Jakarta,
Neraka bagi Pejalan Kaki
Firdaus Cahyadi ; Executive Director OneWorld-Indonesia
|
KOMPAS,
24 November
2017
Beberapa waktu yang lalu,
sejumlah ilmuwan Amerika Serikat mengungkapkan hasil penelitiannya terkait
pejalan kaki di berbagai belahan dunia. Hasilnya menunjukkan bahwa orang
Indonesia adalah penduduk paling malas berjalan kaki di dunia.
Mungkin tidak perlu melakukan
riset secara serius untuk membuktikannya. Cukup kita melihat nasib pejalan
kaki di Jakarta.
Banyak orang bilang bahwa
Jakarta adalah etalase Indonesia. Bagaimana nasib pejalan kaki di etalase
Indonesia?
Jakarta adalah salah satu kota
yang tidak ramah pejalan kaki. Kondisi trotoar yang rusak tidak sulit
ditemukan di Ibu Kota. Trotoar yang digunakan untuk parkir mobil dan sepeda
motor tak jarang kita temui di banyak tempat. Bahkan trotoar juga digunakan
untuk jalan sepeda motor jika lalu lintas sedang macet.
Memuliakan pejalan kaki
Pada tahun ini, Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta mencatat ada 1.060 kasus pelanggaran
fungsi trotoar. Data itu diperoleh selama tiga hari pelaksanaan kegiatan
Bulan Tertib Trotoar. Jakarta adalah neraka bagi pejalan kaki. Tak
mengherankan jika kemudian orang Jakarta malas berjalan kaki.
Memuliakan pejalan kaki adalah
persoalan keberpihakan. Selama ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih
berpihak terhadap penggunaan kendaraan bermotor pribadi untuk mobilitas
warganya. Indikasinya, sudah banyak jalan raya untuk mobil dan sepeda motor
dibangun. Namun, untuk memperbaiki dan sterilisasi trotoar saja tampaknya
sulit sekali.
Jakarta baru saja memiliki
pemimpin yang baru, menyusul dilantiknya Anies Baswedan dan Sandiaga Uno
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Tak heran kemudian harapan
warga untuk memuliakan pejalan kaki dibebankan kepada pemimpin DKI Jakarta
yang baru. Akankah pemimpin Jakarta yang baru memuliakan pejalan kaki? Atau
mereka akan meneruskan paradigma usang dengan memuliakan pengguna kendaraan
bermotor pribadi?
Baru-baru ini di salah satu
portal berita dituliskan bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memiliki
ide, trotoar di Jalan Sudirman-Thamrin didesain ulang untuk mengakomodasi
pengendara roda dua. Munculnya ide sang gubernur itu hanya berselang beberapa
hari setelah wakilnya, Sandiaga Uno, mengatakan bahwa pejalan kaki menempati
urutan kedua penyebab semrawutnya kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Pernyataan itu muncul hanya setelah melihat gambaran kawasan Tanah Abang yang
diambil menggunakan kamera drone.
Setelah pernyataan itu muncul
di media massa dan mendapat kecaman publik, Gubernur DKI dan wakilnya pun
sibuk melakukan bantahan. Seperti biasa, kesalahan pun ditimpakan kepada para
jurnalis. Bahkan, sebagian para pendukungnya menuduh media massa terlalu
menyudutkan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI itu.
Persoalan hak pejalan kaki pun
menjadi isu politik murahan. Alih-alih mendiskusikan substansi dari persoalan
hak pejalan kaki yang selalu dipinggirkan di Ibu Kota, persoalan pejalan kaki
justru diarahkan ke persoalan politik jangka pendek.
Sebetulnya Gubernur dan Wakil
Gubernur DKI tidak perlu malu untuk meminta maaf jika pernyataannya di media
massa menyudutkan pejalan kaki yang selama ini telah terpinggirkan.
Seandainya pun mereka tidak merasa mengeluarkan pernyataan tersebut, keduanya
cukup membuktikan dengan sebuah kerja nyata bahwa di bawah kepemimpinan
mereka, ke depan, Jakarta tidak akan lagi menjadi neraka bagi pejalan kaki.
Perlu keberpihakan
Pertanyaan berikutnya adalah
bagaimana menjadikan Jakarta sebagai surga bagi pejalan kaki? Pertama,
pengambil kebijakan di DKI Jakarta harus memiliki keberpihakan terhadap
pejalan kaki. Tanpa memiliki keberpihakan, slogan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta yang akan memuliakan pejalan kaki hanya sebatas jargon tanpa ada
kenyataan.
Keberpihakan terhadap pejalan
kaki ditunjukkan dengan melakukan revitalisasi fasilitas bagi mereka. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian ‘revitalisasi’ adalah sebuah proses
menghidupkan atau menggiatkan kembali. Jadi, tidak bisa kemudian atas nama
mengakomodasi kepentingan pengguna kendaraan bermotor pribadi lalu trotoar
yang menjadi hak pejalan kaki justru dipangkas. Trotoar harus diperlebar,
jalan raya bagi pengguna kendaraan bermotor pribadi justru dibatasi.
Tujuannya agar pengguna kendaraan bermotor pribadi memilih untuk berjalan
kaki atau menggunakan transportasi massal.
Kedua, upaya memuliakan pejalan
kaki harus seiring sejalan dengan upaya merevitalisasi transportasi massal
dan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Transportasi massal
dari angkutan perkotaan (angkot) hingga LRT (light rapid transit) dan MRT (mass rapid transit) harus
diintegrasikan jalurnya dan dibuat nyaman dan aman bagi penggunanya.
Itu saja tidak cukup. Upaya
merevitalisasi transportasi massal itu harus diiringi dengan kebijakan
pembatasan ruang gerak pemakaian kendaraan bermotor pribadi, baik sepeda
motor maupun mobil pribadi. Pajak jalan di kawasan tertentu harus sesegera
mungkin diberlakukan. Bahkan, jika perlu untuk kawasan tertentu dibuat zona
bebas polusi udara. Nantinya di kawasan itu hanya boleh diakses oleh pejalan
kaki dan sepeda. Kawasan Tanah Abang memungkinkan untuk dibuat sebagai zona
bebas polusi udara.
Ketiga, para pengambil
kebijakan di DKI Jakarta harus memiliki keberanian jika benar-benar ingin
memuliakan pejalan kaki. Kenapa demikian? Hal itu disebabkan upaya memuliakan
pejalan kaki akan berbenturan dengan kepentingan kelas menengah-atas sebagai
pengguna kendaraan bermotor pribadi.
Berdasarkan data realisasi
pencapaian pajak DKI Jakarta, per 21 Desember 2016, penerimaan pajak di DKI
Jakarta terbesar didukung dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang mencapai
Rp 6,94 triliun. Orang akan cenderung tidak membeli kendaraan bermotor jika
ruang geraknya dibatasi di Ibu Kota. Dan, itu artinya Jakarta akan kehilangan
potensi pajak.
Namun, jika pendapatan dari PKB
dibandingkan kerugian akibat polusi udara yang ditimbulkan kendaraan
bermotor, jumlah uang triliunan rupiah itu akan terkoreksi secara signifikan.
Menurut Komite Penghapusan
Bensin Bertimbal (KPBB), berdasarkan riset yang ada pada tahun 2012,
ditemukan sebanyak 57 persen masyarakat terkena sakit akibat polusi udara.
Seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asma, pneunomia, hingga jantung
koroner. Untuk mengobati penyakit akibat pencemaran udara, warga Jakarta
harus membayar biaya kesehatan hingga Rp 38,5 triliun per tahun.
Sekarang keputusan ada di
tangan pemimpin DKI Jakarta. Beranikah pemimpin baru menjadikan Jakarta surga
bagi pejalan kaki? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar