Menciptakan Momentum Ekspor
Enny Sri Hartati ; Direktur Institute for Development of
Economics and Finance
|
KOMPAS, 21 Maret
2016
Kinerja neraca
perdagangan Januari-Februari 2016 kembali menunjukkan geliat. Selama dua
bulan berturut-turut, neraca perdagangan mencetak surplus. Hal ini
memunculkan optimisme sektor perdagangan. Sebab, selama November-Desember
2015, neraca perdagangan defisit. Padahal, pada Januari-Oktober 2015, neraca
perdagangan dalam kondisi surplus.
Kendati demikian,
surplus pada 2015 bukan disebabkan perbaikan kinerja ekspor, melainkan lebih
disebabkan impor yang anjlok dengan nilai surplus yang sangat terbatas.
Nilai ekspor Februari
2016 mencapai 11,3 miliar dollar AS, tumbuh 7,8 persen secara bulanan. Secara
kumulatif, ekspor pada Januari-Februari 2016 mencapai 21,78 miliar dollar AS
atau turun 14,29 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2015. Secara
tahunan, kinerja ekspor masih turun. Ekspor nonmigas turun 9,86 persen,
sedangkan ekspor migas turun 40,16 persen.
Adapun impor
Januari-Februari 2016 mencapai 20,23 miliar dollar AS, turun 14,47 persen
secara tahunan. Impor nonmigas turun 9,81 persen, sedangkan impor migas turun
39,16 persen.
Di tengah pelambatan
pertumbuhan ekonomi global dan harga komoditas internasional yang masih
merosot, sulit untuk mengoptimalkan kinerja ekspor Indonesia. Apalagi, ekspor
Indonesia masih didominasi komoditas, sekitar 69 persen. Ditambah lagi,
negara tujuan utama ekspor, seperti Tiongkok, Jepang, Amerika Serikat, dan
negara Eropa, mengalami pelambatan ekonomi.
Sejatinya, pelemahan
kinerja ekspor Indonesia telah terjadi selama lima tahun terakhir atau pada
periode 2011-2015. Ekspor yang merosot tidak semata-mata karena dampak
pelemahan ekonomi global. Terbukti, negara tetangga, seperti Thailand,
Filipina, dan Malaysia, masih menunjukkan performa kenaikan ekspor pada
2011-2014. Ekspor Filipina, Thailand, dan Malaysia baru turun pada 2015.
Bahkan, ekspor Singapura naik pada 2015.
Hal ini dikonfirmasi
dengan kinerja ekspor sektoral, yakni penurunan terjadi pada ekspor komoditas
dan produk industri manufaktur. Pada Januari-Februari 2016, ekspor hasil
tambang Indonesia turun 21,12 persen dan ekspor hasil pertanian turun 14,80
persen. Ekspor industri pengolahan juga turun 7,69 persen dalam setahun.
Di sisi lain,
penurunan impor justru bukan berita bagus. Pasalnya, selama Januari-Februari
2016, impor bahan baku/penolong turun 53,65 persen secara tahunan dan impor
barang modal turun 12,62 persen. Impor barang konsumsi naik drastis 34,39
persen. Penurunan relatif terbatas pada impor barang modal karena ditopang
kebutuhan impor guna percepatan pembangunan infrastruktur. Menjadi jelas
bahwa impor bahan baku/penolong yang anjlok mengindikasikan penurunan kinerja
industri manufaktur di Indonesia.
Sekalipun demikian,
jika dicermati lebih dalam, profil neraca perdagangan Indonesia justru
membuka berbagai peluang emas. Peluang muncul dalam mengoptimalkan strategi
substitusi impor ataupun mengoptimalkan promosi ekspor. Impor barang konsumsi
yang meningkat menunjukkan daya beli masyarakat masih cukup besar. Ini
menjadi kesempatan mendorong industri substitusi impor, yang akan memperbaiki
problem struktural ketergantungan konsumsi barang impor.
Kejatuhan harga
komoditas memberi peluang untuk melakukan hilirisasi industri. Bahan baku
yang murah dan melimpah akan mendorong produk yang lebih efisien dan berdaya
saing. Berbagai hilirisasi industri komoditas yang berbasis pertanian akan
memperluas negara tujuan ekspor Indonesia. Potensi industri agro yang dapat
dikembangkan amat banyak, antara lain industri berbasis kelapa sawit, karet,
kopi, rumput laut, hasil hutan, dan perikanan.
Oleh karena itu, harus
ada prioritas produk-produk unggulan yang menjadi komitmen semua pemangku
kepentingan. Koordinasi dan sinergi harus dilakukan di tingkat hulu hingga
hilir. Saat produk ekspor telah ditetapkan menjadi produk unggulan, seluruh
pemangku kepentingan harus berkontribusi merealisasikan pencapaian target
prioritas ini. Perlu juga dukungan regulasi, kemudahan investasi, penyediaan
infrastruktur, hingga berbagai insentif. Tentu, produk-produk unggulan
tersebut telah melalui kajian yang komprehensif dan berdampak nyata terhadap
peningkatan kinerja ekonomi nasional.
Peningkatan terbesar
ekspor nonmigas pada Februari 2016 ternyata disumbang ekspor
perhiasan/permata sebesar 593,7 juta dollar AS atau naik 153,80 persen secara
bulanan. Artinya, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga
memiliki potensi besar untuk pengembangan ekspor. Jika berbagai industri
kreatif, seperti kerajinan, furnitur, dan produk makanan, mendapatkan
perhatian dan fasilitas dari pemerintah, potensi ekspor sangat besar. Untuk
itu, perlu pengetahuan pasar dan berbagai kegiatan promosi ekspor dari
Kementerian Perdagangan untuk mendapatkan informasi soal peluang pasar.
Dengan potensi sumber
daya alam Indonesia yang melimpah, peluang ekspor juga sangat luas. Pekerjaan
rumah yang selalu tertinggal adalah mewujudkan kolaborasi dan sinergi seluruh
pemangku kepentingan untuk menciptakan momentum ekspor. Dengan demikian,
keunggulan absolut dan komparatif dapat terwujud, yang pada akhirnya
merealisasikan potensi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar