Merindukan
Pemimpin Esensial
Herry Tjahjono ; Terapis Budaya Perusahaan
|
KOMPAS,
25 November
2017
Secara kontekstual ada dua tipe
pemimpin yang menarik untuk dikaji dalam kaitan praksis kepemimpinan
sehari-hari di negeri ini. Pertama, adalah pemimpin esensial dan kedua,
pemimpin sensasional. Kedua tipe
pemimpin ini berhubungan dengan orientasi kehidupan manusia secara umum.
Kehidupan itu secara sederhana
terdiri dua elemen, yakni esensi dan sensasi; isi dan bungkus; inti dan
perifer; sejati dan konsekuensi logis. Kedua elemen itu melahirkan sebuah
prinsip bahwa tugas atau orientasi kehidupan
manusia sesungguhnya bagaimana terus berjuang untuk menjadi esensi,
isi, inti atau sejati; bukan sebaliknya.
Jadi, tujuan hidup manusia
sesungguhnya terus berjuang menjadi ”manusia esensi, manusia isi, manusia
inti, manusia sejati”. Jika hal ini dilakukan, maka sensasi, bungkus,
perifer, atau konsekuensi logis akan
hadir dengan sendirinya dalam hidupnya. Demikian juga halnya dengan
hakikat kepemimpinan.
Lebih mengejar sensasi
Namun, dalam praktik kehidupan
(dan kepemimpinan modern), khususnya di negeri kita, prinsip kehidupan di atas justru telah
diputarbalikkan. Manusia sekarang lebih suka mengejar dulu sensasi, bungkus, perifer atau konsekuensi
logis kehidupan.
Seorang pelajar, misalnya,
seharusnya dia lebih dulu berjuang untuk menjadi ”pelajar esensial, pelajar
berisi, pelajar inti atau pelajar sejati” (bukan hanya cerdas otak, tetapi
juga karakter, kepribadian bahkan spiritual). Sebab, jika ia sudah menjadi
pelajar esensial atau pelajar sejati,
maka konsekuensi logis akan datang sendirinya, seperti nilai dan peringkat yang baik, atau
bahkan juara. Menjadi pelajar esensial
atau sejati otomatis jadi pelajar bermanfaat, pelajar bermakna.
Demikian pula halnya dengan
hakikat kepemimpinan. Seorang pemimpin seyogianya bertugas atau berorientasi
jadi pemimpin esensial (sejati) lebih dulu, bukan yang berorientasi mengejar
konsekuensi logisnya. Panggung kepemimpinan nasional kita sangat jauh dari
prinsip menjadi ”pemimpin esensi(al), pemimpin inti atau pemimpin sejati.”
Kebanyakan pemimpin itu
cenderung atau bahkan membabi-buta lebih dulu mengejar sensasi, bungkus,
perifer atau konsekuensi logisnya: kekuasaan! Pemimpin tipe ini disebut
pemimpin sensasional. Berbagai sensasi kepemimpinan dibuatnya tanpa menoleh
pada esensi kepemimpinannya. Sensasi kepemimpinan itu tak bersentuhan
langsung dengan kepentingan rakyat atau pengikutnya.
Padahal, jika becermin pada
Viktor Frankl, bahwasannya kekuasaan itu hanyalah konsekuensi logis dari upaya seseorang
untuk menjadi ”pemimpin esensial”. Kekuasaan bukan tujuan, melainkan sarana
untuk menjadi pemimpin esensial. Jika seseorang sudah mampu jadi pemimpin
esensial (yang bernuansakan nilai-nilai dan kepentingan kemanusiaan, bangsa,
umat manusia, rakyat), maka kekuasaan beserta segenap kenikmatan hidup akan datang dengan sendirinya.
Namun, yang terjadi adalah
sebongkah nafsu dan pertanyaan: ”Apa kenikmatan kekuasaan yang bisa didapat
bagi diri sendiri dulu?” Karena itu, kita berlimpah dengan pemimpin
sensasional dibandingkan pemimpin esensial alias pemimpin sejati.
Ada beberapa elemen
kepemimpinan yang berbeda antar- kedua tipe pemimpin sehingga memberikan
implikasi kepemimpinan yang berlainan pula. Pertama, pemimpin esensial
biasanya bekerja, berinteraksi, dan memimpin berlandaskan asas
transformasional dengan para pengikut (rakyat). Dengan asas tranformasional,
nyaris sebagian besar aksi kepemimpinannya diarahkan agar rakyat mengalami
transformasi (perubahan) kehidupan yang lebih baik. Dia hampir tak memikirkan
kepentingan dirinya sendiri, berani menghadapi risiko, dan kepemimpinan
baginya adalah amanah—bahkan panggilan hidup.
Sementara pemimpin sensasional
biasanya bekerja, berinteraksi, dan memimpin berlandaskan asas transaksional.
Asas transaksional itu lebih dulu ditujukan untuk berbagai ”transaksi” yang
menguntungkan dirinya, bukan rakyat. Jika itu terpenuhi, baru keuntungan
rakyat dipikirkan. Dia cenderung mendahulukan dan menempatkan kepentingan
diri di atas rakyatnya, menghindari risiko dengan cara melemparkan berbagai
tanggung jawab ke pihak lain (termasuk pada pemimpin terdahulu), dan
kepemimpinan baginya adalah fasilitas—bukan panggilan hidup atau amanah.
Dia cenderung berorientasi pada
konsekuensi logis kepemimpinan, yaitu kekuasaan beserta segenap kemudahan dan
kenikmatannya. Celakanya, pentas kepemimpinan nasional di negeri ini lebih
banyak dimainkan para pemimpin sensasional—di segenap dimensi: eksekutif,
legislatif, yudikatif,—yang oportunis, menempatkan syahwatnya di atas
kepentingan rakyat.
Jadi, jangan heran jika para
pemimpin koruptor bergentayangan di segenap dimensi, termasuk salah satunya
kasus ketua lembaga legislatif yang menggegerkan. Agak jauh sebelumnya adalah
ketua salah satu lembaga yudikatif. Banyak sekali jika mau dirinci. Mereka
adalah para pemimpin sensasional yang lebih dulu mengejar konsekuensi logis:
kekuasaan!
Perbedaan elemen kepemimpinan di atas memberikan
implikasi kepemimpinan yang berbeda pula. Melalui hubungan
transformasionalnya, pemimpin esensial akan mendapatkan kesetiaan (loyalty)
daripada pengikut atau rakyat yang ia pimpin. Kesetiaan akan melahirkan rasa
segan kepada sang pemimpin. Sementara pemimpin sensasional dengan hubungan
transaksionalnya akan menerima kepatuhan (obedience) dari pengikut atau
rakyatnya. Dan, kepatuhan itu lebih dilandasi oleh rasa takut.
Sebuah ilustrasi
Ada ilustrasi praktikal yang
menarik terkait uraian tentang elemen kepemimpinan di atas. Pemimpin esensial
yang memiliki kesetiaan dan rasa segan dari rakyat atau pengikutnya relatif
tak memerlukan kehadiran fisikal dari sang pemimpin. Artinya, meski sang
pemimpin tak hadir secara fisik, pengikut akan tetap menjalankan semua instruksi
atau kebijakan kepemimpinan sang pemimpin. Bahkan pada titik ekstrem, ketika
sang pemimpin telah berlalu (meninggal sekalipun), kepemimpinannya tetap
hadir, dikenang, dan dijalankan oleh para pengikutnya.
Kepemimpinan seorang pemimpin
esensial akan berlangsung lebih panjang dibandingkan umur sang pemimpin
sendiri. Beberapa contoh berikut adalah sebagian kecil tipe pemimpin
esensial: Nelson Mandela, Soekarno atau dalam skala lebih terbatas: Basuki
Tjahaja Purnama, mantan gubernur DKI Jakarta.
Sementara pemimpin sensasional
yang mengandalkan kepatuhan serta rasa takut, relatif butuh kehadiran fisikal
sang pemimpin. Sebab, ketika sang pemimpin tak hadir secara fisik, pengikut
akan cenderung tak menjalankan instruksi atau kebijakan sang pemimpin. Tanpa sosok
sang pemimpin, para pengikut tak takut lagi. Istilahnya: kucing tak ada,
tikus berlarian berpesta pora. Ketika pemimpin berbalik, pengikut mencibirkan
bibirnya di belakang punggungnya.
Kepemimpinan nasional kita
lebih banyak dihuni para pemimpin sensasional. Ini cukup menyulitkan Presiden
Joko Widodo yang bertipe pemimpin esensial. Namun, berbagai peneladanan
kepemimpinan esensial yang dipertontonkannya selama ini cukup memberikan
harapan. Dan, itu ibarat seteguk air di tengah hamparan padang gurun kepemimpinan
sensasional di negeri yang kita cintai ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar