Selasa, 28 November 2017

Pendidikan dan Peranan Bagi Pembangunan

Pendidikan dan Peranan Bagi Pembangunan
Candra Fajri Ananda ;  Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
                                              KORAN SINDO, 27 November 2017



                                                           
PERINGATAN Hari Guru yang bertepatan dengan ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tanggal 25 November kemarin, mengingatkan pesan moral yang sangat berharga bahwa ada sesuatu yang sering kita lupakan dalam menyusun bunga rampai pembangunan di Indonesia. Hal tersebut tidak lain adalah atensi yang layak terhadap eksistensi para guru di dalam sistem pendidikan dan pembangunan Indonesia.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa pendidikan merupakan instrumen penting dalam pembangunan jangka panjang. Pengembangan pendidikan dampaknya memang tidak terjadi secara seketika karena sifatnya sebatas outcome. Sektor pendidikan bersama dengan bidang kesehatan selalu dikait-kaitkan dengan faktor pembentuk kualitas sumber daya manusia (SDM) di suatu wilayah/negara. Pada tahap berikutnya dalam kaitannya dengan dunia ketenagakerjaan (employment), kualitas pembentukan SDM akan berimplikasi positif terhadap kualitas keperilakukan (behaviour) dan keterampilan (skills). Sehingga banyak pemangku kebijakan di suatu wilayah/negara memandang bahwa sistem pendidikan (termasuk di dalamnya soal kinerja tenaga pendidik/guru) merupakan aspek vital yang harus dipelihara perkembangannya.

Ada alasan mengapa perhatian terhadap kinerja tenaga kependidikan menjadi sangat penting. USAID menjelaskan dalam salah satu artikelnya bahwa guru adalah pembentuk akal dan karakter bangsa. Kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kemampuan para pendidiknya untuk mengubah karakter generasi penerusnya ke depan. Tugas utama para guru adalah menumbuhkan keingintahuan anak didik dan mengarahkannya dengan cara yang paling mereka minati. Jika anak didik diberi rasa aman, dihindarkan dari celaan dan cemoohan, berani berekspresi dan bereksplorasi secara leluasa, maka secara normatif akan tumbuh menjadi insan yang penuh dengan percaya diri dan optimistis.

Oleh sebab itu, tugas yang diemban oleh seorang guru tidak ringan. Karena guru yang baik tidak hanya memberitahu, menjelaskan atau mendemonstrasikan, tapi juga dapat menginspirasi. Seorang guru harus mampu memandang perubahan dan mengajak para muridnya untuk melangkah jauh ke depan. Dengan demikian guru dapat merencanakan apa yang terbaik untuk anak didiknya kelak di masa depan.

Dalam kaitannya dengan perkembangan era globalisasi yang penuh dengan iklim persaingan, World Economic Forum (WEF) menyampaikan bahwa dari 12 indikator daya saing global di suatu negara, ada 2 indikator di dalamnya yang berkaitan dengan sektor pendidikan. Indikator pertama yakni kesehatan dan pendidikan dasar yang merupakan rumpun faktor dasar bagi suatu negara untuk mampu bersaing di kancah global. Dan indikator yang kedua yakni pendidikan tinggi dan pelatihan yang termasuk dalam rumpuk faktor pendorong efisiensi di suatu negara.

Jika merujuk pada The Global Competitiveness Report 2017-2018 yang dirilis WEF (2017), Negara Swiss, Finlandia, dan Singapura layak menjadi inspirasi bagi kita semua mengenai pengelolaan sistem pendidikan. Pada indikator pilar daya saing dari sisi pendidikan dasar, Finlandia menjadi negara pemuncak di dunia, kemudian disusul Swiss dan Singapura di tempat berikutnya. Sedangkan pada pilar pendidikan tinggi dan pelatihan, Singapura menjadi negara pemuncak di level dunia sedangkan Finlandia berada di jajaran teratas di tingkat Eropa. Entah apakah memang memiliki korelasi yang signifikan atau sekadar kebetulan, ketiga negara tersebut menghuni jajaran 10 negara teratas dalam daya saing global. Sementara itu kualitas kesehatan dan pendidikan dasar, serta pendidikan tinggi dan pelatihan kita masih tercecer di peringkat 94 dan 64 dunia.

Kritik terkait sistem pendidikan di Indonesia pernah disampaikan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2016 kemarin. Mereka menyoroti meskipun anggaran pendidikan sudah di-earmark sebesar 20% dari seluruh APBN, namun outcome yang dihasilkan masih buruk akibat kurangnya tujuan yang berkaitan dengan kinerja. Gaji dan insentif bagi guru memang meningkat seiring adanya program sertifikasi, akan tetapi mutu pengajaran yang ada malah tidak terlalu menggembirakan. Padahal dalam konteks pembangunan berkelanjutan, sistem pendidikan yang progresif akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, meningkatkan derajat kelayakan investasi domestik, serta mengurangi kemiskinan dan ketimpangan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu yang lalu tampaknya cukup gusar dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Menkeu bertutur bahwa anggaran dan kualitas pendidikan kita menjadi sorotan Bank Dunia. Sebab, kualitas pendidikan Indonesia kalah dari Vietnam, meski besar anggarannya sama-sama di kisaran 20% dari total budget negara. Akan tetapi hasilnya sangat beda. Dalam survei yang dilakukan OECD bertajuk Programme for International Student Assessment (PISA) atau Program Penilaian Siswa Internasional menunjukkan bahwa para remaja Vietnam telah melebihi para remaja sebayanya di kawasan ASEAN. Bahkan remaja Vietnam kini secara konsisten telah mengungguli orang-orang Amerika Serikat dan Inggris dalam matematika dan sains. Secara global Vietnam berada di peringkat 8 dunia dalam survei tersebut. Sementara Indonesia terdampar di peringkat 62 dari total 70 negara yang menjadi responden.

Setidaknya ada tiga faktor utama yang berkontribusi terhadap hasil sistem pendidikan di Vietnam yang dianggap mengesankan tersebut, yakni komitmen yang kuat dari para leaders, kurikulum yang terfokus, dan investasi pada besar untuk para guru. Nah dari ketiga kunci kebijakan yang dijalankan di Vietnam, mungkin kita baru mempraktikkan terkait investasi untuk para guru meskipun kinerjanya masih banyak polemik. Sedangkan sisanya masih cenderung bias. Lantas mampukah Indonesia mengikuti jejak yang telah digariskan oleh Vietnam?

Pendidikan di Era Disrupsi

Mengamati isu-isu terkini seputar pergerakan pola perekonomian, nampaknya kita betul-betul tidak bisa menampik bahwa human capital menjadi bekal penting untuk bisa terus survive. Penulis bersepakat dengan argumen beberapa pengamat ekonomi bahwa secara makro dan mikro, kita tengah menghadapi era disrupsi (disruption). Era disruption sendiri dipahami sebagai masa yang mengharuskan setiap negara dan para pelaku usaha melakukan hal yang lebih dari inovasi berkelanjutan (sustaining innovation) atau inovasi yang dapat menciptakan pasar baru.

Beberapa inovasi sudah mulai bertumbuhan dari ide-ide segar para generasi muda. Yang paling vulgar dapat kita saksikan bersama dari merebaknya layanan transportasi dan financial technology (fintech) berbasis aplikasi online. Semuanya memaksa para pelaku pasar berlomba-lomba untuk mengefisiensikan usahanya akan dapat survive. Meskipun tidak sedikit juga guncangan dengan berbagai skala yang digencarkan oleh para pelaku usaha konvensional. Namun dalam pandangan hemat penulis, disrupsi yang menjurus pada beragam inovasi dan efisiensi ini jangan sampai dimatikan. Sudah menjadi tugas bagi pemerintah untuk meluruskan dan mengarahkan melalui regulasi yang tepat agar kita tidak semakin ketinggalan zaman.

Berbekal dari pemikiran tersebut, ada baiknya pemerintah juga mulai menghubungkan agar bagaimana sistem pendidikan kedepannya mampu memasok tenaga-tenaga terampil yang sesuai dengan dinamika pasar. Pertama, tugas yang paling pokok adalah menyusun kurikulum pendidikan yang selaras dengan kebutuhan pasar. Banyaknya pengangguran dari kalangan tenaga kerja lulusan SMA, SMK, dan perguruan tinggi menunjukkan bahwa kurikulum pendidikan kita belum menjawab kualifikasi keterampilan yang dibutuhkan para vendors. Lebih-lebih pada lulusan SMK dan pendidikan vokasi lainnya yang masa depannya masih banyak yang mengambang. Padahal tujuan dari pendidikan vokasi ialah mempercepat lahirnya sejumlah tenaga kerja terampil yang siap pakai. Jika sudah demikian, maka logika sederhananya memang ada masalah-masalah mendasar yang terkait koneksitas kurikulum dengan dunia kerja.

Kedua, tidak sekadar koneksitas kurikulum pendidikan dan kebutuhan dunia kerja, bisa jadi kita juga terhambat pada persoalan administratif berupa standarisasi tenaga kerja. Negara-negara tetangga kita sudah mengantisipasi persaingan tenaga kerja antarnegara dengan memberikan sertifikasi untuk memastikan bahwa tenaga kerja mereka memiliki standar keterampilan. Bahkan tenaga-tenaga kasar seperti kuli dan buruh bangunan juga memiliki sertifikasi. Sedangkan kita lagi-lagi relatif terbelakang. Kita seperti baru tersadar setelah proyek-proyek konstruksi infrastruktur yang selama ini dielu-elukan pemerintah gagal mendongkrak penyerapan tenaga kerja lokal secara signifikan. Salah satu alasannya diungkapkan karena tenaga kerja konstruksi kita yang tidak memiliki sertifikasi keterampilan. Setelah ini bahkan kalau perlu kalangan petani juga diberikan standarisasi dan sertifikasi keterampilan agar produk-produk yang dihasilkan tidak kalah kualitasnya jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

Ketiga, perlu ada tindakan asimetris di bidang pendidikan mengingat karakteristik Indonesia yang berdiri di tengah keragaman budaya dan karakter antarwilayah. Bagi daerah yang memiliki basis ekonomi di bidang pertanian, maka ada baiknya apabila kurikulum pendidikan yang dianut memiliki kecondongan pada topik-topik pendidikan di bidang pertanian. Di daerah lainnya juga perlu diterapkan tujuan serupa. Tujuannya agar para pelajar di wilayah tersebut memiliki penguasaan keterampilan di bidang yang potensial untuk dikembangkan di daerahnya. Sehingga mereka akan memiliki minat untuk berlomba-lomba mengembangkan potensi-potensi yang tumbuh di lingkungan tempat hidupnya.

Pada akhirnya, seluruh komponen pembangunan pendidikan mulai dari guru/dosen, kurikulum, dan infrastruktur pendukung perlu dikembangkan dengan tata nilai yang mengarah pada usaha mandiri, kreativitas, tingkah pola yang jujur, pantang putus asa, dan kerja keras sebagai dasar tindakan. Hal ini sekaligus untuk menjaga agar iklim perekonomian kita tidak semakin bubrah (rusak). Karena ada ungkapan menarik yang mengatakan bahwa kita bisa sangat mudah menebak apakah di masa depan suatu komunitas penduduk akan dapat hidup sejahtera ataukah tidak, dengan salah satunya mengamati dari kualitas sistem pendidikan. Pendidikan akan terus menjadi faktor eksogen yang sedikit banyak memengaruhi bagaimana pelaku perekonomian mengatasi tantangan-tantangan pembangunan. Semoga saja kita dan pemerintah semakin sadar untuk terus menggiatkan perbaikan sistem pendidikan sesuai dengan kapasitas sosialnya masing-masing. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar