Kamis, 03 Maret 2016

Membangun Tradisi Nalar-Kritis Guru

Membangun Tradisi Nalar-Kritis Guru

Ahmad Baedowi ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                          MEDIA INDONESIA, 29 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SUDAH umum diketahui bahwa hasil uji kom petensi guru (UKG) sejak 2012 hingga 2015 bergerak stagnan sebagai pertanda rendahnya mutu guru, baik secara pedagogis maupun akademik. Meskipun di beberapa daerah ada guru yang menonjol dan berprestasi, rerata kualitas guru di Tanah Air masih menyedihkan. Belum lagi, jika hal itu diikuti dengan pengamatan langsung di tingkat sekolah melalui serangkaian pelatihan, sangat terlihat bahwa guru-guru kita kebanyakan ialah `pegawai' sekolah yang kurang memahami filosofi dasar mengajar dan hanya melihat profesi guru sebagai pekerjaan semata.

Kondisi semacam itu tentu saja tak bisa dibiarkan jika kualitas pendidikan kita ingin bergerak maju. Kebutuhan pelatihan guru yang berpangkal pada kebutuhan dasar pengajaran berkarakter harus dilakukan melalui serangkaian strategi yang tepat, sesuai, dan aplikatif di tingkat sekolah.Ada banyak sekolah, negeri dan swasta, yang memiliki tradisi pelatihan yang membangun tradisi nalar-kritis guru melalui program pengembangan kapasitas yang siklus dan keberlanjutannya dilakukan sendiri oleh pihak sekolah.

Tiga komponen

Dalam pengalaman Sekolah Sukma Bangsa (SSB), pelatihan guru merupakan kebutuhan dominan yang harus dilakukan sekolah, minimal sekali dalam sebulan. Materi pelatihan ditentukan berdasarkan peta evaluasi kemampuan guru yang mencakup kecakapan profesi, pedagogis, kepribadian, dan sosial yang diperoleh secara periodik melalui laporan konselor, kepala sekolah, dewan guru, dan evaluasi siswa. Data itu kemudian diolah tim pengembang kurikulum untuk menentukan desain kebutuhan pelatihan guru yang sesuai dengan peta kemampuan guru.

Ada tiga komponen utama yang sedari awal harus dipahami guru ketika akan mengajar.Pertama ialah menggali kemampuan profesi dan kepribadian guru melalui pengenalan gaya belajar siswa (learning style). Pengetahuan dan pemahaman guru terhadap gaya belajar siswa di banyak sekolah sangat memprihatinkan-untuk tidak menyebutnya sama sekali tak dipahami secara baik. Apalagi, ketika diakses melalui serangkaian tes, sangat terlihat kemampuan guru mengaplikasikan gaya belajar siswa sebagai basis membangun strategi belajar yang tepat bagi anak-anak terlihat masih sangat miskin dan kurang inovatif.

Mengenali keberbakatan anak melalui peta gaya belajar menurut saya merupakan pengetahuan dasar yang harus dipahami guru, termasuk bagaimana cara memetakan gaya belajar itu dari hari ke hari. Dalam pelatihan, keterampilan membuat instrumen kesiapan belajar siswa (assessment for learning) merupakan keharusan di SSB untuk meningkatkan daya nalar dan kritis guru terhadap kondisi siswa secara utuh. Pendampingan terhadap kemampuan guru ini menjadi domain wakil kepala sekolah bidang kurikulum untuk selalu memantau dan mengevaluasinya.

Komponen kedua yang menurut saya juga penting untuk dilatihkan secara terus-menerus ialah memetakan kemampuan gaya mengajar (teaching style) guru berdasarkan tradisi belajar yang telah diperolehnya selama di perguruan tinggi. Ada banyak guru yang paham definisi kognitif, afektif, dan psikomotorik, tapi ketika gaya mengajar ini dibenturkan dengan gaya belajar siswa, hampir semua guru merasa kesulitan karena di perguruan tinggi gaya mengajar hanya dipelajari dalam konteks pengetahuan semata tanpa ada keterkaitan dengan proses mengamati gaya belajar siswa. Dibutuhkan instrumen yang baik untuk mengajari guru agar memahami secara sekaligus antara gaya belajar dan gaya mengajar.

Saya menemukan begitu banyak guru yang mengetahui gaya kognisi, afeksi, dan psikomotorik dalam balutan rumus A1, C2, P2 dan seterusnya.
Namun, ketika digunakan dalam praktik belajar mengajar di kelas, itu sama sekali tak terlihat dampaknya terhadap siswa. Pemahaman gaya mengajar dengan cara ini malah membawa guru terperosok jauh ke tradisi nalar statis yang sangat formalistis. Selain kemampuan profesi dan kepribadian tak terasah, pe ngenalan gaya mengajar secara salah dan serampangan jelas akan membawa guru pada rutinitas mengajar yang sangat kaku dan miskin inovasi.

Komponen ketiga yang juga penting untuk membangun tradisi nalar kritis guru ialah mengenalkan mereka secara aplikatif teori belajar (learning theories) yang sesuai dengan gaya mengajar mereka dan gaya belajar siswa. Pada tahap ini, jika dilakukan simulasi secara kreatif melalui sebuah skema perputaran antara gaya belajar siswa, gaya mengajar guru, dan pemahaman terhadap teori belajar yang pas, dapat dipastikan kemampuan nalar kritis siswa akan meningkat. Dalam waktu yang bersamaan, hal ini jelas akan berdampak juga pada kemampuan nalar kritis siswa. Meskipun ada begitu banyak teori belajar, jika diskemakan dan dipertautkan dengan gaya belajar dan mengajar, menurut pengalaman SSB, itu justru akan meningkatkan kemampuan instingtif guru untuk cermat dalam memilih teori belajar yang sesuai.

Mempertautkan gaya belajar, gaya mengajar, dan teori belajar dalam satu tarikan napas program pelatihan guru di tingkat sekolah jelas akan meningkatkan tradisi nalar kritis guru. Di dalam pelatih an, guru menjadi terbiasa dan familier untuk membuat mind-map ketiga komponen itu dalam rangkaian persiapan mengajar. Misalnya, ketika guru menyadari lebih banyak siswa mereka yang memiliki gaya belajar auditoris, mereka bisa bereksperimen menggunakan gaya mengajar yang mengandalkan aspek kognisi dengan pendekatan teori belajar behavioristik. Ketika dituangkan ke mind-map, terlihat ada begitu banyak inisiatif dan inovasi yang memungkinkan untuk dilakukan guru dalam proses belajar-mengajar di kelas.

Tak ada yang lebih menyenangkan selain menyaksikan para guru selalu memiliki beragam cara, strategi dan pendekatan, hingga metode dan media belajar yang juga beragam ketika mengajar di kelas. Mereka tak lagi mengandalkan rumus-rumus membuat lesson-plan atau RPP yang biasanya sangat kaku dan hanya berlaku untuk diri mereka sendiri, tetapi abai melibatkan gaya belajar siswa-siswa mereka yang sangat beragam dan dinamis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar