Ancaman Pendidikan Kewarganegaraan
Akh Muzakki ;
Guru Besar Sosiologi Pendidikan
UIN Sunan Ampel Surabaya; Anggota
Dewan Pendidikan Jawa Timur
|
KOMPAS, 02 Maret
2016
Penguatan literasi
lewat Gerakan Membaca 15 Menit yang
dikampanyekan Mendikbud Anies Baswedan, lewat Permendikbud Nomor 21 Tahun
2015, layak membuat kita menghitung ulang buku yang beredar di pasaran
beserta isinya. Sebab, bacaan akan memengaruhi basis kognitif, dan bahkan
psikomotorik, warga bangsa ini.
Temuan Gerakan Pemuda
Ansor Nahdlatul Ulama (GP Ansor NU) atas buku pelajaran untuk tingkat taman
kanak-kanak yang mengandung unsur radikalisme (20/01/2015) mestinya menjadi
lonceng peringatan. Dalam temuan GP Ansor NU itu, terdapat 32 kalimat dalam
buku tersebut yang mengarahkan siswa sebagai pembaca kepada tindakan
radikalisme. Kalimat itu antara lain "sabotase", "gelora hati
ke Saudi", "bom", "sahid di medan jihad", hingga
"cari lokasi di Kota Bekasi". Juga ada kalimat dan kata-kata lain
yang mengandung benih ajaran radikalisme, di antaranya "rela mati bela
agama", "gegana ada di mana", "bila agama kita dihina
kita tiada rela", "basoka dibawa lari", "selesai raih
bantai kiyai", dan "kenapa fobia pada agama".
Temuan kasus di atas
memang di Depok, Jawa Barat, dan buku itu memang dicetak di Solo, Jawa
Tengah. Namun, penyebaran buku itu sudah lintas provinsi. Apalagi, buku itu
telah dicetak ulang hingga ke-167 sejak terbit tahun 1999. Intinya, buku
tersebut sudah mengalami penyebaran dan konsumsi yang luas oleh siswa di
seluruh Indonesia. Untuk itu, perhatian penuh layak diberikan kepada
buku-buku bermuatan benih radikalisme. Kepentingannya adalah agar sekolah,
melalui buku pelajaran yang disampaikan kepada siswa, tak menjadi media untuk
menyebarkan benih radikalisme di tengah masyarakat.
Betul kata pepatah
bahwa, jati diri seseorang ditentukan dari apa yang dibaca atau apa yang
dikonsumsi. Oleh karena itu, bahan bacaan bisa memainkan peranan penting
untuk membangun jati diri anak bangsa. Dalam kaitannya dengan radikalisme dan
terorisme, bahan bacaan yang disampaikan dan diajarkan di sekolah akan bisa
mencuci otak anak bangsa. Di sinilah kaitan antara buku bacaan dan pendidikan
jati diri anak bangsa.
Sementara, kita tahu,
pendidikan itu sendiri memiliki tujuan politik membentuk nilai
kewarganegaraan dan kewargaan yang baik. Pakar pendidikan Stephan Millett
(2008:23) mengingatkan kita terhadap pentingnya penguatan tujuan politik
pendidikan ini. Tujuan dari pendidikan adalah untuk menciptakan warga negara
yang baik. Kata "baik" di sini antara lain dimaknai sesuai dengan
konstitusi negara yang bersangkutan.
Tak pernah ada
pendidikan di sebuah negara yang tak dikaitkan dengan nilai kewarganegaraan
sesuai konstitusi yang dianut. Di belahan dunia mana pun, terlepas dari apa
pun ideologinya, negara memiliki kepentingan dengan berbagai bentuk
pendidikan yang dijalankan dan dinikmati warga negaranya.
Kepentingan itu, pada
titik paling ekstrem, agar pendidikan yang ada di tengah warganya tidak
bertentangan dengan ideologi yang dianut negaranya. Pada titik paling
sederhana agar tercipta warga negara yang diharapkan oleh negara itu.
Politik pendidikan
Sebagai
konsekuensinya, tidak pernah terjadi sebuah pendidikan di sebuah negara mana
pun tanpa campur tangan negara. Kontrol negara pasti dilakukan terhadap semua
bentuk dan jenjang pendidikan. Dalam konteks inilah, politik pendidikan
menjadi sebuah fakta yang tidak pernah sirna dari praktik pendidikan di
negara mana pun. Untuk itu, argumen yang dibangun Stephan Millet bahwa
pendidikan pada akhirnya untuk menghasilkan warga negara yang baik berlaku
pada dan dianut semua negara, terlepas dari ideologi dan bentuk sistem
pemerintahannya.
Begitu pun dengan
Indonesia yang berasas Pancasila dan dijalankan dengan sistem pemerintahan
demokrasi. Negeri ini tentu saja memiliki kepentingan dengan seluruh ragam
pendidikan yang di jalankan di dalamnya agar bisa menciptakan good citizens (warga negara yang baik)
sesuai dengan semangat Pancasila dan pemerintahan demokrasi, sebagaimana diuraikan
oleh Pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional (UU 20/2013) tentang tujuan
pendidikan di Indonesia.
Oleh karena itu,
negara tidak selayaknya melakukan politik pembiaran terhadap praktik
penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung di tengah warga negaranya. Negara
sepatutnya mengevaluasi kurikulum pendidikan yang diberlakukan seluruh warga
negaranya. Pada tahap paling minimal, negara harus hadir dengan penegakan
aturan bahwa seluruh materi pembelajaran tidak boleh bertentangan dengan
ideologi dan nilai yang dianut negara. Hal itu termasuk dari benih
radikalisme dan terorisme yang mengancam keutuhan negeri.
Buku yang mengajarkan
benih radikalisme dan terorisme justru sangat kontradiktif dengan kepentingan
politik pendidikan Indonesia melalui penguatan tujuan penciptaan warga negara
yang baik. Sebab, ajaran radikalisme dan terorisme meruntuhkan nilai
kemanusiaan dan pilar substantif kewarganegaraan sesuai konstitusi negeri
ini.
Pembiaran oleh negara
terhadap menyeruaknya ajaran dan benih radikalisme-terorisme di sekolah
melalui buku dan bahan ajar yang tersebar serta dikonsumsi luas oleh siswa
sangat mencederai tujuan mulia pendidikan nasional. Maka, jika pendidikan
yang dijalankan di negeri ini tidak mampu mencetak warga negara yang baik sebagai
muara dari substansi kewarganegaraan Indonesia akibat politik pembiaran atas
buku-buku radikal itu, maka kegagalan pendidikan telah dimulai dari titik
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar