Senin, 27 November 2017

“Lucy in the Sky”

“Lucy in the Sky”
Bre Redana ;  Wartawan Senior Kompas
                                                    KOMPAS, 26 November 2017



                                                           
Beberapa waktu lalu saya diminta berbicara mengenai kritik film di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Kritik film dijanjikan akan menjadi agenda kerja departemen ini. Pemerintah selalu punya tujuan besar dan mulia: kritik film untuk mengembangkan film Indonesia.

Saya katakan kepada mereka kritik film tidak perlu dicita-citakan untuk mengembangkan film Indonesia atau film negara mana saja. Kritik ya kritik; film ya film. Departemennya beda, kata saya.

Remy Sylado menambahi, banyak salah kaprah. Tulisan seseorang yang membahas akting pemain, kerja kamera, editing gambar, dan lain-lain bukan dengan sendirinya kritik film. Itu resensi film. Ia membenarkan pendapat saya bahwa kritik film merupakan entitas tersendiri, berkemungkinan memiliki perkembangan sendiri.

Merasa dapat dukungan, apalagi yang mendukung penulis Orexas, saya tambah bersemangat. Kritik film sebagai produk critical writing harus mampu memberikan inspirasi tersendiri, sebagaimana film itu sendiri ataupun karya-karya estetik yang lain. Saya tak perlu berkutat dengan urusan teknis film, untuk misalnya melihat suatu gejala yang bagi saya mengganggu. Dalam film Indonesia berbau mistik tokoh antagonis selalu digambarkan berpakaian hitam-hitam ala dukun Jawa. Protagonis atau pemenangnya bersorban putih dari ranah kebudayaan entah mana.

“Busyet, dulu mbah saya dukun, kerjanya menolong orang,” kata saya untuk mencairkan suasana.

Semua yang ada dalam ruangan tertawa.

BANYAK orang mengira, tulisan, teks, harus berhubungan dengan sesuatu. Saya sering didatangi orang yang mengaku memiliki pengalaman hidup menarik dan pasti menarik pula kalau pengalaman hidupnya ditulis. Beberapa di antaranya ingin belajar menulis. Bagaimana caranya, tanya mereka.

Caranya memulai menulis, jawab saya. Mau pengalaman hidup dirasa menarik atau tidak, itu soal lain. Departemennya beda, begitu lagi-lagi istilahnya.

Menulis adalah disiplin hidup, berhubungan dengan tradisi literer. Melalui proses evolusi yang panjang selama ratusan ribu tahun, melalui menulis-yang sebelumnya diawali dengan membikin tanda dan simbol di dinding-dinding goa-manusia mengembangkan memorinya.

Proses evolusi memori membawa manusia pada apa yang diistilahkan sebagai kesadaran. Begitu sampai titik itu, langsung dengan evolusi ini manusia meninggalkan spesies-spesies lain. Monyet tetap begitu-begitu saja, manusia membangun peradaban, membangun kebudayaan. Kita bukan kecebong.

Tradisi literer berhubungan dengan pengondisian otak melalui kegiatan baca tulis. Tak heran seorang doktor di bidang ilmu sastra berucap, semakin banyak membaca buku sastra, orang akan semakin pintar, semakin kreatif, semakin sensitif, bahkan juga semakin toleran.

Mereka yang dari kuil Shaolin berkeyakinan lain lagi. Bukan hanya otak yang perlu dikondisikan, melainkan juga tubuh atau raga. Pengertiannya kurang lebih sama dengan keyakinan di Jawa, yang memiliki istilah “olah kanuragan”. Tubuh juga memiliki kesadaran: kesadaran tubuh. Descartes keliru kalau menganggap kesadaran hanya ada pada pikiran, seperti maksimnya yang terkenal “aku berpikir maka aku ada.” Tubuh sejatinya juga sebuah state of mind. Banyak film yang berhubungan dengan tradisi Shaolin menggambarkan, biasanya ahli pedang juga ahli kaligrafi. Ilmu silat dianggap tak beda dengan ilmu surat, ilmu menulis kaligrafi.

Karena kebiasaan dan kebisaan cuma menulis, saya ditanya istri apakah bekerja di surat kabar selama sekitar 35 tahun sampai menjelang pensiun sekarang tidak ada yang bisa ditulis. Menulis apa, tanya saya. Apa saja, jawabnya.

Seketika saya ingat penulis Salman Rushdie ketika anaknya berkata: aku tidak pernah paham buku-bukumu. Bikinlah cerita untukku. Rushdie kemudian menulis buku untuk anaknya, dengan judul yang muncul seketika: Haroen and the Sea of Stories.

Saya pun kemudian menulis buku untuknya, dengan judul yang muncul seketika: Koran Kami with Lucy in the Sky. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar