Membangun Tradisi Nalar-Kritis Guru
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan
Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
29 Februari 2016
SUDAH umum diketahui bahwa hasil uji kom
petensi guru (UKG) sejak 2012 hingga 2015 bergerak stagnan sebagai pertanda
rendahnya mutu guru, baik secara pedagogis maupun akademik. Meskipun di
beberapa daerah ada guru yang menonjol dan berprestasi, rerata kualitas guru
di Tanah Air masih menyedihkan. Belum lagi, jika hal itu diikuti dengan
pengamatan langsung di tingkat sekolah melalui serangkaian pelatihan, sangat
terlihat bahwa guru-guru kita kebanyakan ialah `pegawai' sekolah yang kurang
memahami filosofi dasar mengajar dan hanya melihat profesi guru sebagai
pekerjaan semata.
Kondisi semacam itu tentu saja tak bisa
dibiarkan jika kualitas pendidikan kita ingin bergerak maju. Kebutuhan
pelatihan guru yang berpangkal pada kebutuhan dasar pengajaran berkarakter
harus dilakukan melalui serangkaian strategi yang tepat, sesuai, dan
aplikatif di tingkat sekolah.Ada banyak sekolah, negeri dan swasta, yang
memiliki tradisi pelatihan yang membangun tradisi nalar-kritis guru melalui
program pengembangan kapasitas yang siklus dan keberlanjutannya dilakukan
sendiri oleh pihak sekolah.
Tiga komponen
Dalam pengalaman Sekolah Sukma Bangsa (SSB),
pelatihan guru merupakan kebutuhan dominan yang harus dilakukan sekolah,
minimal sekali dalam sebulan. Materi pelatihan ditentukan berdasarkan peta
evaluasi kemampuan guru yang mencakup kecakapan profesi, pedagogis,
kepribadian, dan sosial yang diperoleh secara periodik melalui laporan
konselor, kepala sekolah, dewan guru, dan evaluasi siswa. Data itu kemudian
diolah tim pengembang kurikulum untuk menentukan desain kebutuhan pelatihan
guru yang sesuai dengan peta kemampuan guru.
Ada tiga komponen utama yang sedari awal harus
dipahami guru ketika akan mengajar.Pertama ialah menggali kemampuan profesi
dan kepribadian guru melalui pengenalan gaya belajar siswa (learning style). Pengetahuan dan
pemahaman guru terhadap gaya belajar siswa di banyak sekolah sangat
memprihatinkan-untuk tidak menyebutnya sama sekali tak dipahami secara baik.
Apalagi, ketika diakses melalui serangkaian tes, sangat terlihat kemampuan
guru mengaplikasikan gaya belajar siswa sebagai basis membangun strategi
belajar yang tepat bagi anak-anak terlihat masih sangat miskin dan kurang
inovatif.
Mengenali keberbakatan anak melalui peta gaya
belajar menurut saya merupakan pengetahuan dasar yang harus dipahami guru,
termasuk bagaimana cara memetakan gaya belajar itu dari hari ke hari. Dalam
pelatihan, keterampilan membuat instrumen kesiapan belajar siswa (assessment for learning) merupakan
keharusan di SSB untuk meningkatkan daya nalar dan kritis guru terhadap
kondisi siswa secara utuh. Pendampingan terhadap kemampuan guru ini menjadi
domain wakil kepala sekolah bidang kurikulum untuk selalu memantau dan
mengevaluasinya.
Komponen kedua yang menurut saya juga penting
untuk dilatihkan secara terus-menerus ialah memetakan kemampuan gaya mengajar
(teaching style) guru berdasarkan
tradisi belajar yang telah diperolehnya selama di perguruan tinggi. Ada
banyak guru yang paham definisi kognitif, afektif, dan psikomotorik, tapi
ketika gaya mengajar ini dibenturkan dengan gaya belajar siswa, hampir semua
guru merasa kesulitan karena di perguruan tinggi gaya mengajar hanya
dipelajari dalam konteks pengetahuan semata tanpa ada keterkaitan dengan
proses mengamati gaya belajar siswa. Dibutuhkan instrumen yang baik untuk
mengajari guru agar memahami secara sekaligus antara gaya belajar dan gaya mengajar.
Saya menemukan begitu banyak guru yang
mengetahui gaya kognisi, afeksi, dan psikomotorik dalam balutan rumus A1, C2,
P2 dan seterusnya.
Namun, ketika digunakan dalam praktik belajar
mengajar di kelas, itu sama sekali tak terlihat dampaknya terhadap siswa.
Pemahaman gaya mengajar dengan cara ini malah membawa guru terperosok jauh ke
tradisi nalar statis yang sangat formalistis. Selain kemampuan profesi dan
kepribadian tak terasah, pe ngenalan gaya mengajar secara salah dan
serampangan jelas akan membawa guru pada rutinitas mengajar yang sangat kaku
dan miskin inovasi.
Komponen ketiga yang juga penting untuk
membangun tradisi nalar kritis guru ialah mengenalkan mereka secara aplikatif
teori belajar (learning theories)
yang sesuai dengan gaya mengajar mereka dan gaya belajar siswa. Pada tahap
ini, jika dilakukan simulasi secara kreatif melalui sebuah skema perputaran
antara gaya belajar siswa, gaya mengajar guru, dan pemahaman terhadap teori
belajar yang pas, dapat dipastikan kemampuan nalar kritis siswa akan
meningkat. Dalam waktu yang bersamaan, hal ini jelas akan berdampak juga pada
kemampuan nalar kritis siswa. Meskipun ada begitu banyak teori belajar, jika
diskemakan dan dipertautkan dengan gaya belajar dan mengajar, menurut
pengalaman SSB, itu justru akan meningkatkan kemampuan instingtif guru untuk
cermat dalam memilih teori belajar yang sesuai.
Mempertautkan gaya belajar, gaya mengajar, dan
teori belajar dalam satu tarikan napas program pelatihan guru di tingkat
sekolah jelas akan meningkatkan tradisi nalar kritis guru. Di dalam pelatih
an, guru menjadi terbiasa dan familier untuk membuat mind-map ketiga komponen
itu dalam rangkaian persiapan mengajar. Misalnya, ketika guru menyadari lebih
banyak siswa mereka yang memiliki gaya belajar auditoris, mereka bisa
bereksperimen menggunakan gaya mengajar yang mengandalkan aspek kognisi
dengan pendekatan teori belajar behavioristik. Ketika dituangkan ke mind-map, terlihat ada begitu banyak
inisiatif dan inovasi yang memungkinkan untuk dilakukan guru dalam proses
belajar-mengajar di kelas.
Tak ada yang lebih menyenangkan selain
menyaksikan para guru selalu memiliki beragam cara, strategi dan pendekatan,
hingga metode dan media belajar yang juga beragam ketika mengajar di kelas.
Mereka tak lagi mengandalkan rumus-rumus membuat lesson-plan atau RPP yang
biasanya sangat kaku dan hanya berlaku untuk diri mereka sendiri, tetapi abai
melibatkan gaya belajar siswa-siswa mereka yang sangat beragam dan dinamis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar