Defisit JKN
Hasbullah Thabrany ;
Guru Besar Universitas
Indonesia
|
KOMPAS, 02 Maret
2016
Pemerintah menerapkan
standar ganda yang menghasilkan citra buruk program Jaminan Kesehatan
Nasional. Tahun ini, JKN yang memasuki tahun ketiga diprediksi masih akan
defisit.
Sesungguhnya, defisit
dalam program publik sering terjadi. Tahun 2015, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) juga defisit sampai Rp 285 triliun. Jadi, publik tidak
perlu pesimistis bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
akan bangkrut.
Rabu (24/2) pekan
lalu, Presiden Jokowi resmi mengangkat direksi dan dewan pengawas BPJS
Kesehatan yang baru. Akankah direksi dan dewan pengawas baru menghilangkan
defisit? Tidak. Defisit masih akan terjadi karena iuran yang ditetapkan tidak
memadai.
Direksi dan dewan
pengawas baru diharapkan dapat mengurangi kritik dan keluhan tentang Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Kans mereka mengurangi defisit sangat kecil karena
masalah struktur iuran dan bayaran fasilitas kesehatan yang belum sesuai
dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam undang-undang.
Iuran tidak memadai
Digunakannya prinsip
asuransi dalam JKN adalah untuk memastikan kecukupan dana. Akan tetapi,
pemerintah menetapkan iuran jauh dari cukup. Pemerintah dan masyarakat sering
terjebak dengan nilai nominal iuran pemerintah dan klaim BPJS Kesehatan yang
dinilai besar. Pada tahun 2015, iuran klaim BPJS Kesehatan mencapai hampir Rp
60 triliun. Besarkah?
Pada tahun 2014,
menurut perhitungan Akun Kesehatan Nasional (National Health Account), belanja kesehatan Indonesia sekitar Rp
370 triliun. Akun tersebut mencatat belanja kesehatan seluruh rakyat, baik
bersumber dana pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan, maupun rumah
tangga. Artinya, belanja kesehatan JKN yang Rp 60 triliun hanya 16 persen
dari total belanja kesehatan seluruh rakyat yang sekitar Rp 370 triliun.
Padahal, penduduk yang dijamin sudah mencapai 156 juta atau 60 persen
penduduk.
Jika belanja
proporsional, seharusnya besar klaim BPJS Kesehatan mencapai 60 persen dari
Rp 370 triliun atau sebesar Rp 222 triliun. Jika saja porsi pendanaan publik
(JKN) mengacu pada standar negara-negara maju Organisasi untuk Kerja Sama
Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang sekitar 60 persen, klaim BPJS Kesehatan
seharusnya mencapai Rp 133 triliun (60 persen x Rp 222 triliun) atau sekitar
dua kali dari klaim sekarang.
Jika kita menggunakan
standar Thailand yang belanja kesehatan publiknya mencapai 80 persen,
seharusnya klaim BPJS Kesehatan mencapai Rp 178 triliun (80 persen x Rp 222
triliun). Jadi, jika digunakan standar normatif, defisit JKN dapat mencapai
6-12 kali lebih besar dari angka defisit tahun 2015.
Mengapa tak sampai sebesar itu?
Direksi BPJS Kesehatan
menyatakan bahwa iuran yang diterima pada tahun 2015 rata-rata hanya Rp
27.000 per orang per bulan (POPB). Sementara klaim yang dibayar BPJS
Kesehatan rata-rata mencapai Rp 33.000 POPB. Berdasarkan angka tersebut,
terjadi defisit Rp 6.000 POPB. Dengan jumlah rata-rata peserta tahun 2015
sebanyak 145 juta, defisit 2015 mencapai Rp 10,4 triliun. Karena adanya
defisit tersebut, BPJS mengatur kepesertaan yang melanggar hak rakyat.
Data Bank Dunia
menunjukkan rata-rata belanja kesehatan per orang per tahun pada tahun 2005
sudah mencapai 36 dollar AS atau Rp 29.000 POPB dengan kurs saat itu. Pada
tahun 2013, rata-rata belanja kesehatan Indonesia mencapai 107 dollar AS per
tahun atau Rp 89.000 POPB, jauh lebih besar dari rata-rata klaim BPJS
Kesehatan yang Rp 33.000 POPB pada tahun 2015. Jadi, besaran iuran yang ditetapkan
pemerintah memaksa JKN dikelola dengan dana 10 tahun yang lalu tanpa koreksi
inflasi. Apakah dengan standar biaya 10 tahun lalu JKN bisa berjalan tanpa
defisit? Tidak mungkin.
Lalu, mengapa JKN
masih bisa jalan dan defisit cuma Rp 10,4 triliun? Bisa, sebab pemerintah
memaksa fasilitas kesehatan bekerja di bawah standar. Jelas ada
"biaya" yang harus dibayar. Biaya tersebut berupa kualitas layanan
yang buruk, biaya berobat yang terpaksa dikeluarkan peserta, penderitaan
peserta, dan bisa jadi nyawa peserta. Karena persepsi kualitas jelek itu,
banyak pegawai kelas menengah tidak menggunakan JKN. Bahkan, banyak pegawai
negeri dan pejabat BPJS Kesehatan juga tidak menggunakan JKN ketika berobat.
Sebuah guyonan rekaman
imajiner tanya jawab malaikat dengan arwah-katakanlah namanya
Bambang-menunjukkan banyak orang Indonesia mati sebelum jadwal. Setelah
bertanya kepada arwah, malaikat tidak menemukan Bambang dalam daftar orang
mati bernama Bambang. Malaikat berbisik, "Ente peserta JKN?"
Bambang pun mengangguk. Guyonan semacam itu banyak beredar. Banyak rumah
sakit (RS) menolak peserta JKN secara halus dengan alasan, seperti
"tempat penuh", jadwal konsultasi dokter untuk peserta JKN sudah
penuh, pembatasan jam dan hari kerja layanan peserta JKN, dan lain-lain. Diskriminasi
peserta JKN terjadi di RS milik swasta ataupun di RS milik pemerintah.
Standar ganda pemerintah
Laporan dan keluhan
tentang buruknya layanan JKN dapat dengan mudah ditemui di berbagai media
cetak dan media sosial. Meskipun BPJS Kesehatan mengklaim tingkat kepuasan
tinggi, klaim tersebut mengandung bias. Jika survei dilakukan di fasilitas
kesehatan, kans mendapatkan tingkat kepuasan tinggi lebih besar. Masalahnya,
survei di fasilitas kesehatan tidak menangkap peserta yang tidak menggunakan
JKN.
Yang menarik, para
pejabat tinggi negara memiliki jaminan kesehatan tambahan yang iurannya jauh
lebih besar. Pada tahun 2014, peraturan presiden yang mengatur soal jaminan
kesehatan pejabat tinggi, yang ketika itu didanai dengan iuran Rp 1,7 juta
per pejabat per bulan, dicabut Presiden karena protes publik. Akan tetapi,
jaminan masih diteruskan dengan peraturan menteri keuangan.
Bandingkan dengan
besar iuran untuk penduduk miskin yang dibayar pemerintah sebesar Rp 19.225
POPB. Jadi, pejabat negara yang mengatur JKN secara sadar tidak menggunakan
JKN. Para pegawai BPJS Kesehatan juga memiliki asuransi kesehatan tambahan.
Apa artinya? Para pejabat yang mengatur dan yang mengurus JKN sendiri menilai
JKN tidak bagus sehingga mereka perlu jaminan tambahan.
Tampaknya masih
terjadi peraturan publik dibuat untuk rakyat. Sementara pejabat negara
mengatur peraturan untuk dirinya. Jika rakyat menjadi obyek, maka hampir
dapat dipastikan layanan yang diatur untuk rakyat tidak bagus. Seharusnya
pejabat mengatur layanan untuk pejabat dan untuk rakyat. Pejabat harus
merasakan bagaimana layanan publik diterima rakyat dengan cara menggunakan
layanan yang sama.
Pejabat harus
merasakan bagaimana rasanya menunggu lama dalam keadaan sakit. Pejabat harus
merasakan bagaimana dipingpong karena salah paham petugas, alasan "tidak
ada tempat", jatah JKN habis, dan lain-lain. Pejabat harus merasakan
tidak bisa menemui dokter langganannya karena peraturan rayonisasi.
Banyak lagi masalah
teknis yang merupakan bukti rendahnya kualitas JKN karena bayaran ke
fasilitas kesehatan dan iuran JKN yang tidak memadai. Semoga semua sadar dan bertekad menjadikan
JKN yang bagus dan menjadi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar