Pendidikan
dan Peranan Bagi Pembangunan
Candra Fajri Ananda ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 27 November 2017
PERINGATAN Hari Guru yang bertepatan dengan
ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tanggal 25 November
kemarin, mengingatkan pesan moral yang sangat berharga bahwa ada sesuatu yang
sering kita lupakan dalam menyusun bunga rampai pembangunan di Indonesia. Hal
tersebut tidak lain adalah atensi yang layak terhadap eksistensi para guru di
dalam sistem pendidikan dan pembangunan Indonesia.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa pendidikan
merupakan instrumen penting dalam pembangunan jangka panjang. Pengembangan
pendidikan dampaknya memang tidak terjadi secara seketika karena sifatnya
sebatas outcome. Sektor pendidikan bersama dengan bidang kesehatan selalu
dikait-kaitkan dengan faktor pembentuk kualitas sumber daya manusia (SDM) di
suatu wilayah/negara. Pada tahap berikutnya dalam kaitannya dengan dunia
ketenagakerjaan (employment), kualitas pembentukan SDM akan berimplikasi
positif terhadap kualitas keperilakukan (behaviour) dan keterampilan
(skills). Sehingga banyak pemangku kebijakan di suatu wilayah/negara
memandang bahwa sistem pendidikan (termasuk di dalamnya soal kinerja tenaga
pendidik/guru) merupakan aspek vital yang harus dipelihara perkembangannya.
Ada alasan mengapa perhatian terhadap
kinerja tenaga kependidikan menjadi sangat penting. USAID menjelaskan dalam
salah satu artikelnya bahwa guru adalah pembentuk akal dan karakter bangsa.
Kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kemampuan para pendidiknya
untuk mengubah karakter generasi penerusnya ke depan. Tugas utama para guru
adalah menumbuhkan keingintahuan anak didik dan mengarahkannya dengan cara
yang paling mereka minati. Jika anak didik diberi rasa aman, dihindarkan dari
celaan dan cemoohan, berani berekspresi dan bereksplorasi secara leluasa,
maka secara normatif akan tumbuh menjadi insan yang penuh dengan percaya diri
dan optimistis.
Oleh sebab itu, tugas yang diemban oleh
seorang guru tidak ringan. Karena guru yang baik tidak hanya memberitahu,
menjelaskan atau mendemonstrasikan, tapi juga dapat menginspirasi. Seorang
guru harus mampu memandang perubahan dan mengajak para muridnya untuk
melangkah jauh ke depan. Dengan demikian guru dapat merencanakan apa yang
terbaik untuk anak didiknya kelak di masa depan.
Dalam kaitannya dengan perkembangan era
globalisasi yang penuh dengan iklim persaingan, World Economic Forum (WEF)
menyampaikan bahwa dari 12 indikator daya saing global di suatu negara, ada 2
indikator di dalamnya yang berkaitan dengan sektor pendidikan. Indikator
pertama yakni kesehatan dan pendidikan dasar yang merupakan rumpun faktor
dasar bagi suatu negara untuk mampu bersaing di kancah global. Dan indikator
yang kedua yakni pendidikan tinggi dan pelatihan yang termasuk dalam rumpuk
faktor pendorong efisiensi di suatu negara.
Jika merujuk pada The Global
Competitiveness Report 2017-2018 yang dirilis WEF (2017), Negara Swiss,
Finlandia, dan Singapura layak menjadi inspirasi bagi kita semua mengenai
pengelolaan sistem pendidikan. Pada indikator pilar daya saing dari sisi
pendidikan dasar, Finlandia menjadi negara pemuncak di dunia, kemudian
disusul Swiss dan Singapura di tempat berikutnya. Sedangkan pada pilar
pendidikan tinggi dan pelatihan, Singapura menjadi negara pemuncak di level
dunia sedangkan Finlandia berada di jajaran teratas di tingkat Eropa. Entah
apakah memang memiliki korelasi yang signifikan atau sekadar kebetulan,
ketiga negara tersebut menghuni jajaran 10 negara teratas dalam daya saing
global. Sementara itu kualitas kesehatan dan pendidikan dasar, serta
pendidikan tinggi dan pelatihan kita masih tercecer di peringkat 94 dan 64
dunia.
Kritik terkait sistem pendidikan di
Indonesia pernah disampaikan oleh Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD) pada 2016 kemarin. Mereka menyoroti meskipun anggaran
pendidikan sudah di-earmark sebesar 20% dari seluruh APBN, namun outcome yang
dihasilkan masih buruk akibat kurangnya tujuan yang berkaitan dengan kinerja.
Gaji dan insentif bagi guru memang meningkat seiring adanya program
sertifikasi, akan tetapi mutu pengajaran yang ada malah tidak terlalu
menggembirakan. Padahal dalam konteks pembangunan berkelanjutan, sistem
pendidikan yang progresif akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih
inklusif, meningkatkan derajat kelayakan investasi domestik, serta mengurangi
kemiskinan dan ketimpangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu
yang lalu tampaknya cukup gusar dengan kondisi pendidikan di Indonesia.
Menkeu bertutur bahwa anggaran dan kualitas pendidikan kita menjadi sorotan
Bank Dunia. Sebab, kualitas pendidikan Indonesia kalah dari Vietnam, meski
besar anggarannya sama-sama di kisaran 20% dari total budget negara. Akan
tetapi hasilnya sangat beda. Dalam survei yang dilakukan OECD bertajuk
Programme for International Student Assessment (PISA) atau Program Penilaian
Siswa Internasional menunjukkan bahwa para remaja Vietnam telah melebihi para
remaja sebayanya di kawasan ASEAN. Bahkan remaja Vietnam kini secara
konsisten telah mengungguli orang-orang Amerika Serikat dan Inggris dalam
matematika dan sains. Secara global Vietnam berada di peringkat 8 dunia dalam
survei tersebut. Sementara Indonesia terdampar di peringkat 62 dari total 70
negara yang menjadi responden.
Setidaknya ada tiga faktor utama yang
berkontribusi terhadap hasil sistem pendidikan di Vietnam yang dianggap
mengesankan tersebut, yakni komitmen yang kuat dari para leaders, kurikulum
yang terfokus, dan investasi pada besar untuk para guru. Nah dari ketiga
kunci kebijakan yang dijalankan di Vietnam, mungkin kita baru mempraktikkan
terkait investasi untuk para guru meskipun kinerjanya masih banyak polemik.
Sedangkan sisanya masih cenderung bias. Lantas mampukah Indonesia mengikuti
jejak yang telah digariskan oleh Vietnam?
Pendidikan
di Era Disrupsi
Mengamati isu-isu terkini seputar
pergerakan pola perekonomian, nampaknya kita betul-betul tidak bisa menampik
bahwa human capital menjadi bekal penting untuk bisa terus survive. Penulis
bersepakat dengan argumen beberapa pengamat ekonomi bahwa secara makro dan
mikro, kita tengah menghadapi era disrupsi (disruption). Era disruption
sendiri dipahami sebagai masa yang mengharuskan setiap negara dan para pelaku
usaha melakukan hal yang lebih dari inovasi berkelanjutan (sustaining
innovation) atau inovasi yang dapat menciptakan pasar baru.
Beberapa inovasi sudah mulai bertumbuhan
dari ide-ide segar para generasi muda. Yang paling vulgar dapat kita saksikan
bersama dari merebaknya layanan transportasi dan financial technology
(fintech) berbasis aplikasi online. Semuanya memaksa para pelaku pasar
berlomba-lomba untuk mengefisiensikan usahanya akan dapat survive. Meskipun
tidak sedikit juga guncangan dengan berbagai skala yang digencarkan oleh para
pelaku usaha konvensional. Namun dalam pandangan hemat penulis, disrupsi yang
menjurus pada beragam inovasi dan efisiensi ini jangan sampai dimatikan.
Sudah menjadi tugas bagi pemerintah untuk meluruskan dan mengarahkan melalui
regulasi yang tepat agar kita tidak semakin ketinggalan zaman.
Berbekal dari pemikiran tersebut, ada
baiknya pemerintah juga mulai menghubungkan agar bagaimana sistem pendidikan
kedepannya mampu memasok tenaga-tenaga terampil yang sesuai dengan dinamika
pasar. Pertama, tugas yang paling pokok adalah menyusun kurikulum pendidikan
yang selaras dengan kebutuhan pasar. Banyaknya pengangguran dari kalangan
tenaga kerja lulusan SMA, SMK, dan perguruan tinggi menunjukkan bahwa
kurikulum pendidikan kita belum menjawab kualifikasi keterampilan yang
dibutuhkan para vendors. Lebih-lebih pada lulusan SMK dan pendidikan vokasi
lainnya yang masa depannya masih banyak yang mengambang. Padahal tujuan dari
pendidikan vokasi ialah mempercepat lahirnya sejumlah tenaga kerja terampil
yang siap pakai. Jika sudah demikian, maka logika sederhananya memang ada
masalah-masalah mendasar yang terkait koneksitas kurikulum dengan dunia
kerja.
Kedua, tidak sekadar koneksitas kurikulum
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja, bisa jadi kita juga terhambat pada
persoalan administratif berupa standarisasi tenaga kerja. Negara-negara
tetangga kita sudah mengantisipasi persaingan tenaga kerja antarnegara dengan
memberikan sertifikasi untuk memastikan bahwa tenaga kerja mereka memiliki
standar keterampilan. Bahkan tenaga-tenaga kasar seperti kuli dan buruh
bangunan juga memiliki sertifikasi. Sedangkan kita lagi-lagi relatif
terbelakang. Kita seperti baru tersadar setelah proyek-proyek konstruksi
infrastruktur yang selama ini dielu-elukan pemerintah gagal mendongkrak
penyerapan tenaga kerja lokal secara signifikan. Salah satu alasannya
diungkapkan karena tenaga kerja konstruksi kita yang tidak memiliki
sertifikasi keterampilan. Setelah ini bahkan kalau perlu kalangan petani juga
diberikan standarisasi dan sertifikasi keterampilan agar produk-produk yang
dihasilkan tidak kalah kualitasnya jika dibandingkan dengan negara-negara
lain.
Ketiga, perlu ada tindakan asimetris di
bidang pendidikan mengingat karakteristik Indonesia yang berdiri di tengah
keragaman budaya dan karakter antarwilayah. Bagi daerah yang memiliki basis
ekonomi di bidang pertanian, maka ada baiknya apabila kurikulum pendidikan
yang dianut memiliki kecondongan pada topik-topik pendidikan di bidang
pertanian. Di daerah lainnya juga perlu diterapkan tujuan serupa. Tujuannya
agar para pelajar di wilayah tersebut memiliki penguasaan keterampilan di
bidang yang potensial untuk dikembangkan di daerahnya. Sehingga mereka akan
memiliki minat untuk berlomba-lomba mengembangkan potensi-potensi yang tumbuh
di lingkungan tempat hidupnya.
Pada akhirnya, seluruh komponen pembangunan
pendidikan mulai dari guru/dosen, kurikulum, dan infrastruktur pendukung
perlu dikembangkan dengan tata nilai yang mengarah pada usaha mandiri,
kreativitas, tingkah pola yang jujur, pantang putus asa, dan kerja keras
sebagai dasar tindakan. Hal ini sekaligus untuk menjaga agar iklim
perekonomian kita tidak semakin bubrah (rusak). Karena ada ungkapan menarik
yang mengatakan bahwa kita bisa sangat mudah menebak apakah di masa depan
suatu komunitas penduduk akan dapat hidup sejahtera ataukah tidak, dengan
salah satunya mengamati dari kualitas sistem pendidikan. Pendidikan akan
terus menjadi faktor eksogen yang sedikit banyak memengaruhi bagaimana pelaku
perekonomian mengatasi tantangan-tantangan pembangunan. Semoga saja kita dan
pemerintah semakin sadar untuk terus menggiatkan perbaikan sistem pendidikan
sesuai dengan kapasitas sosialnya masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar