Bumerang Pengampunan Pajak
Andreas Lako ;
Guru Besar Akuntansi;
Kepala LPPM Unika Soegijapranata
Semarang
|
KOMPAS, 03 Maret
2016
Keputusan DPR menunda
pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan alasan perlu
waktu untuk mencermati naskah akademik dan draf RUU disesalkan banyak pihak.
Pemerintah yang menginisiasi RUU tersebut kecewa karena penundaan itu bisa
menyebabkan kerugian besar bagi negara dan kepercayaan masyarakat yang hendak
melakukan pengampunan pajak menjadi rendah (Kompas, 26/2/2016).
Saya justru menilai
sebaliknya. Keputusan itu seharusnya perlu diapresiasi. Alasannya, keputusan
menyangkut perlu tidaknya regulasi pengampunan pajak harus dilakukan secara
cermat dan bertanggung jawab agar tidak menimbulkan komplikasi masalah di
kemudian hari. Sebagai lembaga tinggi negara pengemban aspirasi rakyat, DPR
memang harus mencermati dan mempertimbangkan berbagai aspek kepentingan
negara sebelum menyetujui suatu rancangan undang-undang (RUU) menjadi
undang-undang (UU).
Selain itu, permasalahan
pengampunan pajak juga tidak hanya menyangkut aspek kepentingan penerimaan
negara dan ketidakmampuan wajib pajak, tetapi juga menyangkut itikad buruk
dan keperilakuan tak etis dari para wajib pajak. Oleh karena itu, penyelesaiannya
bukan dengan cara pengampunan, tetapi harus melalui penciptaan mekanisme
sistem dan tata kelola perpajakan, atau melalui regulasi penegakan hukum yang
akuntabel dan transparan.
Bumerang pengampunan
Dari perspektif yang
berbeda, saya justru menilai RUU Pengampunan Pajak yang diusulkan pemerintah
bisa menjadi bumerang yang merugikan negara apabila semangatnya adalah demi
mendapatkan dana ratusan triliun rupiah yang selama ini tidak bisa dibayarkan
para wajib pajak atau sengaja dihindari para wajib pajak nakal yang
menempatkan dananya di luar negeri. Seandainya DPR menyetujuinya, pasti akan
muncul sejumlah permasalahan yang kompleks. Belum tentu juga harapan
pemerintah mendapatkan pemasukan pajak dalam jumlah besar dari skema amnesti
bakal terwujud. Mengapa?
Jawabnya, karena tidak
terbayarnya utang pajak oleh para wajib pajak tidak semata-mata disebabkan
mereka mengalami krisis keuangan akibat bisnis atau pendapatan mereka
memburuk. Sangat mungkin juga karena mereka memang tidak memiliki itikad baik
untuk membayar pajak. Mereka menganggap membayar pajak merupakan suatu beban
yang merugikan sehingga sedapat mungkin harus dihindari.
Demikian pula para
wajib pajak kelas kakap yang selama ini sengaja menghindari pajak dengan cara
menempatkan dananya di luar negeri. Mereka juga sama sekali tidak memiliki
itikad baik. Dalam banyak kasus, mereka bahkan menempuh berbagai cara,
termasuk berkongkalikong dengan aparatur pajak, agar bisa menghindari atau
menggelapkan pajak dalam jumlah yang besar.
Pada level korporasi,
upaya penghindaran pajak melalui trik-trik rekayasa keuangan juga sangat
masif. Para direksi korporasi tampaknya juga tidak memiliki itikad baik.
Berdasarkan hasil analisis saya (Laporan Keuangan & Konflik Kepentingan:
Lako, 2007), banyak korporasi Indonesia melakukan penghindaran pajak dengan
cara merekayasa pelaporan labanya. Trik rekayasa yang umumnya digunakan
adalah income minimization, income
decreasing, atau income smoothing.
Trik income minimization adalah selalu
melaporkan laba serendah mungkin dengan cara menaikkan dan atau menciptakan
pos-pos fiktif biaya riil ataupun biaya akrual tertentu, atau juga menurunkan
nilai pendapatan yang dilaporkan. Trik income
decreasing adalah melaporkan laba dengan tren menurun dari waktu ke
waktu. Caranya dengan menaikkan biaya dan menciptakan pos-pos biaya fiktif,
serta menurunkan pendapatan dengan menghilangkan bukti-bukti transaksi
tertentu atau menurunkan nilai transaksinya.
Sementara income smoothing adalah melaporkan
laba dengan besaran yang hampir sama dari waktu ke waktu untuk memberikan
kesan bahwa tren kinerja bisnis dan keuangan perusahaan relatif sama.
Trik-trik tipuan tersebut tampaknya tidak terdeteksi otoritas pajak sehingga
terus berlangsung bertahun-tahun.
Kecenderungan
korporasi melakukan rekayasa keuangan untuk menghindari pajak tersebut juga
pernah diendus mantan Menkeu Jusuf Anwar pada 2005. Ketika itu, Jusuf Anwar
mengungkapkan ada sekitar 750 korporasi penanam modal asing (PMA) pada semua
sektor industri terindikasi tidak membayar pajak dengan cara melaporkan rugi
selama lima tahun secara berturut-turut.
Sayangnya,
pengungkapan Jusuf Anwar tersebut bukannya diapresiasi, tetapi malah dicemooh
banyak pihak karena menilai tindakan Jusuf Anwar itu bisa merugikan negara
dan menyebabkan korporasi PMA hengkang. Akibatnya, Presiden SBY melengserkan
Jusuf Anwar awal Desember 2005, lalu digantikan Sri Mulyani Indrawati.
Indikasi masifnya
korporasi Indonesia melakukan rekayasa finansial dengan cara mengelola
labanya (earnings management) sebelumnya
juga pernah diungkapkan Bhattacharya, Daouk, dan Welker (The Accounting Review, No 78, 2003). Dengan menggunakan sampel
korporasi dari 34 negara (termasuk Indonesia) selama1984-1998, dilaporkan
bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga tertinggi dalam hal
kekuranginformasian laba.
Hasil risetsaya (Lako,
2007) dan juga hasil riset sejumlah mahasiswa bimbingan saya dalam beberapa
tahun terakhir juga menunjukkan kebanyakan korporasi yang tercatat di Bursa
Efek Indonesia cenderung melakukan manajemen laba. Pola manajemen laba yang
dilakukan korporasi yang kepemilikan sahamnya lebih banyak dikuasai investor
asingjauh lebih agresif dibandingkan korporasi yang kepemilikan sahamnya
lebih banyak dikuasai oleh investor nasional.
Kaji ulang
Berdasarkan uraian di
atas, pemerintah seharusnya lebih jeli dan hati-hati dalam pengusulan RUU
Amnesti Pajak. Saya khatir niat baik pemerintah tersebut malah tidak
efektifdan justru menjadi bumerang. Disediakannya opsi amnesti pajak justru
akan kian mendorong para pihak wajib pajak nakal semakin berperilaku
oportunis (moral hazard) dalam
menghindari dan menggelapkan pajak. Selain itu, keberadaan amnesti pajak juga
bisa menggoda para wajib pajak lain yang selama ini berperilaku baik dan
patuh ikut berperilaku oportunis sehingga negara justru akan semakin
dirugikan.
Karena itu, saya
mengusulkan agar DPR dan pemerintah sebaiknya mengkajiulang draf RUU
Pengampunan Pajak. Apabila pemerintah dan DPR memang telah berkehendak bahwa
pembahasan RUU tersebut perlu dilanjutnya, maka sangat diharapkan aspek
keadilan, penegakan hukum, penciptaan sistem dan akuntabilitas tata kelola
pengampunan pajak harus mendapatkan perhatian khusus dalam pembahasan RUU
tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar