Upaya
Menembus Pentas Dunia
Anton Kurnia ; Koordinator Program Pendanaan Penerjemahan
Komite Buku Nasional
|
KOMPAS,
22 November
2017
Buku adalah khazanah
pengetahuan dan jendela dunia. Sebuah buku yang baik bahkan bisa mengubah
hidup seseorang, merevolusi cara berpikir dan sikap mentalnya.
Karena itu, tak berlebihan jika
dikatakan bahwa buku dan hak baca untuk semua adalah fundamen penting dalam
semboyan revolusi mental yang dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo
sejak 2014.
Setelah 72 tahun Indonesia
merdeka, bagaimanakah situasi perbukuan nasional? Secara umum harus diakui
kita masih ketinggalan dari banyak negara lain. Dari sisi produktivitas
menerbitkan buku, menurut data 2016, angka 44.000 judul setahun jelas sangat
kecil dibandingkan jumlah penduduk kita yang sekitar 260 juta jiwa. Sekadar
contoh, Malaysia yang penduduknya jauh lebih sedikit, produksi bukunya hampir
separuh produksi kita, yakni sekitar 19.000 judul setahun.
Artinya, apabila
diperbandingkan dengan jumlah penduduk, Indonesia memproduksi 169 judul/juta
jiwa, sedangkan Malaysia 639 judul/juta jiwa atau lebih dari tiga kali lipat
produksi kita. Bahkan, Vietnam memiliki rasio lebih baik daripada kita, yakni
273 judul buku/juta jiwa.
Begitu pula jumlah penjualan
buku nasional, dalam setahun hanya sekitar 18 juta eksemplar. Artinya, bisa
digambarkan secara kasar bahwa dalam setahun hanya ada 7 dari 100 orang
Indonesia yang membeli buku. Itu pun hanya satu eksemplar!
Mungkin masalah sesungguhnya
tak terletak pada minat baca, tetapi lebih pada soal kemudahan akses
mendapatkan buku dan bacaan yang tak hanya baik, juga murah, dan terjangkau.
Karena itu, gerakan penyebaran 30.000 buku ke pelosok negeri dan pembebasan
biaya pengiriman buku ke taman bacaan masyarakat yang digagas Presiden Joko
Widodo menjadi amat bermakna.
1.000 judul buku
Salah satu yang perlu dicatat
dalam dunia perbukuan nasional adalah momen saat Indonesia dipercaya menjadi
tamu kehormatan Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Terlepas dari berbagai
kontroversi yang sempat merebak, di pameran buku tertua dan terbesar di dunia
itu, Indonesia unjuk gigi memperkenalkan kekayaan intelektual dan merebut
perhatian internasional. Kita membuka mata dunia bahwa Indonesia juga
memiliki buku-buku yang bermutu dan layak disejajarkan dengan karya terbaik
lainnya dari berbagai belahan dunia.
Selama FBF 2015, lebih dari 400
judul buku terbitan penerbit Indonesia diminati oleh penerbit asing untuk
dipertimbangkan pembelian hak terjemahannya. Satu kemajuan yang layak dicatat
mengingat sebelumnya kita biasanya hanya menjadi konsumen buku-buku asing.
Hal ini menunjukkan besarnya potensi dan daya saing industri kreatif Indonesia di kancah
internasional.
Setelah FBF 2015 usai, momentum
itu dipelihara dengan dibentuknya Komite Buku Nasional (KBN) oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan pada awal 2016. KBN berupaya melanjutkan
hasil-hasil yang telah dicapai selama FBF 2015, sekaligus membina ekosistem
perbukuan kita secara sistematis dan berkesinambungan melalui program yang
meliputi pameran di berbagai pesta buku internasional terkemuka. Sebutlah
seperti Bologna Children’s Book Fair (terbesar di dunia untuk buku anak), FBF
(terbesar dan tertua di dunia), London Book Fair (terbesar untuk pasar buku
berbahasa Inggris), Sharjah International Book Fair (terbesar di Timur
Tengah), Beijing International Book Fair (terbesar di Asia), dan Indonesia
International Book Fair.
Diselenggarakan pula program
residensi, mengirim para penulis terbaik Indonesia ke berbagai belahan dunia
untuk melakukan riset, menulis, dan menjalin jejaring internasional. Tahun
ini, misalnya, dikirim 21 penulis ke empat benua selama 1-3 bulan, antara
lain, ke AS, Jerman, Perancis, Inggris, Meksiko, Finlandia, Australia, dan
Polandia.
Selain itu, diluncurkan program
LitRI, yakni pendanaan terjemahan ke berbagai bahasa bagi buku-buku karya
penulis Indonesia yang akan diterbitkan oleh penerbit di luar negeri di
sejumlah negara, demi mempromosikan karya anak bangsa dan menembus pentas
dunia. Tahun ini, berhasil didanai terjemahan 30 judul buku ke berbagai
bahasa asing, antara lain, Mandarin, Inggris, Jepang, Arab, Jerman, dan
Perancis. Juga dilakukan berbagai lokakarya untuk meningkatkan
profesionalitas dan kompetensi para insan perbukuan nasional, antara lain,
lokakarya penulisan buku anak yang mengundang narasumber terkemuka
internasional.
Hasilnya sangat menggembirakan.
Jika pada masa lalu penerbit di Indonesia hanya menjadi konsumen yang membeli
hak cipta buku asing di berbagai pameran buku internasional untuk
diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kini kita telah mampu berdiri sejajar
dengan bangsa lain sebagai bangsa yang mampu menyumbang intelektualitas dan
karya sastra di pentas dunia.
Ini tentu saja angin segar bagi
dunia perbukuan, literasi, dan intelektual kita. Sudah sepatutnya pemerintah
mendukung program-program semacam ini demi mempromosikan kekayaan intelektual
dan budaya kita. Dan, kita berharap, ini menjadi program jangka panjang yang
sistematis dan berkelanjutan.
Menurut data mutakhir, selama
lima tahun terakhir sejak kita melakukan langkah-langkah penting untuk
mempromosikan kekayaan literasi di pentas dunia, kita telah berhasil menjual
1.008 hak terjemahan buku karya penulis Indonesia dari berbagai genre (fiksi,
nonfiksi, buku anak, dan komik) ke berbagai negara dan diterjemahkan ke
beragam bahasa. Yang lebih menggembirakan, grafiknya makin meningkat dari
tahun ke tahun.
Sementara itu, jika dihitung
dengan buku-buku yang diminati dan sedang dipertimbangkan pembelian hak
terjemahannya oleh berbagai penerbit asing, dicapai angka 3.161 judul. Sebuah
angka yang amat fantastis! Itu jelas satu kemajuan yang luar biasa. Apalagi
jika diingat bahwa tujuh tahun silam, misalnya, kita bisa dibilang hanya menjadi
konsumen di dunia perbukuan.
Dengan prestasi internasional
yang melejit dalam lima tahun terakhir, amat wajar jika Indonesia menarik
perhatian dunia. Salah satu kabar baik, Indonesia akan menjadi market focus
country di London Book Fair 2019. Menjadi market focus country di London Book
Fair sama membanggakannya dengan menjadi tamu kehormatan di FBF. London Book
Fair adalah salah satu pameran buku terbesar dan paling potensial di dunia.
Diplomasi budaya
Seiring dengan itu, para
penulis Indonesia makin diperhitungkan di pentas dunia lewat buku yang telah
diterjemahkan ke beragam bahasa asing. Di antaranya Eka Kurniawan yang
menjadi nomine Man Booker International Award pada 2016 lewat Man Tiger hasil
terjemahan Labodalih Sembiring. Eka yang karyanya telah diterjemahkan ke
lebih dari 25 bahasa asing menyejajarkan diri dengan para pemenang Hadiah
Nobel Sastra, seperti Orhan Pamuk yang juga menjadi nomine lewat novel
Strangeness in My Mind. Itu sekaligus merupakan diplomasi budaya yang efektif
dalam memperkenalkan kekayaan kultural dan intelektual bangsa kita.
Untuk menghasilkan prestasi
serupa, bahkan yang lebih baik dari itu, kita perlu lebih banyak
menerjemahkan karya-karya terbaik kita ke dalam berbagai bahasa penting
dunia. Dengan demikian, buku-buku karya para penulis kita akan dikenal,
dibaca, dan ditelaah secara lebih serius. Karena itu, program penerjemahan
sastra dan pengembangan kapasitas para penulis Indonesia perlu didukung
segenap pemangku kepentingan dalam ekosistem literasi. Selain itu, kita pun
perlu terus menerjemahkan karya-karya penting dalam bahasa asing ke bahasa
Indonesia agar penulis kita senantiasa belajar dari karya-karya terbaik
dunia.
Kita juga perlu mendorong
terciptanya iklim perbukuan yang lebih baik agar lebih banyak lagi buku-buku
karya penulis Indonesia dapat berjaya menembus pentas dunia di masa depan.
Upaya itu, termasuk antara lain dengan menghapus PPN 10 persen untuk buku.
Di tengah sengkarut politik
yang tak berkesudahan, kita percaya bahwa kita ini sesungguhnya adalah bangsa
yang besar dan amat berpotensi menyumbang karya-karya penting bagi peradaban,
antara lain, melalui buku-buku bermutu karya penulis Indonesia yang
diterjemahkan dan diterbitkan di berbagai penjuru dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar