Sabtu, 25 November 2017

SNI ISO 37001 dan Pemidanaan Korporasi

SNI ISO 37001 dan Pemidanaan Korporasi
Dedi Haryadi ;  Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
                                                    KOMPAS, 23 November 2017



                                                           
Pada akhir 2016 terbit dua beleid terpisah, tetapi seperti satu paket, yang menandai perubahan strategi pemberantasan korupsi di Tanah Air. Jika semula berat ke sisi permintaan, kini mulai bergeser ke sisi penawaran. Yang tadinya berkutat di sekitar bagaimana mengontrol perilaku  koruptif aparat pemerintahan, sekarang bagaimana mengontrol perilaku korporasi supaya tidak koruptif.

Kedua beleid itu adalah Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, khususnya yang menyangkut sertifikasi manajemen antisuap  (SNI ISO 37001), dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 13/2016 tentang Pedoman Pemidanaan Korporasi.

Dengan perma ini, sekarang korporasi bisa dipidanakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menggunakan Perma No 13/2016 ini untuk menuduh PT Duta Graha Indah/PT Nusa Konstruksi Enjiniring melakukan tindak pidana korupsi.

Implikasi perubahan strategi

Perubahan ini relevan dan kontekstual  dengan persoalan yang kita hadapi saat ini. Sebagian besar kasus korupsi yang ditangani KPK melibatkan perusahaan swasta dengan modus penyuapan. Apa implikasi perubahan strategi itu bagi gerakan antikorupsi?

Pertama, ranah advokasi anti- korupsi tekanannya bergeser dari tata kelola pemerintahan yang baik ke tata kelola korporasi yang baik. Dengan sendirinya nanti  keterlibatan aktivis dan lembaga antikorupsi dalam melakukan advokasi antikorupsi akan bergeser dari institusi pemerintahan ke institusi bisnis. Entah itu BUMN, swasta murni, koperasi atau perusahaan multinasional. Implikasi lanjutannya adalah bahwa aktivis dan lembaga antikorupsi harus lebih memiliki pengetahuan (knowledgeable) tentang bisnis, relasi bisnis dan penguasa, serta tata kelola korporasi yang baik.

Kedua, basis gerakan anti- korupsi akan makin luas dan dalam. Kalau selama ini warga aktif, aktivis mahasiswa, aktivis lembaga swadaya masyarakat, jurnalis, budayawan, dan dosen jadi basis gerakan antikorupsi di sektor publik, ke depan konsumen, pekerja/karyawan, serikat pekerja, asosiasi profesi, dan asosiasi bisnis akan jadi bagian penting dari gerakan antikorupsi di sektor bisnis. Karyawan, serikat pekerja, dan kalangan profesional kini menjadi pihak yang sangat berkepentingan supaya institusi bisnisnya tak terlibat dalam praktik korupsi. Sebab, kalau tempat kerja atau usahanya dipidanakan mereka yang akan rugi.

Menguat dan meluasnya basis pendukung gerakan antikorupsi akan mempercepat regenerasi dan reproduksi aktivis anti- korupsi. Nanti ungkapan tujuh L (lu lagi lu lagi and then lu lagi) tampaknya akan segera usang.

Ketiga, literasi dan integrasi isu dan gerakan antikorupsi ke dalam konsep dan praktik tata kelola korporasi yang baik. Pengusaha, manajer, karyawan, dan serikat pekerja sudah cukup familier dan hafal dengan konsep tata kelola korporasi yang baik. Namun, mereka tidak cukup kenal dengan isu dan gerakan anti- korupsi. Oleh karena itu, perlu ada upaya literasi dan pengintegrasian isu dan gerakan anti- korupsi ke dalam konsep dan praktik tata kelola korporasi yang baik. Upaya ini bisa menjadi peluang bisnis  tersendiri yang cukup menjanjikan.

Kombinasi strategi

Mengombinasikan upaya pemberantasan korupsi dari sisi permintaan dan penawaran secara bersamaan memungkinkan strategi antikorupsi kita makin lengkap, kuat, dan (semoga) makin efektif. Dalam 2-3 tahun ke depan hasilnya akan kelihatan.

Tata kelola pemerintahan dan tata kelola korporasi akan lebih baik dan bersih. Prevalensi korupsi akan menurun seperti yang nanti ditunjukkan oleh membaiknya Indeks Persepsi Korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar