Ekonomi Nasional Era Digital
Daoed Joesoef ;
Alumnus Universite
Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
|
KOMPAS, 07 Maret
2016
Di komunitas bisnis
kabarnya beredar suatu ide baru, yaitu ekonomi digital, konon serba canggih
dan cepat, sesuai dengan diktum abadi berbisnis: siapa cepat bakal mendapat,
kesempatan tidak datang dua kali.
Apanya yang baru?
Ekonomi digital pada hakikatnya adalah tak lain daripada ekonomi jasa, a service economy using a system of
receiving and sending information as a series of the numbers one and zero.
”Informasi” ini tidak identik dengan ”pengetahuan” berhubung pengetahuan
tersebut tenggelam dalam informasi yang menggunakan angka ketimbanguraian
analitis, apalagi filosofis, yang mengarah ke makna dan standar etika berbisnis
dan berekonomi.
Ekonomi jasa itu
adalah produk logis dari ekonomi pengetahuan (knowledge economy). Dalam perkembangan ekonomi pengetahuan
terjadi pergeseran neraca ke arah perusahaan yang memproses, menganalisis,
serta membagi-bagi informasi/gagasan dan semakin menjauhi usaha
manufakturing. Hal ini tecermin dalam keterkenalan nama tokoh-tokoh yang
terlibat pada kepemimpinannya, seperti Bill Gates, Larry Ellison, dan Scott
McNesly, pendiri dan chief executives
kesatuan usaha yang belum ada 50 tahun yang lalu.
Ekonomi pengetahuan
memarak dalam proses globalisasi yang kelancaran perkembangannya telah
dirintis oleh internasionalisasi, yaitu dorongan ke suatu dunia tanpa batas
dan adaptasi peradaban perindustrian Barat. Sementara globalisasi beranggapan
bahwa orang-orang dari semua bangsa berpartisipasi secara proaktif dalam
progres teknologi baru dan berhak mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan bumi
yang terpendam di mana pun.
Hak ini sering
didesakkan oleh negara-negara industrial maju agar diterima oleh
negara-negara terbelakang yang sedang membangun, tidak jarang dengan ancaman
terselubung, apabila badan-badan internasional (baca: lembaga-lembaga PBB)
yang bekerja di bawah pengaruh finansial mereka sulit mewujudkannya. Ingat
saja betapa meningkat intensitas wira-wiri diplomatik menjelang berakhirnya
kontrak operasional sesuatu pertambangan asing di negeri kita. Begitu rupa
hingga wakil rakyat ”yang mulia” dan kepala daerah ”yang terhormat” sampai
ikut-ikutan mencicipi kue Ibu Pertiwi yang seharusnya mereka lindungi demi
dan untuk rakyat, khususnya generasi mendatang. Apabila di zaman Orde Baru
terbit kira-kira seribu izin pertambangan, di era reformasi konon sudah
tercatat sebanyak sebelas ribu.
Arus yang semakin
meningkat dari sumber-sumber finansial tak terjangkau oleh yurisdiksi
nasional sejalan dengan semakin terbatasnya kemungkinan intervensi
negara-negara belum berkembang di bidang finansial. Konsepsi yang didesakkan
oleh globalisasi pada kelompok negara-negara ini, termasuk Indonesia, adalah
tak lain daripada hiperliberalisme, yaitu peniadaan semua campur tangan
negara dalam gerakan modal. Gejala internasionalisasi negara merebak ke
seluruh Dunia Ketiga.
Agen transmisi
Negara nasional yang
dahulu merupakan pelindung ekonomi nasionalnya terhadap gejolak/pengaruh yang
datang dari luar, kini semakin ditransformasikan menjadi agen transmisi dari
tuntutan-tuntutan ekonomi dunia ke arah ekonomi nasionalnya sendiri.
Negara-negara ini malah mengusahakan adaptasi kekuatan-kekuatan sosio ekonomi
bangsanya pada kondisi globalisasi pasar dunia berupa, antara lain,
pembentukan ekonomi jasa yang melayani pemasaran produk manufaktur
negara-negara Asia Pasifik.
Kita sendiri selama
ini mengabaikan pembangunan industri manufakturing. Sebagian terbesar,
kalaupun tidak keseluruhan, dari pebisnis dan konglomerat kita berasal dari
kalangan pedagang antara (middleman),
biasa memasarkan barang jadi yang sudah ada, bukan menghasilkan barang
dagangan itu sendiri yang memang relatif lebih riskan. Apalagi, bank-bank
yang ada juga lebih senang memberikan kredit usaha jangka pendek dan
menengah, bukan kredit industrial jangka panjang yang relatif lebih riskan.
Dalam suasana seperti
inilah lahirekonomi digital, sejenis kegiatan ekonomi jasa yang sudah lama
kita kenal, tetapi kini tampil dengan metode kerja termodern, seiring dengan
perkembangan kemajuan zaman, serba computerized,
tidak lagi berbasis swipoa. Dan justru di sinilah bersembunyi benih ancaman
terhadap keunggulan manusia selaku makhluk berpikir par excellence. Ancaman riil ini sebenarnya bukan pada saat
komputer mulai berpikir seperti manusia, melainkan ketika manusia mulai
berpikir bagai komputer.
Internasionalisasi,
globalisasi, dan digitalisasi ekonomi jasa merupakan kejadian mikroekonomis
yang punya logikanya sendiri. Kita terima kejadian itu sebagai fakta, tetapi
kita tolak fatalitas yang ditimbulkannya. Berarti, kita tidak boleh tinggal
diam, perlu melakukan aneka langkah, tetapi serentak dan terpadu agar
bersinergi.
Di bidang
mikroekonomi, Indonesia diniscayakan membangun industri manufakturing,
menyebar di seluruh negeri, sesuai dengan faktor produksi dominan lokal yang
ada, sinkron dengan kebijakan pengampunan pajak dan pembangunan infrastruktur
oleh pemerintah. Untuk menjamin kinerja manufakturing ini, pemerintah perlu
mengefektifkan fungsi lembaga paten.
Lihatlah di pasar
mainan anak-anak di negeri kita. Ia sudah dikuasai oleh produk made in China,
dari yang tidak bergerak (replika dinosaurus, Superman), yang bergerak (aneka
jenis mobil-mobilan), hingga yang bisa ditunggangi (sepeda roda tiga). Dan
jumlah anak-anak di Asia saja ditaksir paling sedikit sebesar 40 persen
jumlah penduduk.
Selama ini, para
konglomerat kita, sendirian atau berkongsi, berlomba-lomba membangun kluster
apartemen super mewah. Perlu kiranya diingatkan bahwa entrepreneurship yang
mereka banggakan itu turut memicu kecemburuan sosial wong cilik. Mereka ini
bukan pembaca statistik kemiskinan, tidak mengenal indeks gini, melainkan
warga yang megap-megap hidup di bawah garis kemiskinan, sensitif, gampang
terhasut. Bagai api dalam sekam, kecemburuan sosial ini bisa menyala berupa
aksi politik radikal. Jangan melupakan begitu saja peristiwa naas Mei 1998.
Mengembangkan ekonomi pengetahuan
Dengan mengalihkan
entrepreneurship dan modal ke bisnis industrial manufakturing, para
konglomerat turut berusaha mengatasi ”stagflasi ganda”, yaitu ”stagflasi dan
inflasi” di sektor urban dan ”stagnasi dan deflasi” di sektor pedesaan.
Berkat peredaran uang yang tidak merata, pelaksanaan pembangunan yang urban-pusat
sentris dan kebijakan harga-harga yang pincang selama ini, sektor urban sudah
lama merupakan kantong inflatoir, sedangkan sektor pedesaan menjadi daerah
deflatoir.
Bersamaan dengan
pembangunan industri manufakturing, kita perlu mengembangkan ekonomi
pengetahuan yang terbukti membantu kelangsungan hidup industri manufakturing.
Ekonomi pengetahuan memproduksi gagasan (ideas)
dalam proporsi yang terus meningkat. Pengetahuan mengembangkan pengetahuan.
Semakin banyak orang belajar, semakin mampu orang menemukan hal-hal baru.
Mengembangkan sarana dan peralatan dalam riset memang mahal, tetapi dalam
berproduksi hampir tak berbiaya karena ongkos menurun pada setiap unit, yang
berarti suatu kenaikan rendemen. Sementara ekonomi faktor produksi beroperasi
dengan hukum rendemen yang menurun.
Pengalaman
negeri-negeri maju menunjukkan bahwa arus pertumbuhan ekonomi bersumber pada
bisnis berbasis pengetahuan (knowledge-based business). Luas pengetahuan
tumbuh dua kali lipat setiap tahun. Pasar pembelajaran meliputi tidak hanya
formal students, tetapi juga life-time learners. Maka, lahir makna baru
pendidikan dan pembelajaran bisnis, demikian pula pasar dan permintaan baru.
Orang-orang yang
merasa terpanggil untuk turut aktif mengatur jalannya negara-bangsa perlu
membiasakan berpikir sistemik, yaitu sistem berpikir dan bervariasi holistik
tentang hidup dan alam, menaungi interaksi antara pikiran dan model internal,
serta antara persepsi dan tindakan. Inti dari berpikir ini adalah menyadari
adanya keterkaitan. Penyembuhan borok di kulit bukan berurusan dengan dokter
kulit semata-mata, melainkan juga berkaitan kausal-sirkuler dengan keadaan
gizi (kekurangan), kebiasaan (yang salah), lingkungan (yang jorok), dan cara
berpikir (yang keliru).
Ekonomi digital sangat
berpotensi mereduksi ekonomi nasional kita menjadi sekadar pasar produk
kreasi negeri-negeri lain, tak lebih daripada pedagang kelontong berperalatan
canggih. Ia pasti bukan merupakan ranah terjanji, tidak seperti Kanaan bagi
Bani Israel. Visi kehidupan layak yang digambarkan oleh proklamasi
kemerdekaan dan UUD 1945 perlu diarahkan ke horizon human.
Sebisa mungkin harus
kita jauhi cara berpikir ekonomi yang simplistis. Jangan dikira bahwa
pembangunan ekonomi bagai air pasang yang mengangkat semua perahu ke level
ketinggian yang sama. Yang kita hadapi kini bukan sekadar ketimpangan
ekonomi, melainkan kesenjangan sosial yang kian melebar dan kekecewaan
bernegara yang semakin membesar.
Kalau benar
pembangunan diniati sebagai pengisi kemerdekaan, yang diniscayakan adalah
pembangunan nasional yang tidak sekadar menaikkan plus-value of things (produk nasional kotor/GNP), tetapi
lebih-lebih menciptakan plus-value of
men (to be more/bahagia).
Perumus Pasal 33 UUD
1945, Bung Hatta, sering mengatakan (dengan kemerdekaan) kita ingin membangun
suatu dunia di mana setiap orang layak bahagia. Kebahagiaan memang tidak ada
dalam kamus ekonomika pembangunan. ”If
we are asked why happiness matters”, kata Amartya Sen, pemenang Nobel
Ekonomi), ”we can give no further, external
reason. It just obviously does matter”. Deklarasi Kemerdekaan Amerika
menyatakan bahwa ”happiness is a
self-evident objective”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar