Tembagapura,
Cerita Lama Usang
Freddy Numberi ; Tokoh Masyarakat Papua
|
KOMPAS,
29 November
2017
Sejak adanya pengamanan di kawasan bisnis
Freeport, selalu muncul masalah dengan masyarakat adat setempat atau orang
asli Papua.
Pendulangan emas sisa tailing buangan
Freeport juga menjadi rebutan antara orang asli Papua (OAP) dan pendatang.
Awal pengamanan di sekitar Freeport dilakukan oleh TNI, tetapi kemudian
digantikan oleh Polri. Pengalaman dari para pendulang di sekitar area
Freeport, saat terjadi konflik antara masyarakat asli Papua dan saudara
pendatangnya, pasti OAP kalah, karena aparat keamanan “membeking” para
pendatang.
OAP yang merupakan pemilik tanah adat/hak
ulayat itu akhirnya tersingkirkan sehingga mereka merasa didiskriminasi oleh
aparat keamanan. Demikian juga dalam konflik yang terjadi di Kali Kabur
antara para pendulang yang akhirnya membuat warga desa Banti dan Kimbely,
Tembagapura, tidak bisa keluar dari desanya.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian
menyatakan bahwa konflik seperti di Kimbeley dan Banti sudah sering terjadi.
Pernyataan tersebut tentunya bersumber pada pengalaman Kepala Polri yang
pernah menjabat sebagai Kapolda Papua pada 2012.
Kapolres Timika AKBP Victor Dean Mackbon
membantah dan menyatakan bahwa 1.300 warga setempat itu tidak disandera.
Mereka bebas, tetapi tidak bisa keluar dari kedua desa tersebut. Dari informasi yang ada, konflik di
Kimbeley dan Banti makin jelas dan gamblang bahwa motifnya sama seperti
konflik-konflik yang lalu di kawasan bisnis Freeport, yaitu ekonomi.
Cukup banyak pendatang yang menetap di sana
dan selama satu dekade mendulang emas dari limbah olahan PT Freeport
Indonesia bekerja sama dengan OAP. Sangat menarik juga untuk menyimak
pernyataan Komisaris Besar (Kombes) Polisi Ahmad Mustofa Kamal kepada CNN
Indonesia: “Rombongan yang belum lama ini mengepung dua desa, dipicu rasa
tidak puas atau skema bagi hasil, sehingga mereka intimidasi dan meminta
jatah atau bagian”.
Melihat perilaku dari konflik sebagai suatu
proses tawar-menawar berguna bagi kita agar tidak menjadi sibuk secara
eksklusif dan terjebak dalam kepentingan-kepentingan sempit (Thomas C
Schelling, 1980). Hal ini sejalan dengan amanat Presiden Jokowi untuk meraih
Papua Tanah Damai.
Merangkul
OAP
Harusnya gubernur melalui Forum Komunikasi
Pimpinan Daerah-di mana di dalamnya ada Pangdam dan Kapolda-merumuskan
langkah kebijakan bersama yang diambil dalam rangka proteksi bagi OAP, tetapi
juga membuka ruang bagi saudaranya yang pendatang untuk ikut menikmati “kue
ekonomi” tersebut. Misalnya OAP saja yang mendulang, kemudian saudaranya yang
pendatang hanya membeli dari OAP.
Di samping itu pendulangan emas yang
tadinya ilegal, harus dilegalkan menjadi bisnis rakyat kecil OAP agar mereka
bisa menghidupi keluarganya dalam rangka mengeliminasi akar masalah yang ada,
yaitu kesenjangan ekonomi.
Di sisi lain, bisnis Freeport meraih
keuntungan sangat besar, sementara masyarakat asli Papua yang tinggal di
sepanjang Kali Kabur dan Ajkwa hanya bisa meraup sisa-sisa tailing untuk bisa
bertahan hidup di tanah leluhurnya yang diberikan Tuhan kepada nenek moyang
mereka secara turun-temurun. Mereka tidak pernah merasakan hidup sebagai
rakyat Indonesia dalam alam yang merdeka karena dimarjinalisasi dan
didiskriminasi.
Jangan biarkan rakyat mencari jalan dalam
“rimbanya sendiri”, yang akhirnya memicu konflik dan kemudian aparat keamanan
diturunkan, tetapi akhirnya di rekayasa menjadi isu politik sehingga
buntutnya OAP menjadi korban. Akhirnya terkesan Papua sebagai wilayah yang
tidak aman.
Sejak integrasi 1 Mei 1963 hingga 1 Mei
2017, selama 54 tahun, pemerintah tidak berhasil “meng-Indonesiakan orang
Papua dan gagal dalam merebut hati dan pikiran orang Papua” sebagai bagian dari
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar