Membaca
Menguatkan Nalar
Anggi Afriansyah ; Peneliti Sosiologi Pendidikan LIPI;
Pernah menjadi guru
PPKn di SMAI Al Izhar Pondok Labu
|
MEDIA
INDONESIA, 24 November 2017
“SAYA tidak pernah yakin, dan tidak pernah terlalu percaya bahwa
tulisan saya dibaca orang. Saya berasal dari sebuah negeri yang resminya
sudah bebas buta huruf, tapi yang bisa dipastikan masyarakatnya sebagian
besar belum membaca secara benar yakni membaca untuk memberi makna dan
meningkatkan nilai kehidupannya.” (Seno Gumira Adjidarma)
Kata-kata tersebut dinyatakan
Seno Gumira Adjidarma (SGA) pada penganugerahan SEA Write Award pada 1997.
Kita bisa saja tidak setuju dengan pernyataan SGA tersebut. Akan tetapi, apa yang
diungkapkannya 20 tahun yang lalu tersebut perlu menjadi bahan renungan
bersama. Di saat informasi hoaks yang mematahkan akal sehat begitu mudah
tersebar di media sosial, kemampuan membaca secara kritis setiap informasi
menjadi bagian penting untuk memfilter berita-berita dusta tersebut.
Sampai saat ini membaca memang
belum menjadi tradisi baik di negeri ini. Proses pendidikan bahkan menjauhkan
anak untuk bersemangat melahap untuk membaca beragam buku. Kultur
pembelajaran di sekolah belum menjadikan pentingnya membaca sebagai medium
utama menguatkan nalar. Pembelajaran yang miskin referensi membuat anak tidak
memiliki cukup perspektif memadai dalam memandang persoalan hidup yang
semakin kompleks.
Buku belum menjadi sahabat
terbaik bagi para peserta didik. Harga buku di pasaran pun masih terhitung
mahal. Tak semua lembaga pendidikan memiliki perpustakaan yang memadai.
Padahal, Cicero, filsuf ternama, pernah berujar, “A room without books is
like a body without a soul.” Keluasan perspektif tidak akan terwujud jika
lembaga pendidikan di negeri ini bahkan tidak memiliki koleksi buku yang
memadai dan tak membuat anak bersinggungan secara akrab dengan beragam
referensi.
Peran orangtua dan guru
Contoh terbaik agar seorang
anak mau dan senang membaca adalah orang-orang dewasa di sekitarnya. Orangtua
dan gurulah yang dapat mengenalkan anak ke dunia literasi sejak dini. P
Swantoro (2002) dalam bukunya, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi
Satu, mengisahkan Soekarno dan Hatta, dua tokoh pembaca buku yang sangat
radikal membaca berbagai jenis buku.
Bung Karno banyak membaca buku
karena ia dapat dengan mudah meminjam koleksi perpustakaan Perhimpunan
Teosofi tempat bapaknya merupakan anggota dari organisasi tersebut. Kondisi
itu membuatnya terpapar banyak bacaan yang belum tentu dibaca anak-anak
sebayanya. Demikian juga dengan Bung Hatta yang mendapat banyak bacaan dari
buku yang dibelikan Ma’ Etek Ayub, pamannya. Secara rutin Bung Hatta membaca
buku-buku nonpelajaran setiap sore dan buku pelajaran selepas malam. Fundamen
awal dari orang dewasa sekitarnyalah yang membuat keduanya meminati buku.
Seorang siswa yang pernah saya
ajar bercerita mengapa ia sangat gemar membaca buku. Kesenangannya membaca
sangat dipengaruhi orangtua dan guru. Sejak berusia satu setengah tahun,
kedua orangtuanya sudah memperkenalkannya pada buku. Tak mengherankan jika
saat ini di tengah kesibukannya berkuliah di salah satu fakultas kedokteran
di negeri ini, ia masih menyempatkan diri untuk membaca. Dalam satu bulan ia
dapat menyelesaikan dua sampai tiga buku di luar buku perkuliahan. Hasrat
membacanya lebih terpenuhi jika libur kuliah, sebab 20 buku dengan beragam
genre dapat dilahapnya habis.
Seorang rekan yang saat ini
sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Inggris bercerita. Setiap minggu
anaknya yang masih bersekolah di SD diminta untuk memilih buku yang paling
disukainya di perpustakaan sekolah untuk dibaca di rumah. Ia diminta gurunya
untuk menyelesaikan buku tersebut dalam satu minggu. Awalnya, sang anak
memang hanya membaca satu buku per minggu sesuai dengan tugas yang diberikan.
Namun, lama-lama karena sudah terbiasa membaca, dalam tempo satu sampai dua
hari satu buku diselesaikannya.
Seorang rekan guru yang
mengajar bahasa Indonesia bercerita bahwa meminta anak membaca buku memang
bukan perkara mudah. Meskipun demikian, ia terus memaksa anak-anak untuk
membaca. Di pelajaran yang diampunya membaca buku sastra adalah kewajiban
yang tak bisa ditawar. Sebab itu, ia menyediakan waktu khusus bagi anak untuk
membaca dan menargetkan agar bacaannya tersebut dapat diselesaikan. Untuk
memastikan apakah penugasan tersebut efektif, ia akan mengecek secara berkala
apa yang sudah dibaca siswanya. \
Ia juga memberikan penugasan
untuk membuat adaptasi drama dan film pendek dari karya sastra Indonesia.
Karena harus membuat skenario, mau tidak mau, akhirnya anak-anak harus
membaca tuntas buku yang akan diadaptasi tersebut. Tugas macam inilah yang
lebih diminati peserta didik.
Guru lainnya menceritakan,
dalam pelajaran bahasa Inggris yang diampunya, ia menggunakan novel berbahasa
Inggris sebagai salah satu media pembelajaran. Dari novel yang dibacanya,
anak-anak diminta untuk membuat daftar kata kerja (verb) maupun kata sifat
(adjective) atau mengalihkan cerita novel menjadi kartun. Pola ini menurutnya
membuat anak akrab dengan buku bahasa Inggris dan bahasa Inggris itu sendiri.
Adanya tugas tersebut membuat anak serius membaca.
Membaca buku memang memerlukan
motivasi yang tinggi sehingga dibutuhkan guru dan orang dewasa perlu mencari
alasan agar anak mau membaca. Kelly Gallagher (2003) dalam buku Reading
Reasons: Motivational Mini Lessons for Middle and High School menyebutkan
beberapa alasan mengapa seseorang harus membaca. Ia menyebut bahwa membaca
itu bermanfaat, memperkaya kosakata, menjadikan diri sebagai penulis yang
lebih baik, membuat lebih cerdas, membantu menghadapi dunia kerja,
menguntungkan secara finansial, memudahkan masuk perguruan tinggi, dan
melawan penindasan orang lain.
Yang juga tak bisa dilupakan
ialah pemenuhan kelengkapan beragam buku untuk memuaskan dahaga anak-anak
terhadap buku yang berkualitas. Tanpa itu minat baca anak tidak akan
terpenuhi. Buku hanya akan akrab dengan kalangan yang mampu secara finansial.
Para orangtua dan guru memang
harus mencari alasan-alasan terbaik untuk menguatkan minat baca anak. Varian
strategi mesti dilakukan agar anak bersemangat menjadikan buku sebagai
sahabat terbaik. Upaya terbaik harus dilakukan agar membaca menjadi laku
untuk menguatkan nalar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar