Tragedi
Mesir
Smith Alhadar ; Penasihat The Indonesian Society for Middle
East Studies(ISMES); Direktur Eksekutif Institute for Democarcy Education
|
MEDIA
INDONESIA, 28 November 2017
SEJAK militer pimpinan Jenderal Abdul
Fattah el-Sisi melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Mohammad Morsi
dari Ikhwanul Muslimin (IM) yang terpilih secara demokratis pada 2013, Mesir
masuk ke lingkaran kekerasan tak berkesudahan. Tragedi paling akhir yang
melanda Mesir adalah pembunuhan 305 orang jamaah salat Jumat di Masjid
Al-Raudhah, Desa Bir el-Abd, Semenanjung Sinai, pada 24 November lalu.
Tidak ada kelompok yang mengklaim
bertanggung jawab atas peristiwa berdarah itu. Tapi sebelumnya, beberapa
serangan di wilayah Sinai diklaim kelompok Wilayah Sinai yang berafiliasi
dengan Islamic State (IS). Di kawasan ini memang bersarang sejumlah kelompok
ekstremis, seperti Wilayah Sinai, Gerakan Hasm, Jundul Islam, Takfir Wal
Hijra, Anshar al-Syariah, Brigade al-Furqan, dan Ajnad Misr. Al-Qaeda juga
berkembang di sana melalui Al-Tawhid al-Jihad dan Brigade Abdullah Azzam..
Kelompok-kelompok bersenjata itu tidak
hanya melakukan kekerasan di Sinai. Mereka juga menyerang Kota Kairo,
Alexandria, dan provinsi lain. Semua kelompok itu menganut ideologi Salafi
radikal, yang intoleran terhadap kelompok agama lain, bahkan sesama muslim
yang tidak sealiran dengan mereka. Mereka memandang rendah karya seni,
membatasi kapasitas Islam untuk berubah sesuai dengan tuntutan zaman,
memaksakan akidah pada orang lain, dan anti terhadap sufisme.
Bir al-Abd dikenal sebagai pusat tarekat Sufi terbesar di Sinai Utara. Adapun Masjid al-Raudhah merupakan tempat ibadah kaum penganut Sufi.
Ada tiga kemungkinan motif yang melatarbelakangi
serangan bom dan senjata otomatis itu. Pertama, serangan dilakukan sebagai
buntut konflik internal masyarakat Semenanjung Sinai, yakni antara kelompok
radikal dengan kaum pengikut aliran Sufi. Kelompok yang disebut terakhir ini
selama ini dikenal sebagai pihak yang tidak berpolitik, antikekerasan, dan
menolak kelompok radikal.
Kedua, kelompok radikal menuduh kelompok
penganut tarekat Sufi bekerja sama dengan petugas keamanan dan pihak militer
dalam memberikan informasi tentang aktivitas mereka. Ketiga, kelompok
ekstremis ingin menghancurkan ekonomi Mesir. Pariwisata adalah satu dari tiga
sektor yang sangat diandalkan Mesir untuk menggerakkan ekonominya. Pada 2008,
misalnya, pemerintah Mesir meraup US$11 miliar dari 12,8 juta turis asing
yang datang ke negara itu. Sektor ini juga menyerap 12% dari total angkatan
kerja Mesir. Resor Sharm el-Sheikh dan Teluk Aqaba di Semenajung Sinai
merupakan objek wisata Mesir yang paling digemari wisatawan manca negara,
selain piramida tentunya. Dengan adanya serangan dahsyat yang mengerikan itu
bisa dipastikan akan menurunkan jumlah wisatawan yang datang ke Mesir, yang
pada gilirannya akan mengganggu ekonomi negara.
Memang Semenajung Sinai yang merupakan
pegunungan dan terdapat sejumlah goa tempat para ekstremis bersembunyi
menyulitkan petugas keamanan dan militer menumpas mereka. Tapi, upaya-upaya
kontraterorisme Mesir selama ini lebih bersifat reaksioner. Jika ada
serangan, baru militer bergerak. Setelah melancarkan beberapa serangan,
operasi berhenti. Padahal Mesir menempatkan sekitar 50.000 pasukan di Sinai.
Ini sama besar dengan jumlah pasukan di sana saat terjadi perang dengan
Israel tahun 1967. Operasi militer berkelanjutan dan kontraterorisme yang
komprehensif perlu dilakukan.
Hal lain ialah pengentasan kemiskinan. Tak
kurang dari 40% masyarakat Mesir hanya hidup dengan US$2 sehari dan rakyat di
Sinai merupakan yang termiskin di Mesir. Kemiskinan memudahkan kelompok
ekstremis melakukan perekrutan. Sementara itu, korupsi merajalela, standar
hidup stagnan, dan ketiadaan trickle down effect akibat sistem ekonomi yang
ekstraktif, yaitu sistem yang tertutup, mengisap, dan mengeksploitasi rakyat.
Selain itu, hal yang juga perlu
diperhatikan pemerintah Mesir ialah pengembangan sikap toleransi terhadap
kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Pemerintah sering kali membiarkan
luasnya intoleransi umat Islam. Ini dapat dilihat pada hasil survei Pew
Global Attitude 2010 di mana 84% orang Mesir mendukung hukuman mati bagi
mereka yang murtad, 77% mendukung hukuman cambuk dan potong tangan bagi yang
mencuri, dan 82% mendukung hukuman rajam bagi pezinah.
Penahanan dan pengadilan yang tidak fair
terhadap puluhan ribu anggota IM, yang sebagian dijatuhkan hukuman mati dan
seumur hidup, ikut menimbulkan kekecewaan yang luas di kalangan umat Islam
Mesir. Apalagi legitimasi Presiden el-Sisi sendiri tidak kuat. Dalam pilpres
2014 di mana el-Sisi menang, hanya 46% pemilik hak suara yang datang ke kotak
suara. Pengikut IM memboikot hajat nasional itu. El-Sisi perlu berdialog
dengan Morsi dan pentolan IM lain yang sedang dipenjarakan untuk mencari
jalan keluar bagi krisis politik Mesir. Tanpa rekonsiliasi dengan IM,
perbaikan kehidupan ekonomi rakyat, dan pengembangan toleransi, Mesir akan
terus dihantui aksi kekerasan yang membusukkan bangsa Mesir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar