Kemudahan
Berusaha di Era Joko Widodo
A Zen Umar Purba ; Dosen Program Pascasarjana FHUI;
Arbiter Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI)
|
KOMPAS,
22 November
2017
Sejak 2003, barulah pada era
Presiden Joko Widodo ini peringkat
kemudahan berusaha naik hingga ke-72.
Demikian yang tertuang dalam laporan Bank Dunia dalam
Doing Business 2018, yang
baru diterbitkan bulan ini.
Posisi Indonesia ini melompati
19 jenjang dari posisi ke-91 dalam
Doing Business (DB) 2017. Sekadar
catatan, DB dikeluarkan sekitar dua bulan mendahului laporan tahun
bersangkutan.
Dari 2003 (sewaktu DB pertama kali diterbitkan) hingga 2016,
peringkat RI senantiasa berada di atas
100. Padahal, negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand selalu di bawah
50, dan Singapura di nomor 1. Yang menarik,
pada waktu itu praktis tak pernah
terdengar kegelisahan di
kalangan petinggi pemerintahan perihal
situasi ini. Pada masa Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pernah
terlontar keinginan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa agar
peringkat tersebut bisa di bawah
100.
Ketika tahun lalu RI berada di
posisi ke-91, naik dari 109 pada tahun sebelumnya (DB 2016), Jokowi masih menyatakan keinginannya agar RI bisa mencapai tangga ke- 40. Kendati
tangga itu belum tercapai, angka
72 sekarang sudah merupakan lompatan
luar biasa. Semua orang tahu upaya yang telah dan sedang dilakukan
presidennya dalam melancarkan dunia
bisnis. Badan keuangan dunia itu pun sebetulnya hanya mengakui dan
mengesahkan pengetahuan umum tersebut.
Jadi, tidak masalah meski Malaysia dan Thailand masih tetap di atas RI, masing-masing di
peringkat ke-24 dan ke-26.
Terima kasih advokat
Kemudahan berusaha
ditetapkan berdasarkan penilaian atas 10 area atau bidang, yakni pembukaan
usaha, perizinan jasa konstruksi, penyambungan listrik, akses kredit,
perlindungan investor minoritas,
pendaftaran properti, pembayaran pajak, perdagangan lintas negara, pelaksanaan
kontrak oleh badan peradilan, dan penyelesaian proses kepailitan. Tiap-tiap
area atau bidang diberi bobot sendiri
sehingga pada akhirnya melahirkan
peringkat keseluruhan.
Dari 10 bidang yang berperingkat jelek, yang berada di
atas 100, pelaksanaan kontrak patut dibahas. Pelaksanaan kontrak ini
masih berada di peringkat ke-145, yang sebetulnya patut disyukuri juga
karena sudah lebih baik daripada tahun
sebelumnya yang ada di peringkat ke-166.
Terdapat tiga unsur dalam
bidang pelaksanaan kontrak, yaitu
jangka waktu, biaya, dan kualitas putusan.
Untuk jangka waktu, RI tak jauh berbeda dari Malaysia dan Thailand
dengan catatan Bank Dunia tak mendefinisikan
arti jangka waktu itu: apakah
hanya sampai putusan tingkat pertama atau sudah pada tingkat
final dan mengikat.
Terkait kualitas, putusan badan peradilan di Malaysia lebih
baik, yakni angka 12 dari skala 0-18. Yang mencolok adalah unsur
biaya, sebab untuk 2018, biaya
mencapai 70,3 persen dari total klaim,
di Malaysia cuma 37,3 persen dan Thailand 16,9 persen. Namun, kita
senang juga lantaran persentase
70,3 persen ini masih lebih baik daripada tahun sebelumnya, yaitu 115,7 persen. Kalau diurai lagi, biaya ini terdiri atas biaya pelaksanaan putusan (11 persen), biaya badan peradilan (13
persen), dan biaya advokat (50 persen). Biaya advokat ini lebih rendah daripada tahun lalu yang mencapai 90 persen dari jumlah klaim. Tentu, terima kasih kepada advokat Indonesia.
APS/ADR
Kualitas putusan yudisial ini terdiri atas unsur-unsur proses dan struktur badan peradilan (3 dalam skala 1-5),
manajemen kasus (2 dalam skala 0-6),
serta otomasi (0,5 dalam skala 0-4). Yang patut
disyukuri, baiknya kinerja alternatif penyelesaian sengketa/APS
(alternative dispute resolution/ADR)
yang mendapat nilai 2,5 (dari skala 0-3) satu hal yang
nyata dilakukan para pencari keadilan dewasa ini.
Untuk penyempurnaan bidang
pelaksanaan kontrak, Bank Dunia
mencatatkan beberapa hal.
Misalnya, perlunya mengembangkan sistem manajemen elektronik,
memperluas jaringan pengadilan
khusus, serta mengembangkan penggunaan
APS/ADR.
Layak diketahui,
untuk DB 2018, Bank Dunia menghimpun laporan dari 43.000 profesional,
umumnya hukum, seperti advokat, jaksa,
hakim, dan dosen yang tersebar di 190
negara. Dengan penerbitan DB, badan dunia ini sekaligus ingin menguji kualitas struktur hukum dan kekuatan
institusi hukum di mancanegara.
Bagi kita, DB
mudah-mudahan akan bisa melecut
gerakan reformasi hukum yang berusaha mendekatkan diri ke
pembangunan ekonomi. Misalnya,
di bidang korporasi saat ini
sedang dikaji penggunaan sistem e-voting
untuk rapat umum pemegang saham (RUPS)
PT Tbk. Misalnya lagi, saat ini
bidang hak kekayaan intelektual (HKI) sedang
menyusun satu strategi nasional
pengembangan dan komersialisasi konsep HKI, yang diperlukan semua pihak, termasuk investor, asing
maupun nasional.
Sebaliknya, ada yang
masih mengganjal. Salah satunya adalah kewajiban ditulisnya
kontrak privat dalam bahasa
Indonesia, yang tiada hubungannya dengan nasionalisme bahasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar