SNI
ISO 37001 dan Pemidanaan Korporasi
Dedi Haryadi ; Deputi Sekjen Transparansi Internasional
Indonesia
|
KOMPAS,
23 November
2017
Pada akhir 2016 terbit dua
beleid terpisah, tetapi seperti satu paket, yang menandai perubahan strategi
pemberantasan korupsi di Tanah Air. Jika semula berat ke sisi permintaan,
kini mulai bergeser ke sisi penawaran. Yang tadinya berkutat di sekitar
bagaimana mengontrol perilaku koruptif
aparat pemerintahan, sekarang bagaimana mengontrol perilaku korporasi supaya
tidak koruptif.
Kedua beleid itu adalah
Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi, khususnya yang menyangkut sertifikasi manajemen
antisuap (SNI ISO 37001), dan
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 13/2016 tentang Pedoman Pemidanaan
Korporasi.
Dengan perma ini, sekarang
korporasi bisa dipidanakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah
menggunakan Perma No 13/2016 ini untuk menuduh PT Duta Graha Indah/PT Nusa
Konstruksi Enjiniring melakukan tindak pidana korupsi.
Implikasi perubahan strategi
Perubahan ini relevan dan
kontekstual dengan persoalan yang kita
hadapi saat ini. Sebagian besar kasus korupsi yang ditangani KPK melibatkan
perusahaan swasta dengan modus penyuapan. Apa implikasi perubahan strategi
itu bagi gerakan antikorupsi?
Pertama, ranah advokasi anti-
korupsi tekanannya bergeser dari tata kelola pemerintahan yang baik ke tata
kelola korporasi yang baik. Dengan sendirinya nanti keterlibatan aktivis dan lembaga
antikorupsi dalam melakukan advokasi antikorupsi akan bergeser dari institusi
pemerintahan ke institusi bisnis. Entah itu BUMN, swasta murni, koperasi atau
perusahaan multinasional. Implikasi lanjutannya adalah bahwa aktivis dan lembaga
antikorupsi harus lebih memiliki pengetahuan (knowledgeable) tentang bisnis,
relasi bisnis dan penguasa, serta tata kelola korporasi yang baik.
Kedua, basis gerakan anti-
korupsi akan makin luas dan dalam. Kalau selama ini warga aktif, aktivis mahasiswa,
aktivis lembaga swadaya masyarakat, jurnalis, budayawan, dan dosen jadi basis
gerakan antikorupsi di sektor publik, ke depan konsumen, pekerja/karyawan,
serikat pekerja, asosiasi profesi, dan asosiasi bisnis akan jadi bagian
penting dari gerakan antikorupsi di sektor bisnis. Karyawan, serikat pekerja,
dan kalangan profesional kini menjadi pihak yang sangat berkepentingan supaya
institusi bisnisnya tak terlibat dalam praktik korupsi. Sebab, kalau tempat
kerja atau usahanya dipidanakan mereka yang akan rugi.
Menguat dan meluasnya basis
pendukung gerakan antikorupsi akan mempercepat regenerasi dan reproduksi
aktivis anti- korupsi. Nanti ungkapan tujuh L (lu lagi lu lagi and then lu
lagi) tampaknya akan segera usang.
Ketiga, literasi dan integrasi
isu dan gerakan antikorupsi ke dalam konsep dan praktik tata kelola korporasi
yang baik. Pengusaha, manajer, karyawan, dan serikat pekerja sudah cukup
familier dan hafal dengan konsep tata kelola korporasi yang baik. Namun,
mereka tidak cukup kenal dengan isu dan gerakan anti- korupsi. Oleh karena
itu, perlu ada upaya literasi dan pengintegrasian isu dan gerakan anti-
korupsi ke dalam konsep dan praktik tata kelola korporasi yang baik. Upaya
ini bisa menjadi peluang bisnis
tersendiri yang cukup menjanjikan.
Kombinasi strategi
Mengombinasikan upaya
pemberantasan korupsi dari sisi permintaan dan penawaran secara bersamaan
memungkinkan strategi antikorupsi kita makin lengkap, kuat, dan (semoga)
makin efektif. Dalam 2-3 tahun ke depan hasilnya akan kelihatan.
Tata kelola pemerintahan dan
tata kelola korporasi akan lebih baik dan bersih. Prevalensi korupsi akan
menurun seperti yang nanti ditunjukkan oleh membaiknya Indeks Persepsi
Korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar