Demokrasi
Kita
Suwidi Tono ; Koordinator Forum “Menjadi Indonesia” dan
Presidium Gerakan
Anti-Korupsi (GAK) Lintas Perguruan Tinggi
|
KOMPAS,
29 November
2017
Demokrasi adalah terlaksananya dasar-dasar
perikemanusiaan dan keadilan sosial. Di sebelah demokrasi politik harus pula
berlangsung demokrasi ekonomi dan sosial.
“Bung
Hatta: Lampau dan Datang”, 1956
Demokrasi kita sampai hari ini sebatas
elektoral dan prosedural, telengas dari hakikat substansial. Partai-partai
politik belum berperan sebagai aset penting dan berharga, sering kali justru
menjadi penghambat atau liabilitas bagi gerakan memajukan bangsa.
Kelemahan di tubuh parpol
sekurang-kurangnya tampak dari tiga indikator. Pertama, sedikit sekali kader
parpol yang menjadi pemimpin atau anggota legislatif mencatat prestasi
mengesankan dan beroleh pengakuan rakyat. Sebaliknya, malah banyak yang
tersandung kasus korupsi dan aneka tindak pidana lainnya.
Seturut ini, dalam banyak pilkada, parpol
justru mengusung calon dari luar partai baik sendiri maupun berkoalisi.
Realitas ini bertolak belakang dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilu yang menegaskan kewenangan untuk memilih dan menentukan calon
legislator merupakan hak prerogatif parpol. Pelibatan masyarakat dalam
seleksi tak diatur UU ini. Padahal, perekrutan anggota legislatif juga
merupakan sumber kaderisasi parpol bagi pengadaan stok calon pemimpin.
Bikameral
penuh
Dominasi ketentuan internal parpol dan
ketiadaan penilaian (assessment) secara terbuka bagi para calon kepala daerah
mengingkari prinsip meritokrasi-demokrasi berkualitas dan meminggirkan
hak-hak rakyat untuk terlibat menyeleksi calon pemimpinnya. Padahal, untuk
pejabat tingkat eselon, dilakukan melalui mekanisme seleksi ketat,
transparan, dan akuntabel. Suburnya politik kekerabatan, transaksional, dan
politik uang merupakan konsekuensi logis dari cacat nilai yang melekat dalam
sistem politik.
Dalam hubungan ini, alokasi anggaran untuk
keperluan pilkada serentak 2018 dan persiapan Pemilu 2019 patut
dipertanyakan. Anggaran belanja Komisi Pemilihan Umum (KPU) melonjak dari Rp
1,85 triliun tahun 2017 menjadi Rp 12,51 triliun tahun 2018. Sementara
anggaran Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga meningkat pesat dari Rp
485 miliar tahun 2017 menjadi Rp 5,57 triliun tahun 2018. Kenaikan anggaran
luar biasa ini tidak menjamin perbaikan kualitas demokrasi-terutama hak
rakyat sebagai pembayar pajak-untuk mendapatkan pemimpin kredibel dan berintegritas.
Kedua, dalam melaksanakan fungsi legislasi,
kader parpol yang duduk di DPR juga minim prestasi. DPR menetapkan 46
rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam Program Legislasi Nasional 2017,
tetapi hanya empat RUU yang berhasil disahkan menjadi UU. Kendati pengesahan
UU bertalian dengan afirmasi pemerintah, tetapi fakta rendahnya proses
legislasi bukan hanya terjadi sekarang melainkan telah berlangsung sejak
lama.
Kualitas produk UU juga memprihatinkan dan
dipersoalkan publik sebagaimana tercatat dari data pengajuan uji materi
(judicial review). Selama setahun (18 Agustus 2016 sampai 14 Agustus 2017),
Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan 121 putusan yang menguji 258 pasal
dalam 62 UU: 26 dikabulkan, 38 ditolak, 41 tidak dapat diterima, 5 gugur, dan
11 ditarik kembali (Setara Institute, 2017). Dari jumlah putusan MK yang
paling banyak dipersoalkan adalah kepastian hukum (93 putusan), kepastian
hukum dan keadilan (18 putusan).
Dari fakta ini dapat ditengarai bahwa
proses legislasi menyisakan “celah besar”, yaitu ketidakcukupan waktu dan
kesempatan melibatkan partisipasi para pemangku kepentingan, terutama pihak
yang paling terkena dampak UU. Uji sahih, studi banding, dan referensi untuk
menyempurnakan produk UU sangat kentara minus deliberasi publik dan sarat
kepentingan ego-sektoral. Proses pengajuan dan pengesahan UU hanya melibatkan
dua inisiator sekaligus pemegang peran utama: DPR dan pemerintah. Semestinya
untuk menghindari tarik-menarik dan kompromi diperlukan banyak “opini kedua”
dari luar dua lembaga itu melalui rallying idea ke semua pemangku
kepentingan.
Ketiga, peran DPR sebagai pengawas
kebijakan dan implementasi kinerja pemerintah
tak optimal. Sebagian karena DPR tak dilengkapi tenaga ahli cukup dan
kapabel untuk mencermati ribuan program berbasis APBN. Sebagian lain
disebabkan ketidakjelasan atau
dualisme posisi parpol terhadap pemerintah: oposisi atau mitra. Peran
pengawasan juga kian disangsikan terkait terlibatnya sebagian anggota DPR
dalam perkara korupsi.
Pertarungan berebut kekuasaan dan modal
lewat politik bukan fenomena Indonesia hari ini melainkan jelas terlacak
jejaknya sejak berlaku Maklumat X tahun 1945. Tujuan ideal politik sebagai alat mencapai keadilan dan
kemakmuran terus dikalahkan oleh kepentingan elite yang menguasai partai.
Bung Hatta (1956) menyebut pergeseran tujuan tersebut sebagai wujud
ketidakmatangan dan disorientasi cita-cita mulia berbangsa dan
bernegara.
Jika pada masa-masa awal Republik,
ketidakmatangan itu dipicu perbedaan landasan ideologis, pada masa sekarang
pragmatisme, mentalitas menerabas dan neoliberalisme menjangkiti sepak
terjang parpol. Singkatnya, konstruksi hegemonik dalam bangun demokrasi yang
dikuasai parpol non-ideologis semakin menjauhkan tujuan awal Republik:
mencapai keseimbangan demokrasi politik-ekonomi-sosial.
Penguatan
DPD
Amendemen ketiga UUD 45 pada 2001 telah
memberi peluang “jalan tengah” melalui pembentukan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) sebagai representasi kepentingan daerah sekaligus perwujudan sistem dua
kamar (bikameral) sebagaimana berlaku di negara-negara yang menganut paham
demokrasi. Namun, sejak terbentuk 2004 sampai sekarang, peran dan eksistensi
DPD tetap marjinal dalam pengambilan keputusan politik.
Proses politik yang membuat DPD stabil
“kerdil” bukan semata-mata akibat hasil kerja parpol yang tak ingin berbagi
peran, melainkan juga karena ketaksanggupan DPD berjuang meneguhkan
eksistensinya. Padahal, dengan dukungan rakyat dan daerah yang sangat besar,
DPD memiliki modal politik kuat untuk menyejajarkan peran politik setara DPR.
Banyak analisis menyimpulkan, kelemahan DPD
hampir sama dengan perekrutan calon anggota legislatif dari parpol, terutama
bersumber dari pola seleksi ala “selebritas” yang mengakomodasi
primordialisme. Sebaliknya, kurang mengedepankan munculnya senator-senator
berkualitas yang memiliki karakteristik: ketokohan otentik, keteladanan
mengakar, pengabdian panjang tanpa cela, dan merupakan figur pembela
kepentingan rakyat yang konsisten. Semua kriteria ini seharusnya menjadi
sufficient condition bagi pemenuhan tiga kemampuan dasar (necessary
condition), yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan
(legal drafting, budgeting, controlling).
Penguatan peran DPD semakin penting
bersamaan dengan besarnya dana transfer ke daerah (dana perimbangan, dana
insentif daerah, dana otonomi khusus, dan dana desa) yang jumlahnya mencapai
Rp 710 triliun tahun 2016, Rp 766 triliun tahun 2017 dan Rp 761 triliun (APBN
2018). Efektivitas penggunaan dana transfer memerlukan kontrol karena alokasi
dan serapannya harus benar-benar mendongkrak kapasitas daerah (fiskal,
pelayanan, peningkatan aktivitas ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat).
Porsi besar dana transfer ke daerah untuk
kebutuhan alokasi dasar (gaji dan belanja pegawai daerah) dan fakta yang ajek
bertahan lama, yakni defisit celah fiskal (selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal) yang besar
menunjukkan rendahnya kreativitas sebagian besar daerah dalam meningkatkan
pendapatan asli daerah dan mendorong bertumbuhnya kegiatan ekonomi. Kondisi
ini jika dipertahankan terus-menerus akan mengancam APBN dan menciptakan
struktur ketergantungan daerah-pusat tidak sehat.
Penguatan peran DPD dibutuhkan guna membuat
keseimbangan politik, menjamin integrasi kedaulatan bangsa, keadilan, dan
pemerataan. Demokrasi dan proses politik yang mengandalkan pada sistem
unikameral (DPR) terbukti tak mampu menyerap dan memperjuangkan aspirasi
rakyat dan daerah. Situasi politik yang terus melahirkan kompromi, transaksi,
dan jalan buntu, tak akan dapat dipecahkan jika tak tersedia “kekuatan
ketiga” ketika masyarakat madani (civil society) belum cukup tangguh dan
melembaga.
Dalam risalah bertajuk “Demokrasi Kita”
(1960), Bung Hatta menulis: “Demokrasi bisa tertindas sementara karena
kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia menjalani cobaan yang pahit, ia akan
muncul kembali dengan penuh keinsafan.” Perjalanan demokrasi kita dua dekade
sejak Reformasi 1998 sampai sekarang, rupa-rupanya belum tiba pada tahap
“penuh keinsafan” itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar