Ekspor
Wahabisme Dihentikan?
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
14 November
2017
Minggu-minggu terakhir ini dunia dikejutkan
oleh gebrakan “Revolusi Istana” di Saudi Arabia, dilakukan Raja Salman bin
Abdulazis dan putra mahkota yang baru diangkat, Pangeran Muhammed bin Salman
(32), anak kesayangan raja. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kerajaan baru
saja dibentuk raja dan langsung diketuai oleh sang Pangeran. Banyak pejabat
tinggi yang ditangkap, termasuk Alwaleed bin Talal, salah satu orang terkaya
di muka bumi.
Juga ribuan ulama konservatif yang ditahan
demi mengubah wajah Islam yang ditampilkan selama ini: wajah wahabisme radikal
dengan teologi kebenaran tunggal. Kata Muhammed bin Salman, sebagai reaksi
terhadap Revolusi Iran tahun 1979 yang menggemparkan jagat raya itu, kongsi
rezim Saudi dan wahabisme perlu pula merumuskan sebuah Islam Suni yang dapat
mengimbangi gelombang revolusi Iran itu.
Tetapi, apa yang berlaku kemudian?
Jangankan sanggup mengimbangi pengaruh Teheran yang juga menampilkan corak
syi’isme radikal, wahabisme telah berubah menjadi monster yang diekspor ke
seluruh dunia dengan segala dampak buruknya dengan merusak wajah Islam
moderat yang diam membisu selama ini, sebagaimana yang dianut oleh mayoritas
Muslim sedunia.
Dalam bacaan saya, perseteruan antara
Kerajaan Saudi dan Republik Iran kontemporer tidak ada kaitannya dengan
agama, apalagi dengan Alquran, sekalipun masing-masing pihak mengaku sebagai
penafsir yang paling benar.
Yang justru terjadi adalah perebutan
hegemoni di kawasan itu antara dua nasionalisme anutan Saudi dan anutan Iran
dengan menggunakan jubah sektarianisme agama: sunisme vs syi’isme. Akar
perseteruan ini dapat dilacak pada tragedi Perang Unta (656) dan Perang
Shiffin (657) yang sudah berapa kali saya tulis di ruang ini.
Celakanya, Muslim non-Arab dan Muslim
non-Iran tidak pernah mengoreksi secara berani sumber kegaduhan sektarianisme
ini sampai hari ini. Mereka hanyalah meneruskan kegaduhan itu dengan cara dan
dalilnya masing-masing.
Pihak Barat sangat memahami kelemahan ini
untuk kemudian dieksploitasi sejauh mungkin, demi kepentingan Barat. Baik
Saudi maupun Iran sudah sama-sama dijebak Barat untuk mempermainkan mereka
sekian lama. Iran era Shah Pahlevi adalah agen Barat yang dipercaya,
sedangkan Saudi sampai hari ini masih menjadi sahabat Amerika.
Kembali kepada “Revolusi Istana” di Saudi.
Revolusi ini sangat elitis sifatnya: merebaknya konflik kepentingan antara
sesama pangeran. Kita belum bisa mengatakan bagaimana ujungnya nanti.
Sedangkan, rakyat Arab sendiri sejak berdirinya Kerajaan Saudi pada 1932
dengan bantuan Inggris, Prancis, dan sedikit Rusia tidak pernah diberi
kemerdekaan sebagai warga negara dengan segala haknya.
Kongsi rezim Saudi dengan wahabisme yang
diarsiteki oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) telah bertaut rapat
demikian rupa sejak abad ke-18 melalui periode pasang surut dan pertumpahan
darah yang merenggut puluhan ribu nyawa manusia. Penguasaan penuh klan Saudi
atas Semenanjung Arabia sekarang belum berusia satu abad (1932-).
Rezim Saudi ini diperhitungkan Barat
terutama karena petrodolar raksasa yang dikandung bumi Arabia, bukan karena
faktor lain. Tetapi, cadangan minyak itu tentu akan habis pada saatnya,
apalagi sekarang harga minyak turun drastis.
Situasi ini pulalah yang memaksa Raja
Salman untuk mencari sumber-sumber devisa lain agar APBN-nya tidak lagi 90
persen bergantung pada minyak bumi. Untuk meraih tujuan ini, Arab Saudi harus
membuka diri seluas mungkin bagi investor.
Dalam rangka kebijakan keterbukaan ini,
kebebasan kepada perempuan harus diberikan agar lebih mandiri, tidak lagi
hanya berfungsi sekadar konco wingking (teman dapur), sebuah tradisi yang
sangat menyiksa selama ini. Fatwa ulama wahabi atas penyiksaan kaum hawa ini
sungguh bertanggung jawab atas ketidakadilan gender ini.
Ekspor wahabisme ke berbagai bagian dunia
sejak 30 tahun terakhir ini yang telah menimbulkan bencana dalam bentuk
terorisme, tindak kekerasan, bom bunuh diri, dan perbuatan jahat lainnya
memang harus dihentikan. Tetapi, apakah rezim Saudi sekarang benar-benar
sungguh dalam pernyataannya, masih perlu kita tunggu pada hari-hari
mendatang.
Tetapi, yang agak mencemaskan adalah
kemungkinan perang saudara sesama pangeran di negeri itu. Semoga situasi
tidak akan semakin memburuk, karena dampaknya akan sangat besar dalam
konstelasi politik global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar