Apa
Kabar Revolusi Mental Jokowi
Abdillah Toha ; Pemerhati Politik
|
KOMPAS,
28 November
2017
Gegap gempita pemberitaan tentang Setya
Novanto seharusnya membangunkan bangsa ini dari tidurnya yang lelap. Ketika
kita ramai-ramai menghujat Setya Novanto (SN), sebenarnya kita sedang
mengecam sistem sosial politik (sospol) kita yang jauh dari harapan rakyat.
SN adalah bagian tak terpisahkan dari sistem sospol itu. SN berkali-kali
berhasil lolos dari jeratan hukum dengan memanfaatkan sistem yang ada.
Kekayaan yang berlimpah sanggup membuatnya bisa membiayai partai atau siapa
saja untuk berada di pihaknya.
Ketika politisi dan pejabat pemerintah
melihat kedudukan dan kekuasaan bukan sebagai alat untuk mengabdi kepada
rakyat tetapi untuk diri sendiri atau kelompoknya, maka setiap peristiwa
punya harga dalam rupiah atau dollar. Ketika parpol menggantungkan pembiayaan
partai dari sumber dana satu dua orang, maka partai bukan milik anggotanya, melainkan
sekadar instrumen bagi kepentingan pendana.
Ketika untuk menjadi anggota DPR harus
mengeluarkan tak sedikit biaya kampanye, maka DPR adalah tempat kerja untuk
mengembalikan modal politisi dengan laba cukup. Ketika penegak hukum hakim,
jaksa, polisi, dan pengacara melihat kasus hukum sebagai barang dagangan,
maka terjadilah transaksi di bawah meja untuk berbagi keuntungan. Pengacara
bukan lagi pendamping dalam mencari celah hukum yang dapat meringankan
kliennya, melainkan sebagai makelar dan negosiator bisnis kasus. Jaksa telah
menjadi penjual pasal dan hakim penentu harga.
Ketika auditor negara bukan bertugas
menyampaikan temuan yang benar dan mewujudkan sistem kendali keuangan yang
efektif, tetapi sebagai alat untuk menawarkan laporan WTP (wajar tanpa
pengecualian), maka auditor telah jadi perusak sistem akuntabilitas pejabat.
Ketika mereka yang memanggul senjata tak boleh disentuh oleh hukum, maka
mereka telah menggagalkan sistem supremasi sipil.
Ketika otonomi daerah telah menciptakan
raja-raja kecil yang memindahkan kongkalikong dan KKN dari pusat ke daerah,
maka keadilan regional telah berubah menjadi pengisapan warga daerah. Ketika
ulama telah menjual diri kepada politisi yang haus kekuasaan dengan
mengkhotbahkan kebencian, maka agama telah menjadi sumber perpecahan dan
kemunduran peradaban.
Kinerja
revolusi mental
Bisa saja kita mengatakan bahwa apa yang
diuraikan di atas terlalu berlebihan. Keadaan kita tak seburuk itu. Proses
demokrasi memang tak mudah dan penuh tantangan sehingga kita harus sabar.
Namun, betapapun kita berupaya untuk membesarkan hati, hampir 20 tahun
setelah reformasi 1998 kita belum mencapai kemajuan yang berarti dalam tata
cara berpolitik yang sehat dan penyelenggaraan negara yang bersih dan efektif.
Gerakan reformasi 1998 yang dimotori
mahasiswa dan menjatuhkan rezim otoriter Soeharto yang berkuasa 32 tahun
mengagendakan enam tujuan utama. Adili Soeharto dan kroni-kroninya,
laksanakan amandemen UUD 1945, hapuskan Dwifungsi ABRI, pelaksanaan otonomi
daerah seluas-luasnya, tegakkan supremasi hukum, dan ciptakan pemerintahan
bersih dari KKN.
Sebagian dari agenda itu gagal total
seperti dalam upaya mengadili Soeharto. Sisanya, tak sepenuhnya tercapai
sesuai kehendak, semangat, dan cita-cita murni para mahasiswa dan pemuda saat
itu. Kita kemudian bertanya apakah bila demikian bangsa ini perlu reformasi
jilid dua?
Ketika Jokowi terpilih sebagai presiden
ketujuh RI, banyak dari kita yang berbesar hati dan penuh harapan karena
presiden terpilih tidak hanya akan membangun ekonomi yang berkeadilan, tetapi
juga mencanangkan agenda penting revolusi mental untuk mewujudkan budaya baru
bangsa yang berkeadaban.
Rencana yang sudah diatur dalam instruksi
presiden tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental berisi lima
program yang harus digalakkan: Program Gerakan Indonesia Melayani, Program
Gerakan Indonesia Bersih, Program Gerakan Indonesia Tertib, Program Gerakan
Indonesia Mandiri, dan Program Gerakan Indonesia Bersatu (Kompas, 11/1).
Masing-masing ditugaskan kepada menteri dan menko yang berbeda untuk
dikoordinasikan dan dilaksanakan.
Pencanangan revolusi mental ini adalah
bagian dari janji kampanye Jokowi-JK untuk mengubah dan memperbaiki karakter
bangsa. Meski tampaknya sasaran utamanya mewujudkan SDM andal sejak dini dalam
rangka memperkuat daya saing bangsa, tetapi tujuan lainnya menyangkut perihal
mengikis habis budaya malas birokrat, budaya priayi yang bukan melayani tapi
minta dilayani, budaya korupsi, budaya menyerobot lalu lintas, budaya malas
antre, dan sejenisnya.
Budaya baru yang muncul relatif belakangan
dan lebih berbahaya di era internet dan medsos adalah budaya bohong dan
fitnah dengan menutup identitas asli pelaku. Semua yang memprihatinkan ini
refleksi perangai negatif dan kebobrokan elite politik dan hukum.
Karena itu, jika Presiden Jokowi serius
merealisasikan niatnya dalam revolusi mental, harus dimulai dari atas, bukan
dari bawah. Pertama yang harus dilakukan adalah upaya serius penegakan hukum,
dimulai dengan pembersihan di tubuh
institusi penegak hukum itu sendiri. Tak ada gunanya berbicara etika dan
sejenisnya apabila hukum saja dilanggar dan diperjualbelikan.
Kedua, harus ada contoh nyata keberanian
memberhentikan pejabat yang tak berprestasi dan tak bersih, dan menggantinya
dengan pejabat baru atas dasar meritokrasi. Kita tak tahu mengapa Presiden
tak lagi meminta masukan KPK tentang catatan integritas calon pejabat seperti
pernah dilakukan pada awal pemerintahan.
Ketiga, jangan memberi kesan ragu mendukung
upaya penegakan hukum yang benar karena khawatir dituduh campur tangan dalam
institusi hukum. Kesan pembiaran terhadap perseteruan DPR-KPK serta
gesekan-gesekan yang tidak jarang terjadi antara Kejaksaan, Polri, dan KPK
tidak menguntungkan Presiden dan upaya revolusi mentalnya.
Pertimbangan politik jangka pendek harus
dikalahkan oleh pertimbangan keadilan dan pembentukan karakter beradab bangsa
jangka panjang. Jokowi telah membuktikan kerja kerasnya dengan hasil cukup
menggembirakan di bidang pembangunan fisik, tetapi belum mengomunikasikan proses
dan hasil kerja yang sudah dicapai dalam revolusi mental. Keberhasilan Jokowi
membangun karakter bangsa adalah keberhasilan kita semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar