“Lucy
in the Sky”
Bre Redana ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
26 November
2017
Beberapa waktu lalu saya diminta berbicara
mengenai kritik film di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
Kritik film dijanjikan akan menjadi agenda kerja departemen ini. Pemerintah
selalu punya tujuan besar dan mulia: kritik film untuk mengembangkan film
Indonesia.
Saya katakan kepada mereka kritik film
tidak perlu dicita-citakan untuk mengembangkan film Indonesia atau film
negara mana saja. Kritik ya kritik; film ya film. Departemennya beda, kata
saya.
Remy Sylado menambahi, banyak salah kaprah.
Tulisan seseorang yang membahas akting pemain, kerja kamera, editing gambar,
dan lain-lain bukan dengan sendirinya kritik film. Itu resensi film. Ia
membenarkan pendapat saya bahwa kritik film merupakan entitas tersendiri,
berkemungkinan memiliki perkembangan sendiri.
Merasa dapat dukungan, apalagi yang
mendukung penulis Orexas, saya tambah bersemangat. Kritik film sebagai produk
critical writing harus mampu
memberikan inspirasi tersendiri, sebagaimana film itu sendiri ataupun
karya-karya estetik yang lain. Saya tak perlu berkutat dengan urusan teknis
film, untuk misalnya melihat suatu gejala yang bagi saya mengganggu. Dalam
film Indonesia berbau mistik tokoh antagonis selalu digambarkan berpakaian
hitam-hitam ala dukun Jawa. Protagonis atau pemenangnya bersorban putih dari
ranah kebudayaan entah mana.
“Busyet, dulu mbah saya dukun, kerjanya menolong
orang,” kata saya untuk mencairkan suasana.
Semua yang ada dalam ruangan tertawa.
BANYAK orang mengira, tulisan, teks, harus
berhubungan dengan sesuatu. Saya sering didatangi orang yang mengaku memiliki
pengalaman hidup menarik dan pasti menarik pula kalau pengalaman hidupnya
ditulis. Beberapa di antaranya ingin belajar menulis. Bagaimana caranya,
tanya mereka.
Caranya memulai menulis, jawab saya. Mau
pengalaman hidup dirasa menarik atau tidak, itu soal lain. Departemennya
beda, begitu lagi-lagi istilahnya.
Menulis adalah disiplin hidup, berhubungan
dengan tradisi literer. Melalui proses evolusi yang panjang selama ratusan
ribu tahun, melalui menulis-yang sebelumnya diawali dengan membikin tanda dan
simbol di dinding-dinding goa-manusia mengembangkan memorinya.
Proses evolusi memori membawa manusia pada
apa yang diistilahkan sebagai kesadaran. Begitu sampai titik itu, langsung
dengan evolusi ini manusia meninggalkan spesies-spesies lain. Monyet tetap
begitu-begitu saja, manusia membangun peradaban, membangun kebudayaan. Kita
bukan kecebong.
Tradisi literer berhubungan dengan
pengondisian otak melalui kegiatan baca tulis. Tak heran seorang doktor di
bidang ilmu sastra berucap, semakin banyak membaca buku sastra, orang akan
semakin pintar, semakin kreatif, semakin sensitif, bahkan juga semakin
toleran.
Mereka yang dari kuil Shaolin berkeyakinan
lain lagi. Bukan hanya otak yang perlu dikondisikan, melainkan juga tubuh
atau raga. Pengertiannya kurang lebih sama dengan keyakinan di Jawa, yang
memiliki istilah “olah kanuragan”. Tubuh juga memiliki kesadaran: kesadaran
tubuh. Descartes keliru kalau menganggap kesadaran hanya ada pada pikiran,
seperti maksimnya yang terkenal “aku berpikir maka aku ada.” Tubuh sejatinya
juga sebuah state of mind. Banyak film yang berhubungan dengan tradisi
Shaolin menggambarkan, biasanya ahli pedang juga ahli kaligrafi. Ilmu silat
dianggap tak beda dengan ilmu surat, ilmu menulis kaligrafi.
Karena kebiasaan dan kebisaan cuma menulis,
saya ditanya istri apakah bekerja di surat kabar selama sekitar 35 tahun
sampai menjelang pensiun sekarang tidak ada yang bisa ditulis. Menulis apa,
tanya saya. Apa saja, jawabnya.
Seketika saya ingat penulis Salman Rushdie
ketika anaknya berkata: aku tidak pernah paham buku-bukumu. Bikinlah cerita
untukku. Rushdie kemudian menulis buku untuk anaknya, dengan judul yang
muncul seketika: Haroen and the Sea of
Stories.
Saya pun kemudian menulis buku untuknya,
dengan judul yang muncul seketika: Koran
Kami with Lucy in the Sky. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar