Kepastian
Hukum dan Demokrasi
Lambang Trijono ; Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM
|
KOMPAS,
22 November
2017
Penanganan kasus korupsi KTP
elektronik yang begitu berlarut itu tak terelakkan berimplikasi memperlemah
perkembangan demokrasi. Konsekuensi politik yang ditimbulkan itu penuh tensi
dan begitu bercabang sehingga perlu ketepatan respons tersendiri dalam
mengatasinya.
Perkara korupsi KTP-el itu
semestinya memperkuat pembelaan kita terhadap hak-hak asasi warga dalam
mendapatkan identitas politiknya sebagai warga negara. Namun, sayang,
persoalan penting itu luput dari perhatian publik—bahkan dalam jalannya
sidang pengadilan—sehingga terasa praktik hukum berlangsung kurang mendapat
legitimasi.
Memenuhi aspek legalitas saja
tak cukup bagi berjalannya sebuah praktik hukum. Legalitas harus dilengkapi
legitimasi untuk terciptanya sebuah tatanan sosial yang nyata. Kepastian
hukum tidak bisa hanya didasarkan pada faktisitas suatu perkara atau suatu
kejadian, tetapi juga harus bersandar pada validitasnya berdasar prinsip dan
nilai berlaku dalam kehidupan publik.
Di alam demokrasi, hukum harus
mengindahkan validitasnya berdasar prinsip dan nilai demokrasi. Terasa begitu
naif kalau kita menjalankan praktik hukum terisolasi atau terlepas dari
sistem politik berlaku.
Validitas hukum penanganan
tindak pidana korupsi itu kita pertanyakan karena implikasi politik yang
ditimbulkan terasa begitu membahayakan perkembangan demokrasi. Dari berbagai
praktik selama ini, mulai dari penangkapan di ranah private hingga
penyelidikan atau penyidikan yang begitu predetermined, terasa prinsip
penghormatan hak asasi manusia atau warga negara dan demokrasi kurang
diindahkan. Padahal, kita tahu, keduanya tidak boleh dilanggar dalam
bernegara berdasarkan konstitusi.
Sejauh ini, telah sekian ratus
penyelenggara negara di daerah, yang terpilih secara demokratis, terkena
kasus korupsi. Kita pun luput menghitung kerugian penyelenggaraan pemerintahan
yang ditimbulkan. Terutama dari terhentinya penciptaan fasilitas publik dan
pelayanan publik yang seharusnya diberikan kepada warga negara akibat
tersangkanya pejabat publik. Belum lagi soal kerugian strategis karena
pejabat pengganti tak bisa mengeluarkan kebijakan strategis di daerah.
Sementara hilangnya kemanfaatan
berlipat ganda dari penyedia fasilitas dan pelayanan publik itu belum
tergantikan, praktik hukum tindak pidana korupsi dalam banyak hal telah
menimbulkan komplikasi politik-hukum tersendiri. Khusus terkait berlarutnya
penanganan kasus korupsi KTP-el, hal itu tak hanya menghambat pembentukan
politik kewarganegaraan, tetapi juga telah memperlemah bekerjanya lembaga
demokrasi.
Implikasi politik yang
ditimbulkan dari berlarutnya penanganan kasus korupsi KTP-el itu, yang diduga
melibatkan anggota DPR, dan bahkan kini ketuanya jadi tersangka, sungguh
membahayakan masa depan demokrasi.
Nalar publik
Arah kecenderungan dari
implikasi berlarutnya praktik hukum tindak pidana korupsi itu menjadikan negeri
ini terasa terus dihadapkan pada situasi darurat politik. Situasi demikian
jelas membahayakan demokrasi karena ia akan mempersempit kebebasan dan
mempertebal kesewenangan otoritas kekuasaan dalam mengambil kebijakan.
Sejauh ini, sebuah kejanggalan politik
memang sedang berlangsung. Selama 10 tahun terakhir, kita menyaksikan ruang
publik sehari-hari dipenuhi suasana riuh penanganan kasus korupsi dan
berjubelnya massa di Gedung KPK dan di ruang sidang pengadilan. Sementara
diskusi dan debat politik bermutu di gedung parlemen dalam pengambilan
kebijakan terasa semakin sepi.
Kita juga menyaksikan perubahan
sedang terjadi dalam topografi politik kita. Paradigma berpikir membuat
perencanaan partisipatoris, melakukan pengawasan, dan monitoring serta evaluasi—untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik, sebagai sebuah cara paling elegan untuk
meniadakan korupsi—terasa kian hilang. Semua itu menegaskan, sesungguhnya
krisis demokrasi sedang berlangsung di negeri ini.
Namun, kita percaya, demokrasi
tidak akan pernah kehilangan daya aktualitas dan aktivasinya untuk
memperbarui diri. Kekuatan terbesar tak terbantahkan dari demokrasi adalah
kemampuannya memproduksi nalar publik yang berkembang dari proliferasi
kebebasan dan kesetaraan yang dijalankan dalam praktik politik. Termasuk di
sini berkembangnya nalar publik dalam pembuatan hukum atau legislasi.
Didorong pula kemajuan
teknologi komunikasi, berkembangnya nalar publik itu akan membuat demokrasi
semakin mendapatkan statusnya yang khusus dalam melakukan perlawanan terhadap
segala bentuk dominasi. Bukan hanya terhadap dominasi hukum teokrasi, bahkan
terhadap hukum bersumber dari otoritas melalui pembalikan asas bukan otoritas
melainkan kebenaran yang membuat hukum, veritas non auctoritas facit legem.
Perkembangan itu mengisyaratkan
pentingnya peninjauan ulang produk legislasi dijadikan acuan dalam penanganan
korupsi selama ini agar ke depan mendapatkan landasan nalar publik yang
berkualitas. Hanya dengan cara demikian, UU penanganan korupsi akan mendapat
basis kesadaran politik nasional yang kuat di kemudian hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar