Kamis, 30 November 2017

Demokrasi Kita

Demokrasi Kita
Suwidi Tono ;  Koordinator Forum “Menjadi Indonesia” dan
Presidium Gerakan Anti-Korupsi (GAK) Lintas Perguruan Tinggi
                                                    KOMPAS, 29 November 2017



                                                           
Demokrasi adalah terlaksananya dasar-dasar perikemanusiaan dan keadilan sosial. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlangsung demokrasi ekonomi dan sosial.

“Bung Hatta: Lampau dan Datang”, 1956

Demokrasi kita sampai hari ini sebatas elektoral dan prosedural, telengas dari hakikat substansial. Partai-partai politik belum berperan sebagai aset penting dan berharga, sering kali justru menjadi penghambat atau liabilitas bagi gerakan memajukan bangsa.

Kelemahan di tubuh parpol sekurang-kurangnya tampak dari tiga indikator. Pertama, sedikit sekali kader parpol yang menjadi pemimpin atau anggota legislatif mencatat prestasi mengesankan dan beroleh pengakuan rakyat. Sebaliknya, malah banyak yang tersandung kasus korupsi dan aneka tindak pidana lainnya.

Seturut ini, dalam banyak pilkada, parpol justru mengusung calon dari luar partai baik sendiri maupun berkoalisi. Realitas ini bertolak belakang dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menegaskan kewenangan untuk memilih dan menentukan calon legislator merupakan hak prerogatif parpol. Pelibatan masyarakat dalam seleksi tak diatur UU ini. Padahal, perekrutan anggota legislatif juga merupakan sumber kaderisasi parpol bagi pengadaan stok calon pemimpin.

Bikameral penuh

Dominasi ketentuan internal parpol dan ketiadaan penilaian (assessment) secara terbuka bagi para calon kepala daerah mengingkari prinsip meritokrasi-demokrasi berkualitas dan meminggirkan hak-hak rakyat untuk terlibat menyeleksi calon pemimpinnya. Padahal, untuk pejabat tingkat eselon, dilakukan melalui mekanisme seleksi ketat, transparan, dan akuntabel. Suburnya politik kekerabatan, transaksional, dan politik uang merupakan konsekuensi logis dari cacat nilai yang melekat dalam sistem politik.

Dalam hubungan ini, alokasi anggaran untuk keperluan pilkada serentak 2018 dan persiapan Pemilu 2019 patut dipertanyakan. Anggaran belanja Komisi Pemilihan Umum (KPU) melonjak dari Rp 1,85 triliun tahun 2017 menjadi Rp 12,51 triliun tahun 2018. Sementara anggaran Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga meningkat pesat dari Rp 485 miliar tahun 2017 menjadi Rp 5,57 triliun tahun 2018. Kenaikan anggaran luar biasa ini tidak menjamin perbaikan kualitas demokrasi-terutama hak rakyat sebagai pembayar pajak-untuk mendapatkan pemimpin kredibel dan berintegritas. 

Kedua, dalam melaksanakan fungsi legislasi, kader parpol yang duduk di DPR juga minim prestasi. DPR menetapkan 46 rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam Program Legislasi Nasional 2017, tetapi hanya empat RUU yang berhasil disahkan menjadi UU. Kendati pengesahan UU bertalian dengan afirmasi pemerintah, tetapi fakta rendahnya proses legislasi bukan hanya terjadi sekarang melainkan telah berlangsung sejak lama.

Kualitas produk UU juga memprihatinkan dan dipersoalkan publik sebagaimana tercatat dari data pengajuan uji materi (judicial review). Selama setahun (18 Agustus 2016 sampai 14 Agustus 2017), Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan 121 putusan yang menguji 258 pasal dalam 62 UU: 26 dikabulkan, 38 ditolak, 41 tidak dapat diterima, 5 gugur, dan 11 ditarik kembali (Setara Institute, 2017). Dari jumlah putusan MK yang paling banyak dipersoalkan adalah kepastian hukum (93 putusan), kepastian hukum dan keadilan (18 putusan). 

Dari fakta ini dapat ditengarai bahwa proses legislasi menyisakan “celah besar”, yaitu ketidakcukupan waktu dan kesempatan melibatkan partisipasi para pemangku kepentingan, terutama pihak yang paling terkena dampak UU. Uji sahih, studi banding, dan referensi untuk menyempurnakan produk UU sangat kentara minus deliberasi publik dan sarat kepentingan ego-sektoral. Proses pengajuan dan pengesahan UU hanya melibatkan dua inisiator sekaligus pemegang peran utama: DPR dan pemerintah. Semestinya untuk menghindari tarik-menarik dan kompromi diperlukan banyak “opini kedua” dari luar dua lembaga itu melalui rallying idea ke semua pemangku kepentingan.

Ketiga, peran DPR sebagai pengawas kebijakan dan implementasi kinerja pemerintah  tak optimal. Sebagian karena DPR tak dilengkapi tenaga ahli cukup dan kapabel untuk mencermati ribuan program berbasis APBN. Sebagian lain disebabkan  ketidakjelasan atau dualisme posisi parpol terhadap pemerintah: oposisi atau mitra. Peran pengawasan juga kian disangsikan terkait terlibatnya sebagian anggota DPR dalam perkara korupsi.

Pertarungan berebut kekuasaan dan modal lewat politik bukan fenomena Indonesia hari ini melainkan jelas terlacak jejaknya sejak berlaku Maklumat X tahun 1945. Tujuan ideal  politik sebagai alat mencapai keadilan dan kemakmuran terus dikalahkan oleh kepentingan elite yang menguasai partai. Bung Hatta (1956) menyebut pergeseran tujuan tersebut sebagai wujud ketidakmatangan dan disorientasi cita-cita mulia berbangsa dan bernegara.  

Jika pada masa-masa awal Republik, ketidakmatangan itu dipicu perbedaan landasan ideologis, pada masa sekarang pragmatisme, mentalitas menerabas dan neoliberalisme menjangkiti sepak terjang parpol. Singkatnya, konstruksi hegemonik dalam bangun demokrasi yang dikuasai parpol non-ideologis semakin menjauhkan tujuan awal Republik: mencapai keseimbangan demokrasi politik-ekonomi-sosial.

Penguatan DPD

Amendemen ketiga UUD 45 pada 2001 telah memberi peluang “jalan tengah” melalui pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai representasi kepentingan daerah sekaligus perwujudan sistem dua kamar (bikameral) sebagaimana berlaku di negara-negara yang menganut paham demokrasi. Namun, sejak terbentuk 2004 sampai sekarang, peran dan eksistensi DPD tetap marjinal dalam pengambilan keputusan politik.

Proses politik yang membuat DPD stabil “kerdil” bukan semata-mata akibat hasil kerja parpol yang tak ingin berbagi peran, melainkan juga karena ketaksanggupan DPD berjuang meneguhkan eksistensinya. Padahal, dengan dukungan rakyat dan daerah yang sangat besar, DPD memiliki modal politik kuat untuk menyejajarkan peran politik setara DPR.

Banyak analisis menyimpulkan, kelemahan DPD hampir sama dengan perekrutan calon anggota legislatif dari parpol, terutama bersumber dari pola seleksi ala “selebritas” yang mengakomodasi primordialisme. Sebaliknya, kurang mengedepankan munculnya senator-senator berkualitas yang memiliki karakteristik: ketokohan otentik, keteladanan mengakar, pengabdian panjang tanpa cela, dan merupakan figur pembela kepentingan rakyat yang konsisten. Semua kriteria ini seharusnya menjadi sufficient condition bagi pemenuhan tiga kemampuan dasar (necessary condition), yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan (legal drafting, budgeting, controlling). 

Penguatan peran DPD semakin penting bersamaan dengan besarnya dana transfer ke daerah (dana perimbangan, dana insentif daerah, dana otonomi khusus, dan dana desa) yang jumlahnya mencapai Rp 710 triliun tahun 2016, Rp 766 triliun tahun 2017 dan Rp 761 triliun (APBN 2018). Efektivitas penggunaan dana transfer memerlukan kontrol karena alokasi dan serapannya harus benar-benar mendongkrak kapasitas daerah (fiskal, pelayanan, peningkatan aktivitas ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat).

Porsi besar dana transfer ke daerah untuk kebutuhan alokasi dasar (gaji dan belanja pegawai daerah) dan fakta yang ajek bertahan lama, yakni defisit celah fiskal (selisih kebutuhan fiskal  dan kapasitas fiskal) yang besar menunjukkan rendahnya kreativitas sebagian besar daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah dan mendorong bertumbuhnya kegiatan ekonomi. Kondisi ini jika dipertahankan terus-menerus akan mengancam APBN dan menciptakan struktur ketergantungan daerah-pusat tidak sehat.

Penguatan peran DPD dibutuhkan guna membuat keseimbangan politik, menjamin integrasi kedaulatan bangsa, keadilan, dan pemerataan. Demokrasi dan proses politik yang mengandalkan pada sistem unikameral (DPR) terbukti tak mampu menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah. Situasi politik yang terus melahirkan kompromi, transaksi, dan jalan buntu, tak akan dapat dipecahkan jika tak tersedia “kekuatan ketiga” ketika masyarakat madani (civil society) belum cukup tangguh dan melembaga.

Dalam risalah bertajuk “Demokrasi Kita” (1960), Bung Hatta menulis: “Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia menjalani cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan.” Perjalanan demokrasi kita dua dekade sejak Reformasi 1998 sampai sekarang, rupa-rupanya belum tiba pada tahap “penuh keinsafan” itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar