Jumat, 17 November 2017

Target Ekonomi 2018

Target Ekonomi 2018
Paul Sutaryono ;  Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI
                                                    KOMPAS, 16 November 2017



                                                           
Akhirnya, pada 25 Oktober 2017, pemerintah dan DPR sepakat menetapkan target pertumbuhan ekonomi pada 2018 sebesar 5,4 persen. Target itu boleh dikatakan rendah lantaran pemerintah mengajukan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,4-6,1 persen.

Selama ini, Dana Moneter Internasional (IMF) melakukan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,1 persen pada 2017 dan 5,3 persen pada 2018. Bank Dunia menetapkan proyeksi 5,2 persen pada 2017 dan 5,3 persen pada 2018, sedangkan Bank Pembangunan Asia (ADB) menentukan proyeksi 5,1 persen (2017) dan 5,3 persen untuk 2018. Artinya, ketiga lembaga keuangan internasional itu sama-sama menetapkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,3 persen pada 2018.

Karena itu, asumsi makro 2018 menjadi sebagai berikut. Pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, inflasi 3,5 persen, nilai tukar rupiah Rp 13.400 per dollar AS, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara tiga bulan 5,2 persen, harga minyak 48 dollar AS per barrel, lifting minyak 800.000 barrel per hari, lifting gas bumi 1,2 juta barrel. Target pembangunan: tingkat pengangguran terbuka 5,0-5,3 persen, tingkat kemiskinan 9,5-10 persen, rasio gini (indeks) 0,38 persen dan Indeks Pembangunan Manusia 71,50, Kompas (26/10).

Aneka potensi risiko

Namun, jangan melupakan potensi risiko global. Dengan bahasa lebih bening, jalan ke depan masih terjal.

Pertama, rencana kenaikan suku bunga acuan AS (The Fed Fund Rate/FFR) pada Desember 2017. Kenaikan FFR 25 basis poin (bps) menjadi 1-1,25 persen pada medio Juni 2017 itu menegaskan bahwa ekonomi AS tumbuh sesuai dengan harapan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).

Ketika ekonomi AS terus membaik, maka rencana kenaikan FFR pada Desember 2017 akan menjadi kenyataan. Apakah suku bunga acuan BI 7 day Reverse Repo Rate (BI 7 DRR) juga akan mengikuti kenaikan itu? Rasanya tidak.

Pada Agustus dan September 2017, BI telah menurunkan BI 7 DRR, masing-masing 25 bps menjadi 4,25 persen. Atas kenaikan itu, pemeringkat global Moody’s langsung memberi peringatan kepada BI supaya menghentikan pemangkasan BI 7 DRR, mengingat kebijakan moneter AS yang cenderung berubah. Alhasil, BI menahan BI 7 DRR pada 4,25 persen pada Oktober 2017.

Pemangkasan itu bertujuan untuk mendorong bank supaya makin deras mengucurkan kredit. Sayangnya, permintaan kredit jalan di tempat. Hal itu tecermin pada kredit yang sudah disetujui, tetapi belum dicairkan (undisbursed loan) yang naik 9,93 persen dari Rp 1.265,88 triliun per Agustus 2016 menjadi Rp 1.391,62 triliun per Agustus 2017.

Statistik Perbankan Indonesia yang terbit 18 Oktober 2017 menunjukkan, untuk bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1 (dengan modal inti kurang dari Rp 1 triliun) dan BUKU 2 (modal inti Rp 1 triliun hingga di bawah Rp 5 triliun), kredit yang sudah disetujui, tetapi belum dicairkan itu turun masing-masing 31,72 persen dan 8,94 persen. Sebaliknya, untuk BUKU 3 (modal inti Rp 5 triliun hingga kurang dari Rp 30 triliun) dan BUKU 4 (modal inti di atas Rp 30 triliun), kredit itu justru naik masing-masing 2,04 persen dan 27,52 persen.

Data itu menyiratkan perusahaan lebih kecil sudah lebih banyak mencairkan kredit. Sebaliknya, perusahaan menengah ke atas (korporasi) masih enggan mencairkan kredit. Padahal, perusahaan menengah ke atas itu amat diharapkan dapat segera mencairkan kredit itu untuk mempercepat laju roda sektor riil dalam menghela pertumbuhan ekonomi. Karena itu, BI hendaknya menahan BI 7 DRR seraya menanti langkah The Fed ke depan. Sikap itu dapat mencegah larinya dana panas ke lain hati (capital flight).

Kedua, Gubernur The Fed Janet Yellen akan memasuki masa pensiun pada Februari 2018. Jerome Powell yang kini anggota Dewan Gubernur The Fed menjadi kandidat terkuat untuk menggantikan Yellen. Pasar (investor) cenderung memilih Powell lantaran sekiranya Powell terpilih, pasar memprediksi kebijakan moneter The Fed tak akan berubah total. Akhirnya Donald Trump memilih Powell.

Sarinya, perubahan FFR pada 2018 akan bergantung pada pengganti Yellen. Untuk itu, BI wajib mencermati dampak perubahan gubernur The Fed yang bisa memengaruhi pasar keuangan nasional 2018.

Ketiga, The Fed akan melakukan normalisasi neraca dengan menekan kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) dengan mengurangi surat berharga yang telah jatuh tempo. Jauh sebelum krisis berlangsung, The Fed mengantongi aset sekitar 800 miliar dollar AS dan kini 4,5 triliun dollar AS. Karena itu, The Fed akan mengurangi jumlah itu secara bertahap.

Salah satu langkah normalisasi itu adalah menjual obligasi. Hal itu akan mengakibatkan pasokan obligasi akan makin banyak sehingga harga akan makin rendah (murah). Ujungnya, imbal hasil akan makin tinggi. Apa potensi risiko keuangan bagi Indonesia? Biaya penerbitan obligasi akan makin tinggi. Konsekuensi logisnya, biaya pembayaran utang luar negeri Indonesia akan makin mahal di masa mendatang.

Karena itu, tantangan untuk memperoleh penerimaan negara dari penerimaan pajak kian tajam, yang mencapai Rp 882,8 triliun atau 68,78 persen per Oktober 2017 dari target Rp 1.283,57 triliun. Karena itu, pemerintah sudah selayaknya terus meningkatkan penerapan manajemen utang dengan saksama. Sebab, ketika target penerimaan pajak tidak tercapai, maka menambah utang lagi menjadi opsi terakhir dalam menambal anggaran 2018.

Keempat, Korea Utara terus melakukan uji coba nuklir meski sudah memperoleh sanksi internasional. Apa potensi risikonya? Risiko akan timbul ketika Trump tak cermat sehingga memutuskan perang melawan Korea Utara. Perang itu pasti akan membebani anggaran AS yang amat besar, seperti perang Vietnam pada 1975. Harga minyak dunia akan terbang tinggi, yang bisa menyeret dunia masuk ke dalam jurang resesi berkepanjangan. Pasar keuangan negara-negara berkembang (emerging markets), termasuk Indonesia, terancam surut. Mengapa? Sebab sebagian dollar AS akan kembali ke AS untuk membiayai perang sehingga nilai tukar rupiah bisa melemah.

Aneka potensi risiko demikian hendaknya menjadi perhatian serius pemerintah. Target pertumbuhan ekonomi sudah seharusnya tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi. Ingat bahwa anggaran yang terlalu rendah akan kurang mampu memotivasi pelaku anggaran karena terlalu pesimistis. Anggaran yang terlalu tinggi justru akan melahirkan kontraproduktif.

Langkah strategis

Lantas, dengan mencermati berbagai potensi risiko global itu, langkah strategis apa saja yang patut diambil untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi?

Pertama, kebijakan moneter BI dan kebijakan fiskal pemerintah harus berada dalam arah yang sama. Ini mutlak. Bukan tatkala satu ke timur, satunya lagi malah ke barat. Tak boleh lagi terjadi ketika pemerintah menargetkan suku bunga satu digit, tetapi suku bunga acuan enggan turun.

Kedua, stimulus dalam negeri. Pemerintah telah menggali berbagai upaya untuk menyuburkan pertumbuhan ekonomi dan menggenjot investasi dengan meluncurkan 16 paket kebijakan ekonomi.

Paket kebijakan jilid I yang terbit September 2015 amat diharapkan dapat mendorong sektor properti untuk kembali bergairah. Paket itu bertujuan meningkatkan investasi dan sektor properti melalui peluncuran Program Sejuta Rumah.

Program itu mendorong pembangunan perumahan khusus untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan membuka peluang investasi yang lebih besar di sektor properti. Kok bisa? Karena bergairahnya sektor properti akan membangkitkan paling tidak 170 bisnis ikutan lainnya.

Sungguh mendesak bagi pemerintah untuk terus mendorong investasi berbasis tak hanya padat modal, tetapi juga padat karya. Hal itu akan menyerap banyak tenaga kerja sehingga mengurangi tingkat pengangguran terbuka yang mencapai 5,33 persen per kuartal I-2017, turun dari 5,61 persen per kuartal III-2016. Itu angka yang menggembirakan dibandingkan negara ASEAN: Thailand 1,20 persen, Singapura (2,10), Vietnam (2,09), Malaysia (3,40), dan Filipina 5,60 persen.

Ketiga, predikat layak investasi. Kenaikan peringkat utang jangka panjang Indonesia dari BB+ menjadi BBB- dengan proyeksi stabil oleh Standard & Poor’s (S&P) jadi layak investasi adalah berkah tersendiri. Hal itu melengkapi status yang sama oleh Fitch Ratings dan Moody’s.

Menurut Laporan Bank Dunia yang diumumkan 1 November 2017, peringkat kemudahan berbisnis Indonesia mengalami kenaikan signifikan dari 114 pada 2015 menjadi 109, 91 dan 72, masing-masing pada 2016, 2017, dan 2018 di atas Filipina (113). Ini momen yang tepat untuk mengerek investasi portofolio di pasar keuangan dan investasi langsung (foreign direct investment) di sektor riil. Sebab, Indonesia menetapkan target investasi Rp 840 triliun pada 2018 untuk lebih menyuburkan pertumbuhan ekonomi.

Keempat, kenaikan peringkat perbankan oleh Moody’s. Bisnis perbankan akan lebih gemerincing ketika Moody’s menaikkan prospek (outlook) industri perbankan dari stabil menjadi positif pada Juni 2017. Kenaikan peringkat itu didukung lima faktor, yakni kondisi bisnis yang makin baik, kualitas aset permodalan, dukungan pemerintah, likuiditas yang stabil, dan kemampuan mencetak laba yang lebih baik.

Bisnis perbankan pun akan lebih membara tatkala target pertumbuhan ekonomi lebih optimistis, katakanlah 5,5 persen. Namun, bank tetap wajib menekan kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) meski telah turun dari 3,22 persen per Agustus 2016 menjadi 3,05 persen per Agustus 2017. NPL itu masih di bawah ambang batas 5 persen, tetapi hal itu merupakan peringatan keras bagi bank untuk meningkatkan kualitas aset.

Nah, ketika aneka potensi risiko dapat ditaklukkan dan langkah strategis itu dapat terlaksana dengan jitu, maka target ekonomi 5,4 persen bakal terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar