Ditunda
Acep Iwan Saidi ;
Dosen Desain dan Kebudayaan
Sekolah Pascasarjana ITB
|
KOMPAS, 03 Maret
2016
Revisi Undang-Undang
Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya ditunda. Akan tetapi, saya kira,
sebagian besar masyarakat kita pasti sudah menduga tentang hal itu. Soalnya,
bukan kali pertama kasus semacam itu terjadi.
Gagasan kontroversi
yang dikeluarkan DPR atau pemerintah yang mendapat tentangan publik selalu
berujung demikian. Bahkan, kita acap memiliki peraturan yang hanya berlaku
sehari. Diberlakukan malam hari, dicabut pagi harinya. Atau, ditunda!
Bagaimana fenomena
tersebut bisa dipahami? Esai ini bertujuan meniliknya dari perspektif
semiotika bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) terdapat tiga
pengertian berbeda tentang kata ini. Pertama, tunda adalah sesuatu yang
ditarik dengan tali di belakang perahu. Kedua, tunda berarti menangguhkan
atau mengundurkan waktu pelaksanaan. Ketiga, berasal dari bahasa Minangkabau,
tunda berarti bertolak atau mendorong ke depan.
Makna dengan
penjelasan lebih rinci terdapat dalam bahasa Sunda. Dalam bahasa ini, arti
kata tunda adalah menyimpan sesuatu—yang dibawa dalam sebuah perjalanan—di
sebuah tempat untuk diambil kembali pada kesempatan lain (Danabrata, 2006).
Deskripsi ini menarik karena penundaan merupakan sebuah peristiwa pergerakan
obyek (sesuatu) di dalam narasi waktu.
Dalam perspektif
semiotika Peirce (dalam Short, 2007), makna ini identik dengan menghentikan
sementara gerak obyek di dalam waktu. Ia merupakan narasi yang belum selesai
(signsign). Kaitan dengan hal ini,
antara lain, bisa diperhatikan dalam strategi naratif wayang golek. Dalam
kesenian ini dikenal ungkapan ”tendeun
di handeleum sieum geusan sampeureun, tunda di hanjuang siang geusan alaeun”.
Ungkapan itu merupakan
cara dalang menghentikan bagian tertentu dalam cerita karena akan
menyelinginya dengan bagian lain. Kelak, bagian yang ditunda itu (diteundeun) kembali disambungkan (geusan sampeureun) sehingga secara
keseluruhan kisah menemukan keutuhannya.
Dari sisi bentuk, cara
ini merupakan strategi dalang untuk membuat apresiator penasaran sehingga
bertahan dalam ”ketegangan” sepanjang cerita. Secara substansial, penundaan
itu tidak menunjukkan bahwa bagian yang ditunda tadi tidak penting atau
mengandung implikasi negatif. Alih-alih demikian, bagian tersebut disimpan
justru karena bersifat positif. Ia disimpan untuk dipanen (geusan alaeun).
Makna yang tertunda
Selanjutnya, dalam
ranah pengetahuan kontemporer, kata tunda (tepatnya tertunda) muncul sebagai
gagasan Jacques Derrida (1977) tentang ketaktunggalan makna bahasa (teks).
Menurut Derrida, makna bahasa tidak pernah bisa dipastikan sebagaimana
dikemukakan kaum strukturalis yang menetapkannya sebagai citra akustik bunyi
dan relasinya di dalam struktur.
Derrida juga
mengkritik oposisi biner tuturan versus tulisan, yang menempatkan tuturan
lebih tinggi derajatnya daripada tulisan: bahwa kehadiran individu hanya bisa
direpresentasikan melalui tuturan. Untuk hal ini, Derrida mengedepankan kata
dalam bahasa Perancis yang sangat terkenal, differance yang sebunyi dengan difference. Kata difference,
menurut Derrida, berada di antara dua kata Perancis, to differ (berbeda) dan to
defer (tertunda).
Fakta itu cukup bagi
Derrida untuk menyimpulkan bahwa tulisan tidak lebih rendah derajatnya
daripada tuturan. Untuk mendapatkan makna (kehadiran) orang tetap harus
membaca tulisan, tak cukup dengan hanya mengacu pada tuturan (citra akustik
bunyi). Makna bahasa, kata Derrida, berproses di dalam jejak (trace) makna
sebelumnya, juga akan membentang jejak takberhingga sesudahnya. Karena itulah
makna bahasa selalu bersifat tertunda.
Politik pembusukan
Kini, kita lihat
konstruksi makna ditunda dalam kasus ditangguhkannya revisi UU KPK. Sejalan
dengan konsep bahasa Sunda, revisi UU KPK itu ditunda untuk diambil kembali.
Dengan kata lain, ia ditendeun
dihandeleum sieum gesan sampeureun. Setidaknya hal ini dapat diketahui
dari keterangan bahwa revisi tetap masuk ke dalam daftar Program Legislasi
Nasional 2016 (Kompas, 23/2). Namun, apakah pengambilan kembali itu karena
revisi (obyek yang ditunda) merupakan sesuatu yang positif? Sudah jelas
kepada kita bahwa penyebab penundaannya justru karena publik menolaknya.
Artinya, di mata publik, revisi tersebut bersifat negatif.
Dengan demikian,
berkebalikan dengan konsep di dalam bahasa Sunda, penundaan tersebut bukan
karena ruang dan waktu yang tidak tepat, melainkan substansi revisi itu yang
buruk. Mengingat publik yang menolak berasal dari berbagai elemen masyarakat
yang plural, substansi revisi tersebut buruk dilihat dari berbagai sisi.
Karena kasusnya demikian, kapan pun pembahasan dilakukan (dengan mengambil
kembali yang ditunda), revisi itu tidak akan menciptakan keutuhan narasi peradaban
dalam interval waktu dan kebermaknaan ruang, yakni menciptakan lembaga KPK
menjadi lebih kuat.
Alih-alih memberi
makna pada ruang dan waktu sedemikian, ia justru akan merusak ruang dan waktu
itu sendiri. Ia justru melemahkan KPK dalam ruang dan waktu di masyarakat
korup.
Merujuk kepada
Derrida, sebagai sebuah teks, naskah revisi undang-undang itu pastilah
bersifat polisemik sehingga maknanya menjadi ambigu. Namun, fakta tekstual
ini tak berbanding lurus dengan konsep kebertundaan makna bahasa versi
Derrida. Paling tidak, terdapat dua argumen untuk hal ini.
Pertama, teks itu
telah dikirim ke dalam ruang pemaknaan plural (publik) dan telah ”ditolak
secara plural” pula. Dengan demikian, posisi kebertundaannya telah dilampaui.
Kedua, teks itu berada di dalam jejak makna ketidakpastian institusi di luar
dirinya, yakni lembaga DPR itu sendiri. Secara empirik kita semua tahu
belaka, DPR adalah lembaga metaforik, ambigu, dan karena itu tidak pernah
memberi kepastian apa pun kepada publik. Merujuk pada semiotika Barthes
(1983), derajat DPR sedemikian, hampir telah menjadi mitos.
Tampak pada analisis
tersebut bahwa kata ditunda dalam kasus penundaan revisi Undang-Undang KPK
tidak menjadi indeks bagi penangguhan sementara sesuatu yang bersifat
positif. Alih-alih demikian, kata ditunda justru telah dipindahkan lokusnya:
dari makna ideal di dalam bahasa ke makna peyoratif di dalam politik. Kata
ditunda dijadikan media untuk menyembunyikan ”yang buruk” atau membuat yang
buruk menjadi seolah-olah baik. Kasus ini bisa dilihat sebagai genealogi
pembusukan bahasa di ranah politik.
Bagaimana hal ini bisa
terjadi? Dalam situasi politik di negeri ini yang tidak pernah membaik, kasus
demikian dapat dibaca sebagai mekanisme defensif para politisi yang
terperangkap dalam karakter terbelah, jika tidak mau dikatakan ”skizofrenik”.
Di satu sisi, ia memiliki hasrat kuasa yang menggebu, tetapi pada sisi lain
hampa dari kemampuan dan perangkat yang memadai. Ia pun rapuh dan runtuh
dalam perangkap ambisinya sendiri.
Akibatnya, mereka
hanya bisa melakukan upaya coba-coba dan mengintip kelengahan publik. Andai
politik kita sehat, kata yang dipilih untuk kasus ini bukanlah ditunda,
melainkan salah satu dari kata berikut: dihapus, dihentikan, atau dibatalkan!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar