Target
Ekonomi 2018
Paul Sutaryono ; Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice
President BNI
|
KOMPAS,
16 November
2017
Akhirnya, pada 25 Oktober 2017,
pemerintah dan DPR sepakat menetapkan target pertumbuhan ekonomi pada 2018
sebesar 5,4 persen. Target itu boleh dikatakan rendah lantaran pemerintah
mengajukan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,4-6,1 persen.
Selama ini, Dana Moneter
Internasional (IMF) melakukan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai
5,1 persen pada 2017 dan 5,3 persen pada 2018. Bank Dunia menetapkan proyeksi
5,2 persen pada 2017 dan 5,3 persen pada 2018, sedangkan Bank Pembangunan
Asia (ADB) menentukan proyeksi 5,1 persen (2017) dan 5,3 persen untuk 2018.
Artinya, ketiga lembaga keuangan internasional itu sama-sama menetapkan
proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,3 persen pada 2018.
Karena itu, asumsi makro 2018
menjadi sebagai berikut. Pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, inflasi 3,5 persen,
nilai tukar rupiah Rp 13.400 per dollar AS, suku bunga Surat Perbendaharaan
Negara tiga bulan 5,2 persen, harga minyak 48 dollar AS per barrel, lifting
minyak 800.000 barrel per hari, lifting gas bumi 1,2 juta barrel. Target
pembangunan: tingkat pengangguran terbuka 5,0-5,3 persen, tingkat kemiskinan
9,5-10 persen, rasio gini (indeks) 0,38 persen dan Indeks Pembangunan Manusia
71,50, Kompas (26/10).
Aneka potensi risiko
Namun, jangan melupakan potensi
risiko global. Dengan bahasa lebih bening, jalan ke depan masih terjal.
Pertama, rencana kenaikan suku
bunga acuan AS (The Fed Fund Rate/FFR) pada Desember 2017. Kenaikan FFR 25
basis poin (bps) menjadi 1-1,25 persen pada medio Juni 2017 itu menegaskan
bahwa ekonomi AS tumbuh sesuai dengan harapan Bank Sentral AS (The Federal
Reserve/The Fed).
Ketika ekonomi AS terus
membaik, maka rencana kenaikan FFR pada Desember 2017 akan menjadi kenyataan.
Apakah suku bunga acuan BI 7 day Reverse Repo Rate (BI 7 DRR) juga akan
mengikuti kenaikan itu? Rasanya tidak.
Pada Agustus dan September
2017, BI telah menurunkan BI 7 DRR, masing-masing 25 bps menjadi 4,25 persen.
Atas kenaikan itu, pemeringkat global Moody’s langsung memberi peringatan
kepada BI supaya menghentikan pemangkasan BI 7 DRR, mengingat kebijakan
moneter AS yang cenderung berubah. Alhasil, BI menahan BI 7 DRR pada 4,25
persen pada Oktober 2017.
Pemangkasan itu bertujuan untuk
mendorong bank supaya makin deras mengucurkan kredit. Sayangnya, permintaan
kredit jalan di tempat. Hal itu tecermin pada kredit yang sudah disetujui,
tetapi belum dicairkan (undisbursed loan) yang naik 9,93 persen dari Rp
1.265,88 triliun per Agustus 2016 menjadi Rp 1.391,62 triliun per Agustus
2017.
Statistik Perbankan Indonesia
yang terbit 18 Oktober 2017 menunjukkan, untuk bank umum kegiatan usaha
(BUKU) 1 (dengan modal inti kurang dari Rp 1 triliun) dan BUKU 2 (modal inti
Rp 1 triliun hingga di bawah Rp 5 triliun), kredit yang sudah disetujui,
tetapi belum dicairkan itu turun masing-masing 31,72 persen dan 8,94 persen.
Sebaliknya, untuk BUKU 3 (modal inti Rp 5 triliun hingga kurang dari Rp 30
triliun) dan BUKU 4 (modal inti di atas Rp 30 triliun), kredit itu justru
naik masing-masing 2,04 persen dan 27,52 persen.
Data itu menyiratkan perusahaan
lebih kecil sudah lebih banyak mencairkan kredit. Sebaliknya, perusahaan
menengah ke atas (korporasi) masih enggan mencairkan kredit. Padahal,
perusahaan menengah ke atas itu amat diharapkan dapat segera mencairkan
kredit itu untuk mempercepat laju roda sektor riil dalam menghela pertumbuhan
ekonomi. Karena itu, BI hendaknya menahan BI 7 DRR seraya menanti langkah The
Fed ke depan. Sikap itu dapat mencegah larinya dana panas ke lain hati
(capital flight).
Kedua, Gubernur The Fed Janet
Yellen akan memasuki masa pensiun pada Februari 2018. Jerome Powell yang kini
anggota Dewan Gubernur The Fed menjadi kandidat terkuat untuk menggantikan
Yellen. Pasar (investor) cenderung memilih Powell lantaran sekiranya Powell
terpilih, pasar memprediksi kebijakan moneter The Fed tak akan berubah total.
Akhirnya Donald Trump memilih Powell.
Sarinya, perubahan FFR pada
2018 akan bergantung pada pengganti Yellen. Untuk itu, BI wajib mencermati
dampak perubahan gubernur The Fed yang bisa memengaruhi pasar keuangan
nasional 2018.
Ketiga, The Fed akan melakukan
normalisasi neraca dengan menekan kebijakan pelonggaran kuantitatif
(quantitative easing) dengan mengurangi surat berharga yang telah jatuh
tempo. Jauh sebelum krisis berlangsung, The Fed mengantongi aset sekitar 800
miliar dollar AS dan kini 4,5 triliun dollar AS. Karena itu, The Fed akan
mengurangi jumlah itu secara bertahap.
Salah satu langkah normalisasi
itu adalah menjual obligasi. Hal itu akan mengakibatkan pasokan obligasi akan
makin banyak sehingga harga akan makin rendah (murah). Ujungnya, imbal hasil
akan makin tinggi. Apa potensi risiko keuangan bagi Indonesia? Biaya
penerbitan obligasi akan makin tinggi. Konsekuensi logisnya, biaya pembayaran
utang luar negeri Indonesia akan makin mahal di masa mendatang.
Karena itu, tantangan untuk
memperoleh penerimaan negara dari penerimaan pajak kian tajam, yang mencapai
Rp 882,8 triliun atau 68,78 persen per Oktober 2017 dari target Rp 1.283,57
triliun. Karena itu, pemerintah sudah selayaknya terus meningkatkan penerapan
manajemen utang dengan saksama. Sebab, ketika target penerimaan pajak tidak
tercapai, maka menambah utang lagi menjadi opsi terakhir dalam menambal
anggaran 2018.
Keempat, Korea Utara terus
melakukan uji coba nuklir meski sudah memperoleh sanksi internasional. Apa
potensi risikonya? Risiko akan timbul ketika Trump tak cermat sehingga
memutuskan perang melawan Korea Utara. Perang itu pasti akan membebani
anggaran AS yang amat besar, seperti perang Vietnam pada 1975. Harga minyak
dunia akan terbang tinggi, yang bisa menyeret dunia masuk ke dalam jurang resesi
berkepanjangan. Pasar keuangan negara-negara berkembang (emerging markets),
termasuk Indonesia, terancam surut. Mengapa? Sebab sebagian dollar AS akan
kembali ke AS untuk membiayai perang sehingga nilai tukar rupiah bisa
melemah.
Aneka potensi risiko demikian
hendaknya menjadi perhatian serius pemerintah. Target pertumbuhan ekonomi
sudah seharusnya tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi. Ingat bahwa
anggaran yang terlalu rendah akan kurang mampu memotivasi pelaku anggaran
karena terlalu pesimistis. Anggaran yang terlalu tinggi justru akan
melahirkan kontraproduktif.
Langkah strategis
Lantas, dengan mencermati
berbagai potensi risiko global itu, langkah strategis apa saja yang patut
diambil untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi?
Pertama, kebijakan moneter BI
dan kebijakan fiskal pemerintah harus berada dalam arah yang sama. Ini
mutlak. Bukan tatkala satu ke timur, satunya lagi malah ke barat. Tak boleh
lagi terjadi ketika pemerintah menargetkan suku bunga satu digit, tetapi suku
bunga acuan enggan turun.
Kedua, stimulus dalam negeri.
Pemerintah telah menggali berbagai upaya untuk menyuburkan pertumbuhan
ekonomi dan menggenjot investasi dengan meluncurkan 16 paket kebijakan
ekonomi.
Paket kebijakan jilid I yang
terbit September 2015 amat diharapkan dapat mendorong sektor properti untuk
kembali bergairah. Paket itu bertujuan meningkatkan investasi dan sektor
properti melalui peluncuran Program Sejuta Rumah.
Program itu mendorong
pembangunan perumahan khusus untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan
membuka peluang investasi yang lebih besar di sektor properti. Kok bisa?
Karena bergairahnya sektor properti akan membangkitkan paling tidak 170
bisnis ikutan lainnya.
Sungguh mendesak bagi
pemerintah untuk terus mendorong investasi berbasis tak hanya padat modal,
tetapi juga padat karya. Hal itu akan menyerap banyak tenaga kerja sehingga
mengurangi tingkat pengangguran terbuka yang mencapai 5,33 persen per kuartal
I-2017, turun dari 5,61 persen per kuartal III-2016. Itu angka yang
menggembirakan dibandingkan negara ASEAN: Thailand 1,20 persen, Singapura
(2,10), Vietnam (2,09), Malaysia (3,40), dan Filipina 5,60 persen.
Ketiga, predikat layak
investasi. Kenaikan peringkat utang jangka panjang Indonesia dari BB+ menjadi
BBB- dengan proyeksi stabil oleh Standard & Poor’s (S&P) jadi layak
investasi adalah berkah tersendiri. Hal itu melengkapi status yang sama oleh
Fitch Ratings dan Moody’s.
Menurut Laporan Bank Dunia yang
diumumkan 1 November 2017, peringkat kemudahan berbisnis Indonesia mengalami kenaikan
signifikan dari 114 pada 2015 menjadi 109, 91 dan 72, masing-masing pada
2016, 2017, dan 2018 di atas Filipina (113). Ini momen yang tepat untuk
mengerek investasi portofolio di pasar keuangan dan investasi langsung
(foreign direct investment) di sektor riil. Sebab, Indonesia menetapkan
target investasi Rp 840 triliun pada 2018 untuk lebih menyuburkan pertumbuhan
ekonomi.
Keempat, kenaikan peringkat
perbankan oleh Moody’s. Bisnis perbankan akan lebih gemerincing ketika
Moody’s menaikkan prospek (outlook) industri perbankan dari stabil menjadi
positif pada Juni 2017. Kenaikan peringkat itu didukung lima faktor, yakni
kondisi bisnis yang makin baik, kualitas aset permodalan, dukungan
pemerintah, likuiditas yang stabil, dan kemampuan mencetak laba yang lebih
baik.
Bisnis perbankan pun akan lebih
membara tatkala target pertumbuhan ekonomi lebih optimistis, katakanlah 5,5
persen. Namun, bank tetap wajib menekan kredit bermasalah (nonperforming
loan/NPL) meski telah turun dari 3,22 persen per Agustus 2016 menjadi 3,05
persen per Agustus 2017. NPL itu masih di bawah ambang batas 5 persen, tetapi
hal itu merupakan peringatan keras bagi bank untuk meningkatkan kualitas
aset.
Nah, ketika aneka potensi
risiko dapat ditaklukkan dan langkah strategis itu dapat terlaksana dengan
jitu, maka target ekonomi 5,4 persen bakal terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar