Adicerita
Hamka (1)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta;
Anggota Komisi
Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
REPUBLIKA,
23 November
2017
Membahas karya James Rush, Hamka’s Great
Story: A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia (edisi Inggris
2016; Indonesia 2017), pembaca dan pengkaji Islam Indonesia dapat melihat
posisi Buya Hamka secara lebih jelas dan tegas. Seperti dibahas Rush dalam
buku ini, sosok Buya Hamka sulit dirumuskan orang karena kompleksitas
pemikiran dan kiprahnya.
Hamka, singkatan Haji Abdul Malik Karim
Amrullah (17/2/1908-24/7/1981) jelas adalah pribadi sangat kompleks. Ia bukan
hanya sekadar wartawan penulis dan editor, melainkan juga sastrawan prolifik
dan sekaligus sejarawan dan ulama terkemuka.
Tak kurang pentingnya, Buya Hamka adalah
ulama/intelektual-cum-aktivis sosial-budaya dan agama yang melalui pengalaman
langsung, observasi, dan aktivisme menuliskannya dalam karya tulis reflektif
yang tajam dan menggigit dengan bahasa Indonesia yang khas.
Sedangkan bagi Rush lebih maju lagi, Hamka
adalah pengarang, pemikir bebas, sastrawan, dan mufasir [penafsir Alquran].
Lebih jauh menurut Rush, sebagai pengarang, mufasir, pemikir, dan sastrawan,
Hamka memiliki nilai lebih dibandingkan dengan para penulis lain.
“Jika Hamka memasuki sebuah ranah
pemikiran, dia akan terjun ke dalamnya dengan berani dan sepenuh hati. Hamka
bukanlah jenis manusia kepalang tanggung.”
Karya James Rush ini merupakan karya unik
jika dibandingkan dengan banyak karya lain tentang Buya Hamka. Karya ini tak
lain merupakan biografi sosial-intelektual Buya Hamka berdasarkan
tulisan-tulisan Buya Hamka sendiri, yang kemudian sedikit banyak diuji dan
dianalisis Rush. Meski demikian, Rush berhasil menggambarkan sosok Buya Hamka
secara relatif lengkap dan komprehensif.
Dalam konteks dan paradigma sejarah
sosial-intelektual, Rush menggambarkan perkembangan Buya Hamka sejak kecil
sampai menjadi tokoh termuka Indonesia dalam kaitan dengan lingkungan sosial.
Buya Hamka lahir dan besar di lingkungan sosial ayahnya, Haji Rasul, yang
terkenal sebagai ulama pembaru ‘kaum muda’. Haji Rasul pun terkait dengan
lingkungan sosial Islam lebih luas, tidak hanya Alam Minangkabau, tapi juga
Indonesia dan dunia Muslim lebih luas.
Melampaui pengembaraan intelektual ayahnya,
Hamka tidak hanya mengakrabi sejarah dan pemikiran Islam Indonesia dan Dunia
Arab, tetapi juga Eropa dan Amerika. Ini terlihat dari sumber dan kutipan
yang hampir selalu ada dalam buku dan artikelnya yang mengacu pada episode
sejarah dan sosok pemikir tertentu di Eropa dan Amerika.
Meneliti sosok intelektual Hamka dalam
konteks lingkungan sosial lebih luas sejak 1982—dan baru selesai untuk
diterbitkan pada 2016—James R Rush, guru besar sejarah di Universitas
Arizona, Amerika Serikat—mengumpulkan hampir seluruh karya Hamka, baik buku
maupun artikel. Rush juga mengoleksi banyak karya akademis tentang Hamka
sejak skripsi S-1, tesis S-2, dan disertasi S-3 yang dikerjakan di perguruan
tinggi Indonesia dan luar negeri.
Meski edisi bahasa Indonesianya cukup tebal
(xlii+322 halaman), Rush membagi bukunya secara cukup sederhana—hanya enam
bab: pertama, Pedoman Masyarakat; kedua, Ayah dan Anak; ketiga, Hamka-san dan
Bung Haji; keempat, Islam untuk Indonesia; kelima, Perang Budaya; dan keenam,
Orde Baru.
Dengan pembaban sederhana seperti itu,
James Rush membangun naratif Hamka sebagai sosok intelektual dan aktivis yang
membangun karier intelektualisme secara autodidak. Dengan kefasihannya
bertutur, baik secara lisan maupun tulisan, Hamka di atas segalanya akhirnya
tampil sebagai sosok ‘intelektual publik’ yang penting dalam wacana keislaman
dan keindonesiaan pada masa pascakemerdekaan.
Sebagai intelektual publik, bagi saya Hamka
sangat distingtif. Ia memiliki cakrawala intelektualisme kosmopolitan melalui
bacaannya atas karya sastrawan, filsuf, sejarawan, atau ideolog semacam Zaki
Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Akkad, Mustafa al-Manfaluti, Hussain Haykal,
Albert Camus, William James, Sigmud Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre,
Karl Marx, Pierre Loti, dan banyak lagi.
Hamka melalui bacaannya yang sangat luas
dan terbuka memberikan contoh tentang keragaman bacaan, yang kemudian dia
refleksikan secara kritis. Sikap intelektual Hamka ini jelas sangat relevan
dan kontekstual dengan tantangan kaum intelektual dan ulama Indonesia masa
kini dan mendatang yang harus terus membuka perspektif dan horizon tanpa
kehilangan intelektualisme kritis mereka di tengah lingkungan yang terus
berubah sangat cepat.
Menutup diri—apalagi mengharamkan bacaan
yang mengandung pemikiran dan wacana tertentu—hanya membuat kemandekan
intelektualisme Islam Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar