumpang, penumpang juga tidak perlu kesulitan
menunggu taksi di jalan.
Menunggu
kendaraan/penumpang menimbulkan biaya tersendiri. Layanan transportasi online
mampu menurunkan biaya tersebut. Berdasarkan penelitian Deloitte (2015),
waktu tunggu untuk layanan Uber di Australia hanya 4,46 menit, untuk layanan
taksi di atas 7,79 menit.
Layanan transportasi
online juga dapat mengurangi problematika informasi asimetris. Adanya sistem rating driver membuat konsumen dapat
memilih pengemudi yang sesuai, sehingga proses pengambilan keputusan konsumen
menjadi lebih optimal. Selain itu, tarif yang ditetapkan di awal mengurangi
peluang terjadinya moral hazard
oleh sopir. Penumpang cepat sampai ke tujuan karena tidak ada insentif jika
sopir mengambil jalan lebih jauh, sementara pada taksi argo bisa lebih
tinggi.
Secara lebih umum,
layanan online ini berdampak terhadap perekonomian. Kita tahu, perekonomian dibentuk
oleh tenaga kerja dan modal. Optimalisasi dari kedua hal tersebut dapat
mendukung pertumbuhan ekonomi. Pertama, terkait tenaga kerja, layanan online
menyebabkan seseorang, baik yang bekerja atau pun tidak, menjadi lebih
produktif. Tidak hanya menyediakan lapangan pekerjaan, layanan transportasi
online juga membuat seorang pekerja kantoran bisa mendapatkan uang tambahan
di waktu luangnya. Insentif ini membuat seseorang mau bekerja lebih.
Kedua, layanan online
membuat utilisasi dari modal dan aset menjadi maksimal. Terkadang seseorang
memiliki aset (seperti motor dan mobil), tetapi utilisasi aset itu sangat
terbatas. Dalam magnum opus-nya, The Mystery of Capital, Hernando de
Soto menekankan, kemiskinan di sejumlah negara disebabkan oleh rendah utilitas
aset (dalam buku tersebut disebut properti). Adanya layanan transportasi
online menyebabkan seseorang dapat mengoptimalisasi penggunaan aset, sehingga
aset menjadi lebih produktif. Fenomena ini sedikit banyak juga terjadi pada
perusahaan rental mobil. Sejak ada layanan online, mereka bisa menyewakan
aset mereka (mobil) yang menganggur ke sopir Uber atau Grab Car.
Distorsi dua pasar
Sebagaimana umumnya
creative destruction, layanan transportasi online ini memiliki kekuatan
mendistorsi pasar. Distorsi pertama berasal dari pasar barang dan jasa, yang
umumnya dikeluhkan sopir dan pengusaha taksi. Kehadiran Uber jelas memberikan
alternatif baru layanan transportasi untuk masyarakat. Selain harga jauh
lebih murah, keamanan, dan kenyamanan juga terjaga. Tarif layanan Uber di
Australia rata-rata lebih rendah 20 persen dibandingkan layanan taksi
konvensional (Deloitte, 2015).
Distorsi Uber pada
pasar jasa akan menciptakan surplus. Pertanyaannya adalah surplus tersebut
siapa yang menikmati. Dalam artikel ini saya berargumen bahwa konsumen akan
menerima surplus terbesar. Selain konsumen menikmati harga jasa lebih murah,
konsumen juga menikmati pelayanan yang relatif lebih baik dan waktu tunggu
lebih pendek.
Dalam laporannya,
Deloitte menyimpulkan bahwa keuntungan yang diterima konsumen di Australia
setelah adanya Uber mencapai 81,1 juta dollar AS. Keuntungan tersebut berasal
dari surplus dari adanya perbaikan kualitas layanan dan simpanan (saving) yang dinikmati karena
mengganti ke layanan transportasi yang lebih murah.
Satu pertanyaan yang
sebenarnya perlu dijawab dalam konteks pasar barang dan jasa adalah apakah
layanan Uber merupakan substitusi atau komplementer terhadap layanan taksi
umumnya?
Kehadiran Uber bisa
menjadi saingan yang menggerus pasar taksi umum. Namun, perlu diingat, dalam
ekonomi kita mengenal term supply creates its own demand. Layanan Uber bisa
saja menciptakan permintaan baru. Masyarakat yang awalnya memilih naik
kendaraan pribadi atau angkutan umum lain, beralih menjadi konsumen layanan
Uber. Di Australia, 61 persen penumpang Uber adalah konsumen baru layanan point to point transportation
(Deloitte, 2015). Artinya, 61 persen penumpang adalah orang-orang yang akan
memilih transportasi lain, seperti mobil pribadi atau transportasi publik,
apabila tak ada layanan transportasi online. Hal ini menunjukkan bahwa
layanan transportasi online dapat menciptakan pasarnya sendiri.
Distorsi kedua bisa
berasal dari pasar tenaga kerja. Maraknya layanan jasa transportasi online
membuka peluang kerja yang cukup besar bagi banyak orang. Permintaan tenaga
kerja meningkat, dan hal ini tentu memengaruhi keseimbangan pasar tenaga
kerja. Terlebih, untuk memasuki pasar tenaga kerja layanan online ini,
seseorang tidak membutuhkan kualifikasi pendidikan khusus, sehingga tenaga
kerja tak terampil (low-skilled labor)
hingga sangat terampil (high-skilled
labor) bisa memasuki pasar ini.
Secara teori, efek
selanjutnya dari meningkatnya permintaan tenaga kerja, di mana penawaran
tenaga kerja diasumsikan tetap, adalah berubahnya tingkat gaji. Perusahaan
yang membutuhkan karyawan harus menawarkan gaji yang lebih kompetitif agar
mampu menarik tenaga kerja. Jika hal ini berlangsung secara masif, bukan tak
mungkin kehadiran layanan transportasi online ini dapat menggeser tingkat
gaji yang ditawarkan, khususnya untuk pekerja tak terampil.
Ciptakan persaingan adil
Pasar bergejolak,
tentu pemerintah harus bersikap. Tugas pemerintah adalah menciptakan
lingkungan persaingan yang adil, pasar yang kondusif, serta memberikan
kesejahteraan dan keamanan bagi masyarakat. Selain aspek legalitas layanan,
pemerintah harus mulai merancang kebijakan ekonomi guna mengatasi sejumlah
permasalahan yang mungkin timbul di kemudian hari.
Pertama, pemerintah
harus menciptakan lingkungan persaingan yang adil. Poin utama yang menjadi
sasaran protes adalah perusahaan transportasi online tidak terbebani sejumlah
kewajiban. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah memakai pelat kuning,
membangun pul taksi, meminta perizinan dari dinas perhubungan, memiliki
jumlah minimum kendaraan, dan penentuan tarif batas atas dan bawah. Sejumlah
kewajiban tersebut menjadi beban perusahaan taksi.
Karena itu, pemerintah
perlu mengkaji ulang mana saja dari kewajiban tersebut di atas yang perlu
dipertahankan, dan mana yang harus juga dibebankan kepada jasa transportasi
online. Apakah aturan pelat kuning untuk kendaraan umum masih diperlukan?
Apakah penentuan tarif atas dan bawah masih relevan? Bukankah lebih ideal jika
pemerintah melepas saja mekanisme tarif ke pasar.
Kedua, pemerintah
harus memikirkan bagaimana sistem jaminan sosial untuk para sopir layanan
online. Satu hal yang pasti, hingga saat ini status karyawan dari para sopir
tersebut masih menjadi perdebatan. Dalam hal ini, pemerintah harus berperan
aktif. Bagaimana pun juga para sopir tersebut bekerja dan berpenghasilan dari
layanan online, dan mungkin beberapa dari mereka membayar pajak. Maka
pemerintah harus memikirkan perlindungan untuk mereka.
Sebagaimana umumnya
kelas pekerja, para sopir juga dikelilingi banyak risiko, seperti dipecat,
kecelakaan dengan kecacatan tetap, kehilangan pendapatan ketika pensiun, dan
berbagai risiko lain. Hal paling simpel yang dapat dilakukan pemerintah
adalah memaksa perusahaan penyedia jasa, agar setiap sopirnya terdaftar pada
BPJS Ketenagakerjaan.
Ketiga, asuransi bagi
pengemudi dan penumpang. Di sejumlah negara, layanan Uber sudah dipaksa
mengasuransikan pengemudi dan penumpang selama perjalanan. Baik pengemudi
maupun penumpang memiliki risiko yang sama selama perjalanan. Khusus untuk
pengemudi, karena aset (mobil) biasanya mereka miliki sendiri, pengemudi
menanggung risiko yang lebih besar dibandingkan sopir taksi pada umumnya.
Karena itu, asuransi perjalanan dibutuhkan, dan ini sebenarnya dapat
ditanggung oleh perusahaan penyedia jasa online. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar