Tiga
Tahun Politik Jokowi-JK
Fachry Ali ; Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan
Pengembangan
Etika Usaha (LSPEU)
Indonesia
|
KOMPAS,
28 November
2017
Mungkin, sudut pandang paling “tepat”
menilai aspek politik-ekonomi tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo
dan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah dengan melihat sejauh mana negara mampu
memetik keuntungan secara maksimal dalam pola permainan tata “baru” ekonomi
internasional dan pendalaman kehadiran negara ke dalam percaturan ekonomi
nasional.
Yang pertama adalah lapangan di mana negara
harus berhadapan dengan sekian banyak variabel yang tak bisa dikontrol
(uncontrolable variables). Yang kedua lapangan di mana negara memegang kontrol
utama. Usaha menjelaskan keduanya akan memberikan pemahaman obyektif tentang
keberadaan politik-ekonomi Indonesia di bawah Jokowi-JK.
Rezim
globalisme terbelah?
Tentu, frasa “rezim globalisme terbelah”
(fractured globalism regime) ini tidak tepat benar dikenakan di sini. Hanya
saja, saya terinspirasi menggunakannya setelah membaca frasa “Europe’s New
Order”, judul berita The Economist (30/9/2017), yang menggambarkan potensi
perubahan peta kepemimpinan ekonomi Eropa jika usaha reformasi Presiden Perancis
Emmanuel Macron dapat dilaksanakan.
Reformasi yang lebih mengarahkan ekonomi
Perancis ke wilayah “pasar” ini tidak hanya akan menggeser dominannya
perekonomian Jerman di bawah Angela Merkel di Eropa, tetapi juga ditandai
kemunculan “Trumponomics”, kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat Donald
Trump yang mengambil “jalan menyimpang” dari arus globalisasi. Yang terakhir
ini adalah renungan Trump yang ingin mengembalikan apa yang disebut Steven
Rosefielde dalam “Trump’s Populist America” (2017) sebagai keadilan sosial
Amerika (America’s social justice) ?seperti berlaku 1960-an.
Dalam konteks ini bukan saja ada kenangan
“keluarga lebih penting ketimbang kosmopolitanisme” (family was more
important than cosmopolitanism), melainkan preseden proteksionisme negara
atas kesejahteraan buruh. Globalisasi, dalam pandangan Trump, telah merenggut
“kedamaian keluarga” dan “kesejahteraan” dari kelas buruh AS. Inilah latar
belakang slogan America first. Sebagai realisasi konkretnya, bersama Partai
Republik, Trump mengajukan sistem perpajakan baru, disebut Tri Winarno dalam
“Beware of the US ‘tax amnesty'” (The Jakarta Post, 30/10), sebagai
territorial tax system.
Sistem baru ini secara tak langsung
bersifat nasionalistik karena, di samping menurunkan pajak usaha hingga 35
persen dari 39 persen sebelumnya, mendorong korporasi multinasional negara
itu membangun markas besar mereka di negeri itu. Dengan yang terakhir itu,
Trump berusaha menghalau balik dana korporasi AS yang-dalam arus deras
globalisasi dan sistem perpajakan lama terpencar-pencar di sejumlah
negara?-ke negeri asalnya.
Dengan mengecualikan peranan ekonomi China,
kombinasi fenomena Europe’s New Order dan Trumponomics inilah saya gunakan
frasa rezim globalisme terbelah, yaitu sebuah tata perekonomian internasional
yang ditandai tarik-menarik struktur permainan tingkat supra-negara antara
globalisme dan nasionalisme ekonomi. Karena permainan di dalam struktur itu
adalah aktor-aktor negara raksasa, maka melebihi rezim globalisme murni,
variabel-variabel yang direproduksi rezim globalisme terbelah ini lebih
bersifat uncontrolable (tak terkendali).
Bukankah, untuk sementara, sifat
nasionalistik Trumponomics akan berjalan seiring dengan kecenderungan bank
sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga, karena perekonomian negara itu
membaik dan tingkat inflasi telah melebihi dua persen? Bukankah gubernur bank
sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) Mario Draghi, seperti ditulis
Financial Times (27/10/2017), walau menolak kepastian penghentian program stimulatifnya,
menurunkan dana quantitative easing (QE) tahun depan dari 60 miliar euro
menjadi 30 miliar euro sebulan? Konsekuensinya, bukankah kombinasi
Trumponomics, kecenderungan The Fed menaikkan suku bunga, dan tindakan
reduksi QE ECB itu berpotensi mendorong arus modal keluar dan sekaligus
menghambat ekspansi modal ke wilayah perekonomian berkembang (emerging
economies), di mana Indonesia termasuk salah satu di antaranya?
Kendati demikian, dalam situasi di mana
variabel-variabel yang tak bisa dikontrol produk tata “baru” ekonomi
internasional menjadi kian kompleks, perekonomian Indonesia relatif terjaga.
“Secara umum,” ujar Luis E Breur, Ketua Tim Dana Moneter Internasional (IMF)
yang mengetuai evaluasi perekonomian Indonesia tahun ini, “berjalan sangat baik.
Ketika membandingkan Indonesia dengan negara lain, kami melihat pertumbuhan
ekonomi Indonesia sebesar 5 persen cukup tinggi.” (Kompas, 15/11/2017)
Pernyataan itu berjalan seiring dengan
evaluasi Bank Dunia yang, dalam Laporan Kemudahan Usaha 2018, menaikkan
peringkat Indonesia ke posisi ke-72 dari 190 negara.
Ini, seperti diberitakan Kompas
(2/11/2017), berarti sebuah lonjakan “tinggi” mengingat pada 2016 status
kemudahan usaha di Indonesia masih berada pada peringkat ke-109. Kemampuan
mengelola dan menjaga ekonomi makro (inflasi yang terkendali di bawah 4
persen, defisit neraca ekspor-impor barang dan jasa yang terkendali di level
2-2,5 persen sepanjang 2015- 2017, defisit fiskal di bawah 2,8 persen dari
PDB, rasio utang terhadap PDB sebesar 35 persen, dan cadangan devisa yang
mencapai 128 miliar dollar AS) telah meyakinkan dunia akan “ketepatan”
kebijakan ekonomi Indonesia di bawah Jokowi-JK. Karena itu, tak pula
mengherankan jika Forum Ekonomi Dunia menaikkan peringkat Indeks Daya Saing
Indonesia dari 41 ke 36 dari 137 negara (Kompas, 30/9/2017).
Pendalaman
peran negara?
Yang paling dramatis dan menjadi ciri khas
produk kebijakan ekonomi Jokowi-JK adalah asumsi pelaku usaha swasta bahwa
peranan negara dalam perekonomian nasional kian mendalam. Tentang apakah peta
peran ekonomi negara-swasta telah berubah dengan kebijakan itu tentu perlu
studi lebih lanjut. Untuk sementara dapatlah dikatakan bahwa usaha negara
hadir dalam perekonomian lapisan bawah terlihat dari kebijakan kredit usaha
rakyat (KUR) yang kian ekspansif dan mendalam. Jika sepanjang 2007-2014
alokasi KUR mencapai Rp 178,85 triliun, maka pada 2016 saja telah mencapai Rp
94,4 triliun. Dan target penyaluran KUR tahun ini meningkat menjadi Rp 110
triliun.
Penetrasi negara ke dalam perekonomian
rakyat ini kian mengalami “diversifikasi” karena keragaman kategori KUR.
Sebab, di samping KUR mikro dan KUR ritel, kredit ini juga dialokasikan
kepada tenaga kerja Indonesia (Kompas, 2/10/ 2017). Ditambah dengan alokasi
dana Rp 283,7 triliun untuk penanggulangan kemiskinan dan dukungan pada
masyarakat berpendapatan rendah dalam APBN 2018, termasuk dana desa Rp 60
triliun, secara teoretis, peran negara dalam perekonomian rakyat kian
menguat.
Namun, tangan negara juga menguat pada
“lapisan atas” perekonomian nasional. Ini terjadi sebagai konsekuensi program
pembangunan infrastruktur masif yang dilakukan negara. Dalam situasi di mana
dukungan daya fiskal terbatas untuk mencapai tujuan itu, BUMN telah bertindak
sebagai “kuasi fiskal” untuk merealisasikan program pembangunan tipikal
Jokowi-JK. “The growing domination of state-owned enterprises (SOEs),” tulis
The Jakarta Post (4/10), “has become the recurrent issue that it raised over
and over again during the tenure of President Jokowi, who came to power in 2014.”
Secara tak terasa, melalui BUMN di bawah Menteri BUMN Rini Soemarno, peranan
negara dalam perekonomian nasional mengalami pendalaman dan perluasan
dibandingkan periode-periode sebelumnya.
Makna
politik
Pembentukan perusahaan induk dalam industri
pertambangan di bawah PT Inalum akan kian membuat kehadiran negara ?sebagai
aktor ekonomi terasa. Sebab, 9,1 persen saham pemerintah di PT Freeport
Indonesia akan dikuasakan kepada PT Inalum. Tindakan ini tidak hanya
memperkuat tangan negara di dalam dunia pertambangan, tetapi juga
memungkinkan industri pertambangan Indonesia menjadi “raksasa dunia”
pascadivestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia.
Kecuali hal-hal yang bersifat “politik
murni”, perkembangan ekonomi Indonesia di bawah Jokowi-JK telah memperkuat
legitimasi dan penerimaan negara di dalam sistem demokrasi. Di dalam beberapa
hal, tingkat legitimasi dan penerimaan publik ini telah berpreseden di zaman
Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014).
Hal yang membedakannya adalah pemerintahan
Yudhoyono itu berlangsung di bawah payung solid globalism regime (rezim
globalisme yang menyatu) yang, melalui krisis finansial global pada 2008,
telah memfasilitasi ekspansi modal aktor-aktor ekonomi negara-negara maju ke
wilayah emerging markets. Ini, secara langsung atau tidak, telah membantu
pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebagaimana
dikesankan Wolfgang Streeck dalam How Will Capitalism End (2017), jenis rezim
dunia ini ditandai oleh lembeknya otoritas politik global yang tak mampu
mengendalikan arus atau aliran modal demi kepentingan pemilik modal itu
sendiri.
Di bawah Jokowi-JK, manajemen ekonomi
nasional harus berlangsung di bawah payung “rezim globalisme terbelah”. Di
dalam rezim ini, otoritas politik global sedang berusaha mengoreksi
“kelemahan-kelemahan” globalisme melalui kebijakan ekonomi, seperti terlihat
pada Trumponomics, bersifat nasionalistik. Pada saat yang sama, aktor global
lainnya, Uni Eropa, sedang mengurangi program stimulus finansialnya.
Bergabung dengan kecenderungan The Fed menaikkan suku bunga acuannya, secara
tak langsung otoritas-otoritas politik global mulai mengerahkan kekuasaan
untuk mengendalikan gerak-langkah para pemilik modal raksasa. Pengenaan
territorial tax system dalam Trumponomics jelas memperlihatkan usaha
pengendalian otoritas politik global atas lalu lintas modal ini.
Di sini kita melihat “keberhasilan” tiga
tahun manajemen ekonomi nasional di bawah Jokowi-JK dalam usaha menyesuaikan
diri ke dalam rezim global yang berubah itu sebagai sebuah langkah “tak
berpreseden”. Sebab, pada tingkat tertentu, perekonomian nasional tetap
sintas (survive) kendati harus berhadapan dengan variabel-variabel yang tak
bisa dikontrol yang diproduksikan perubahan rezim global itu. Dan melalui
BUMN yang bertindak sebagai “kuasi fiskal” dalam program pembangunan
infrastruktur masif, selama tiga tahun ini kita menyaksikan “kebangkitan”
peran ekonomi negara. Berbeda dengan tuduhan kebijakan ekonomi neoliberalisme
Jokowi-JK selama ini, protes pihak swasta akan kian mendalamnya peranan BUMN
dalam ekonomi nasional membuktikan sebaliknya.
Akan tetapi, di atas segalanya, berbeda
dengan Yudhoyono yang menguasai Partai Demokrat, stabilitas ekonomi yang
terjaga dan menguatnya peran negara dalam perekonomian ditempuh Jokowi-JK dalam
absennya kontrol mereka atas partai-partai politik. Sebab, bukankah Jokowi
dan JK sama-sama tak memiliki partai politik? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar