Selasa, 08 Maret 2016

Ekonomi Nasional Era Digital

Ekonomi Nasional Era Digital

Daoed Joesoef ;   Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
                                                       KOMPAS, 07 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di komunitas bisnis kabarnya beredar suatu ide baru, yaitu ekonomi digital, konon serba canggih dan cepat, sesuai dengan diktum abadi berbisnis: siapa cepat bakal mendapat, kesempatan tidak datang dua kali.

Apanya yang baru? Ekonomi digital pada hakikatnya adalah tak lain daripada ekonomi jasa, a service economy using a system of receiving and sending information as a series of the numbers one and zero. ”Informasi” ini tidak identik dengan ”pengetahuan” berhubung pengetahuan tersebut tenggelam dalam informasi yang menggunakan angka ketimbanguraian analitis, apalagi filosofis, yang mengarah ke makna dan standar etika berbisnis dan berekonomi.

Ekonomi jasa itu adalah produk logis dari ekonomi pengetahuan (knowledge economy). Dalam perkembangan ekonomi pengetahuan terjadi pergeseran neraca ke arah perusahaan yang memproses, menganalisis, serta membagi-bagi informasi/gagasan dan semakin menjauhi usaha manufakturing. Hal ini tecermin dalam keterkenalan nama tokoh-tokoh yang terlibat pada kepemimpinannya, seperti Bill Gates, Larry Ellison, dan Scott McNesly, pendiri dan chief executives kesatuan usaha yang belum ada 50 tahun yang lalu.

Ekonomi pengetahuan memarak dalam proses globalisasi yang kelancaran perkembangannya telah dirintis oleh internasionalisasi, yaitu dorongan ke suatu dunia tanpa batas dan adaptasi peradaban perindustrian Barat. Sementara globalisasi beranggapan bahwa orang-orang dari semua bangsa berpartisipasi secara proaktif dalam progres teknologi baru dan berhak mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan bumi yang terpendam di mana pun.

Hak ini sering didesakkan oleh negara-negara industrial maju agar diterima oleh negara-negara terbelakang yang sedang membangun, tidak jarang dengan ancaman terselubung, apabila badan-badan internasional (baca: lembaga-lembaga PBB) yang bekerja di bawah pengaruh finansial mereka sulit mewujudkannya. Ingat saja betapa meningkat intensitas wira-wiri diplomatik menjelang berakhirnya kontrak operasional sesuatu pertambangan asing di negeri kita. Begitu rupa hingga wakil rakyat ”yang mulia” dan kepala daerah ”yang terhormat” sampai ikut-ikutan mencicipi kue Ibu Pertiwi yang seharusnya mereka lindungi demi dan untuk rakyat, khususnya generasi mendatang. Apabila di zaman Orde Baru terbit kira-kira seribu izin pertambangan, di era reformasi konon sudah tercatat sebanyak sebelas ribu.

Arus yang semakin meningkat dari sumber-sumber finansial tak terjangkau oleh yurisdiksi nasional sejalan dengan semakin terbatasnya kemungkinan intervensi negara-negara belum berkembang di bidang finansial. Konsepsi yang didesakkan oleh globalisasi pada kelompok negara-negara ini, termasuk Indonesia, adalah tak lain daripada hiperliberalisme, yaitu peniadaan semua campur tangan negara dalam gerakan modal. Gejala internasionalisasi negara merebak ke seluruh Dunia Ketiga.

Agen transmisi

Negara nasional yang dahulu merupakan pelindung ekonomi nasionalnya terhadap gejolak/pengaruh yang datang dari luar, kini semakin ditransformasikan menjadi agen transmisi dari tuntutan-tuntutan ekonomi dunia ke arah ekonomi nasionalnya sendiri. Negara-negara ini malah mengusahakan adaptasi kekuatan-kekuatan sosio ekonomi bangsanya pada kondisi globalisasi pasar dunia berupa, antara lain, pembentukan ekonomi jasa yang melayani pemasaran produk manufaktur negara-negara Asia Pasifik.

Kita sendiri selama ini mengabaikan pembangunan industri manufakturing. Sebagian terbesar, kalaupun tidak keseluruhan, dari pebisnis dan konglomerat kita berasal dari kalangan pedagang antara (middleman), biasa memasarkan barang jadi yang sudah ada, bukan menghasilkan barang dagangan itu sendiri yang memang relatif lebih riskan. Apalagi, bank-bank yang ada juga lebih senang memberikan kredit usaha jangka pendek dan menengah, bukan kredit industrial jangka panjang yang relatif lebih riskan.

Dalam suasana seperti inilah lahirekonomi digital, sejenis kegiatan ekonomi jasa yang sudah lama kita kenal, tetapi kini tampil dengan metode kerja termodern, seiring dengan perkembangan kemajuan zaman, serba computerized, tidak lagi berbasis swipoa. Dan justru di sinilah bersembunyi benih ancaman terhadap keunggulan manusia selaku makhluk berpikir par excellence. Ancaman riil ini sebenarnya bukan pada saat komputer mulai berpikir seperti manusia, melainkan ketika manusia mulai berpikir bagai komputer.

Internasionalisasi, globalisasi, dan digitalisasi ekonomi jasa merupakan kejadian mikroekonomis yang punya logikanya sendiri. Kita terima kejadian itu sebagai fakta, tetapi kita tolak fatalitas yang ditimbulkannya. Berarti, kita tidak boleh tinggal diam, perlu melakukan aneka langkah, tetapi serentak dan terpadu agar bersinergi.

Di bidang mikroekonomi, Indonesia diniscayakan membangun industri manufakturing, menyebar di seluruh negeri, sesuai dengan faktor produksi dominan lokal yang ada, sinkron dengan kebijakan pengampunan pajak dan pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Untuk menjamin kinerja manufakturing ini, pemerintah perlu mengefektifkan fungsi lembaga paten.

Lihatlah di pasar mainan anak-anak di negeri kita. Ia sudah dikuasai oleh produk made in China, dari yang tidak bergerak (replika dinosaurus, Superman), yang bergerak (aneka jenis mobil-mobilan), hingga yang bisa ditunggangi (sepeda roda tiga). Dan jumlah anak-anak di Asia saja ditaksir paling sedikit sebesar 40 persen jumlah penduduk.

Selama ini, para konglomerat kita, sendirian atau berkongsi, berlomba-lomba membangun kluster apartemen super mewah. Perlu kiranya diingatkan bahwa entrepreneurship yang mereka banggakan itu turut memicu kecemburuan sosial wong cilik. Mereka ini bukan pembaca statistik kemiskinan, tidak mengenal indeks gini, melainkan warga yang megap-megap hidup di bawah garis kemiskinan, sensitif, gampang terhasut. Bagai api dalam sekam, kecemburuan sosial ini bisa menyala berupa aksi politik radikal. Jangan melupakan begitu saja peristiwa naas Mei 1998.

Mengembangkan ekonomi pengetahuan

Dengan mengalihkan entrepreneurship dan modal ke bisnis industrial manufakturing, para konglomerat turut berusaha mengatasi ”stagflasi ganda”, yaitu ”stagflasi dan inflasi” di sektor urban dan ”stagnasi dan deflasi” di sektor pedesaan. Berkat peredaran uang yang tidak merata, pelaksanaan pembangunan yang urban-pusat sentris dan kebijakan harga-harga yang pincang selama ini, sektor urban sudah lama merupakan kantong inflatoir, sedangkan sektor pedesaan menjadi daerah deflatoir.

Bersamaan dengan pembangunan industri manufakturing, kita perlu mengembangkan ekonomi pengetahuan yang terbukti membantu kelangsungan hidup industri manufakturing. Ekonomi pengetahuan memproduksi gagasan (ideas) dalam proporsi yang terus meningkat. Pengetahuan mengembangkan pengetahuan. Semakin banyak orang belajar, semakin mampu orang menemukan hal-hal baru. Mengembangkan sarana dan peralatan dalam riset memang mahal, tetapi dalam berproduksi hampir tak berbiaya karena ongkos menurun pada setiap unit, yang berarti suatu kenaikan rendemen. Sementara ekonomi faktor produksi beroperasi dengan hukum rendemen yang menurun.

Pengalaman negeri-negeri maju menunjukkan bahwa arus pertumbuhan ekonomi bersumber pada bisnis berbasis pengetahuan (knowledge-based business). Luas pengetahuan tumbuh dua kali lipat setiap tahun. Pasar pembelajaran meliputi tidak hanya formal students, tetapi juga life-time learners. Maka, lahir makna baru pendidikan dan pembelajaran bisnis, demikian pula pasar dan permintaan baru.

Orang-orang yang merasa terpanggil untuk turut aktif mengatur jalannya negara-bangsa perlu membiasakan berpikir sistemik, yaitu sistem berpikir dan bervariasi holistik tentang hidup dan alam, menaungi interaksi antara pikiran dan model internal, serta antara persepsi dan tindakan. Inti dari berpikir ini adalah menyadari adanya keterkaitan. Penyembuhan borok di kulit bukan berurusan dengan dokter kulit semata-mata, melainkan juga berkaitan kausal-sirkuler dengan keadaan gizi (kekurangan), kebiasaan (yang salah), lingkungan (yang jorok), dan cara berpikir (yang keliru).

Ekonomi digital sangat berpotensi mereduksi ekonomi nasional kita menjadi sekadar pasar produk kreasi negeri-negeri lain, tak lebih daripada pedagang kelontong berperalatan canggih. Ia pasti bukan merupakan ranah terjanji, tidak seperti Kanaan bagi Bani Israel. Visi kehidupan layak yang digambarkan oleh proklamasi kemerdekaan dan UUD 1945 perlu diarahkan ke horizon human.

Sebisa mungkin harus kita jauhi cara berpikir ekonomi yang simplistis. Jangan dikira bahwa pembangunan ekonomi bagai air pasang yang mengangkat semua perahu ke level ketinggian yang sama. Yang kita hadapi kini bukan sekadar ketimpangan ekonomi, melainkan kesenjangan sosial yang kian melebar dan kekecewaan bernegara yang semakin membesar.

Kalau benar pembangunan diniati sebagai pengisi kemerdekaan, yang diniscayakan adalah pembangunan nasional yang tidak sekadar menaikkan plus-value of things (produk nasional kotor/GNP), tetapi lebih-lebih menciptakan plus-value of men (to be more/bahagia).

Perumus Pasal 33 UUD 1945, Bung Hatta, sering mengatakan (dengan kemerdekaan) kita ingin membangun suatu dunia di mana setiap orang layak bahagia. Kebahagiaan memang tidak ada dalam kamus ekonomika pembangunan. ”If we are asked why happiness matters”, kata Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi), ”we can give no further, external reason. It just obviously does matter”. Deklarasi Kemerdekaan Amerika menyatakan bahwa ”happiness is a self-evident objective”. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar