Menyoal Tata Kelola Bencana
Syamsul Ardiansyah ;
Koordinator Aliansi Masyarakat
untuk Penguatan UU Penanggulangan
Bencana
|
KOMPAS, 04 Maret
2016
Kebakaran hutan dan
lahan yang terjadi di Indonesia tahun 2015 menyebabkan kerugian hingga mencapai
16 miliar dollar AS, atau dua kali lipat dari kerugian akibat tsunami Aceh
2004. Kini Indonesia kembali berada di bawah ancaman bencana akibat iklim.
Efektifkah penanganan bencana di Indonesia?
Sepintas, kebakaran
hutan dan lahan dan tsunami memang tidak bisa disamakan. Dari segi ancaman (hazard) berbeda, demikian pula dengan
waktu kejadiannya. Dari segi jenis bencana juga berbeda, tsunami adalah rapid onset disaster (seketika dan
cepat), sementara kebakaran hutan dan lahan adalah slow onset disaster (perlahan). Namun, dua perbedaan itu bukanlah
satu-satunya perbedaan yang paling mencolok. Perbedaan yang signifikan antara
momentum tsunami 2004 dan kebakaran hutan dan lahan 2015 terletak pada aspek
kebijakan dan kelembagaan. Pada 2004, tidak ada kebijakan setingkat
undang-undang yang secara khusus mengatur penanggulangan bencana hingga
terbitnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Pada saat itu, kelembagaan yang
ada masih bersifat ad hoc, yakni Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana, sampai akhirnya terbentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) pada 2008.
Paradigma penanggulangan bencana
Kehadiran UU No 24
Tahun 2007 dan BNPB tentu saja tidak hanya mengisi ruang kosong di bidang
kebijakan dan kelembagaan di bidang kebencanaan. Para pengusul UU No 24 Tahun
2007 berharap UU dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam reformasi
tata kelola kebencanaan di Indonesia. UU diharapkan bisa menjembatani
perubahan paradigma penanggulangan bencana dari tanggap-darurat ke arah
pencegahan dan kesiapsiagaan serta respons yang efektif.
Lahirnya UU No 24
Tahun 2007 disusul kemudian dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun
2008 tentang BNPB. Lahirnya BNPB sekaligus mengakhiri periode Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana. Perubahan pada aspek kelembagaan
ini sebenarnya tidak hanya perubahan nama semata, tetapi juga perubahan
pendekatan dan strategi atau paradigma penanggulangan bencana di Indonesia.
Dengan UU No 24 Tahun
2007 dan Perpres No 8 Tahun 2008, penanggulangan bencana tidak lagi bertumpu
pada respons darurat, tetapi lebih komprehensif menjadi sebuah siklus yang
terdiri dari penanganan darurat, lalu pemulihan, rehabilitasi, dan
rekonstruksi, dilanjutkan dengan mitigasi yang merupakan perbaikan-perbaikan
kebijakan dalam tata kelola pembangunan sehingga lebih sensitif terhadap
risiko, dan kesiapsiagaan untuk menuju peningkatan keefektifan respons.
Perubahan paradigma
tersebut adalah implikasi dari semakin membaiknya pemahaman tentang bencana
dan penanggulangan bencana. Bahkan, saat ini, penanggulangan bencana telah
berkembang menjadi salah-satu obyek penelitian dan tengah menjadi satu
khazanah keilmuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan
penanggulangan bencana, sesuai dengan namanya, merupakan kombinasi dari kata
penanggulangan dan bencana. Istilah penanggulangan secara konseptual
merupakan adaptasi atas istilah management yang secara sederhana dapat kita
artikan sebagai upaya pengorganisasian, pengelolaan sumber daya, dan tanggung
jawab atau wewenang. Para pakar umumnya mendefinisikan penanggulangan bencana
sebagai upaya pengorganisasian dan pengelolaan sumber daya dan tanggung jawab
untuk menangani semua masalah kemanusiaan dalam situasi darurat, khususnya
dalam hal kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan dalam rangka mengurangi
dampak bencana. Sementara istilah bencana secara umum dipahami sebagai
fenomena sosial yang bisa dipahami dari dua sisi, yakni sebab dan akibat.
Dari sisi sebab, bencana adalah fenomena sosial-kemanusiaan yang disebabkan
oleh dinamika alam dan atau oleh sebab-sebab yang bersifat antropogenik atau
akibat ulah manusia. Sementara dari sisi akibat, melihat bencana dari sudut
pandang dampak atau implikasi sosial kemanusiaan yang muncul baik karena
sebab-sebab alam maupun ulah manusia.
UU No 24 Tahun 2007,
sebagaimana tertera dalam Pasal 1 Ayat (1) melihat bencana dari sudut pandang
”sebab”, dengan menyatakan bahwa: ”Bencana
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis”.
Sementara PBB, melalui
International Strategic on Disaster
Reduction (ISDR), lebih memandang bencana dari sudut pandang ”akibat”
dengan mendefinisikan bencana sebagai: ”Gangguan
serius terhadap fungsi kehidupan masyarakat luas yang menyebabkan kerugian
pada manusia, barang atau lingkungan dan aset kehidupan pada umumnya, yang
melampaui kemampuan masyarakat yang terkena dampak untuk menghadapinya dengan
sumber daya yang dimilikinya sendiri”.
Kelemahan UU No 24 Tahun 2007
Perbedaan sudut
pandang dalam mendefinisikan bencana secara umum berimplikasi pada strategi atau
pendekatan dalam penanganan bencana. Dengan bertumpu pada aspek ”sebab”, UU
No 24 Tahun 2007 secara tidak langsung mendorong otoritas penanggulangan
bencana di Indonesia—dalam hal ini BNPB—untuk fokus pada penanganan
faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya bencana. Hal ini tergambar
jelas dalam upaya penanganan bencana kebakaran hutan dan lahan, baik yang
terjadi pada 2015 maupun tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2015, misalnya,
pemerintah mengumumkan empat strategi penanganan kebakaran hutan dan lahan,
yakni (1) pemadaman dari udara; (2) pemadaman dari darat; (3) penegakan hukum
terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan; dan (4) sosialisasi untuk
mencegah pembakaran lahan. Karena itu, seluruh upaya pengorganisasian,
pengerahan sumber daya dan pembiayaan, pengelolaan tanggung jawab dalam
rangka penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan terfokus pada keempat
strategi itu. Sementara penanganan dampak justru bisa dikatakan baru muncul
setelah munculnya desakan masyarakat.
Demikian pula dalam
penanganan bencana lain, misalnya penanganan banjir yang terfokus pada upaya
mitigasi struktur dengan membangun bendungan, normalisasi sungai, penggusuran
permukiman di bantaran sungai, dan lain-lain. Atau penanganan ancaman tsunami
dan gempa bumi, yang lagi-lagi lebih banyak pada aspek struktur ketimbang
aspek penguatan kapasitas masyarakat yang bertempat tinggal di ”garis depan”
dan berhadapan langsung dengan bahaya-bahaya alam.
Penulis tak menyatakan
bahwa strategi penanganan yangbertumpu pada aspek sebab dan upaya-upaya
mitigasi struktur sebagai hal tak penting. Yang penulis hendak sampaikan
adalah mendekati bencana dari sudut pandang sebab dan mitigasi struktur
sebagai strategi utama saja tak akan memadai untuk mengatasi dinamika ancaman
alam. Terlebih, dengan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang berada
di atas cincin api Pasifik dengan jajaran gunung api dan diapit oleh empat
lempeng tektonik yang terus bergerak, serta dengan frekuensi bencana-bencana
hidrometeorologis dan klimatologis yang terus meningkat, sepertinya agak
mustahil jika strategi penanggulangan bencana yang terfokus pada penanganan
pada aspek sebab dan mitigasi struktur semata akan berhasil mengurangi
kematian dan kerugian harta benda akibat bencana.
Kelemahan lain dalam
pengertian bencana berdasarkan UU No 24 Tahun 2007 adalah tidak adanya
variabel kapasitas yang sesungguhnya menjadi tolok ukur utama untuk
menentukan apakah suatu kejadian (baik yang disebabkan oleh ancaman alam
maupun ulah manusia) sebagai suatu kejadian bencana atau semata-mata fenomena
alam atau sosial yang tidak butuh penanganan khusus.
Variabel kapasitas
dalam pengertian bencana berdasarkan ISDR dinyatakan sebagai: ”kemampuan
masyarakat terkena dampak (bencana) untuk menghadapinya dengan sumber daya
yang dimilikinya sendiri”. Tidak adanya variabel kapasitas dalam UU No 24
Tahun 2007 menyebabkan kejadian-kejadian bencana kerap dipolitisasi oleh
kepentingan-kepentingan yang kadang jauh dari kepentingan kemanusiaan.
Akibatnya, penanggulangan bencana menjadi sarat dengan beban-beban politik
yang sebenarnya tidak perlu.
Jika terus dibiarkan,
target Nawacita di bidang penanggulangan bencana, yakni menurunnya indeks
risiko bencana pada pusat-pusat pertumbuhan yang berisiko tinggi, dengan tiga
indikator utama, yakni (1) internalisasi pengurangan risiko bencana dalam
kerangka pembangunan berkelanjutan, (2) penurunan tingkat kerentanan, dan (3)
peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam penanggulangan bencana,
tentu akan sangat sulit dicapai. Oleh karena itu, belajar dari pengalaman
pahit kebakaran hutan dan lahan 2015 dan bencana lain yang sebelumnya terjadi
di Indonesia, serta dengan memperhatikan ambisi Nawacita yang menuntut dampak
yang lebih besar kebijakan penanggulangan bencana terhadap pertumbuhan ekonomi,
pemerintah dan DPR harus meninjau kembali fondasi kebijakan dan tata kelola
penanggulangan bencana di Indonesia yang dimulai dengan merevisi UU No 24
Tahun 2007. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar