Laju Rupiah dan Prospek Amnesti Pajak
A Tony Prasetiantono ;
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS, 07 Maret
2016
Kurs rupiah terus
melanjutkan tren positif dengan menguat ke level Rp 13.000-an per dollar AS
atau jauh lebih kuat daripada proyeksi pemerintah Rp 13.900 per dollar AS,
seperti tercantum pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016.
Penyebabnya masih sama, yakni kombinasi data ekonomi domestik yang positif,
yakni deflasi 0,09 persen pada Februari 2016, menyusul inflasi 0,59 persen
pada Januari 2016. Pada dua bulan pertama 2016, inflasi hanya 0,5 persen.
Data inflasi ini cukup
mengesankan. Pemerintah sebenarnya mempunyai momentum untuk lebih menekan
inflasi, sayang tidak dimanfaatkan. Penurunan harga minyak dunia ke level di
bawah 40 dollar AS, yang berarti jauh di bawah proyeksi pemerintah 50 dollar
AS, belum direspons dengan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) premium.
Alasannya, siklus perubahan harga ditetapkan setiap tiga bulan sehingga baru
bulan depan harga BBM premium bisa diturunkan cukup signifikan.
Rupiah diuntungkan
faktor eksternal berupa berbagai masalah di negara ”pesaing” kita. Tiongkok
mengalami kelebihan pasokan properti sehingga menciptakan fenomena ”kota
hantu” yang tak berpenghuni. Investasi di sektor manufaktur juga kelebihan
pasokan yang berpotensi kredit macet. Sejumlah negara lain menderita defisit
APBN akut. Ada yang mengidap ketergantungan sektor primer (Rusia dan Brasil),
ada pula yang terkena skandal korupsi berskala besar (Malaysia). Semua ini
berujung pada mengalirnya dana global ke Indonesia. Dalam sebulan terakhir,
aliran dana ke Indonesia mencapai Rp 35 triliun. Akibatnya, rupiah melesat
naik.
Indonesia harus terus
memanfaatkan momentum bagus ini. Kombinasi penguatan rupiah dan inflasi
rendah memberikan kemungkinan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga
acuannya, dari 7 persen menjadi 6,75 persen. Penurunan ini lebih cepat
daripada yang semula kita bayangkan.
Namun, di sisi lain,
kondisi fiskal kita masih tertekan. Kini sudah mulai timbul wacana bakal
terjadi kekurangan penerimaan pajak Rp 290 triliun, antara lain penyebabnya
adalah kemungkinan program pengampunan pajak tidak bisa dilaksanakan.
Pengampunan pajak dikenakan kepada wajib pajak yang tidak membayar kewajibannya
pada masa lalu dengan mengenakan tarif pajak khusus yang menarik, misalnya
ditebus dengan 2, 4, atau 6 persen.
Meski demikian,
pengampunan pajak ini masih menimbulkan pro dan kontra. Di satu pihak,
kebijakan ini bisa menjadi peluang bagi pemerintah menaikkan penerimaan
pajak. Namun, sebagian anggota parlemen merasa tindakan ini tidak bijaksana
karena seolah tidak mengapresiasi para pembayar pajak lain yang taat. Bahkan,
ada yang menginginkan hukuman terhadap pengemplang pajak. Oleh sebab itu, belum
tentu DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak.
Isu pengampunan pajak
bukan hanya di Indonesia. Pada 2009, AS memberikan pengampunan terhadap
hampir 15.000 wajib pajak. Australia melakukannya pada 2007 dan 2009, Belgia
(2004), Jerman (2004), Italia (2001-2003), Rusia (2007), Portugal (2005 dan
2010), Spanyol (2012), dan Afrika Selatan (2003). Dengan kata lain, isu ini
bersifat global. Pemerintah Indonesia hendak melakukannya pun karena
terinspirasi pengalaman negara lain.
Pengampunan pajak
diklaim akan memberi pemerintah tambahan penerimaan Rp 60 triliun hingga Rp
180 triliun. Jumlah ini signifikan tatkala kondisi fiskal sedang tertekan
seperti sekarang.
Pertanyaannya,
seberapa besarkah penerimaan itu? Tidak mudah memprediksinya. Memang sempat
muncul wacana, harta warga negara Indonesia di luar negeri sebesar Rp 3.000
triliun. Dengan asumsi, Singapura adalah destinasi paling favorit, katakanlah
di sana ada Rp 2.500 triliun. Itu kira-kira ekuivalen dengan 200 miliar
dollar AS. Jumlah ini terlalu fantastis karena cadangan devisa Singapura saat
ini sekitar 245 miliar dollar AS.
Dengan kata lain, saya
meragukan estimasi Rp 3.000 triliun tersebut. Namun, jumlahnya pasti besar,
tetapi masih sulit diprediksi secara akurat. Jika estimasi dibuat 30 persen
saja, atau sekitar 70 miliar dollar AS bisa dipulangkan ke Indonesia, itu
sudah fantastis. Cadangan devisa kita bakal melesat ke 175 miliar dollar AS
sehingga memungkinkan rupiah untuk terus menguat dan stabil.
Meski demikian, upaya
pengampunan pajak masih terjal di meja perundingan politik. Pemerintah masih
membutuhkan waktu untuk meyakinkan DPR, dengan menunjukkan bukti-bukti
empiris, bahwa hal itu lazim dilakukan banyak negara, termasuk negara maju,
dalam beberapa tahun terakhir.
Sambil terus melobi
DPR, pemerintah harus segera menyusun strategi fiskal. Target penerimaan
pajak Rp 1.360 triliun tetap terlalu tinggi, perlu direvisi. Target kurs
rupiah harus lebih optimistis, misalnya Rp 13.000 per dollar AS atau lebih
kuat lagi, yang nilai nominal nyatanya (real
effective exchange rate) bisa Rp 12.600 per dollar AS.
Selain memangkas
belanja, dalam batas-batas tertentu pemerintah juga bisa menambah utang.
Defisit APBN dalam kondisi normal lazimnya 2 persen terhadap produk domestik
bruto (PDB). Dalam kondisi krisis, defisit bisa direlaksasi hingga 3 persen.
Situasi sekarang tidak krisis, tetapi juga tidak normal. Oleh karena itu,
defisit APBN 2,5 persen terhadap PDB, sebagaimana yang terjadi pada 2015,
menjadi opsi paling optimal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar