Teka
Teki Islam di Amerika
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara Foundation
|
REPUBLIKA,
27 November
2017
Banyak orang yang semakin tahu tentang
Islam di Amerika semakin pula terbingung-bingung. Terjadi paradoks yang
nyata. Di satu sisi semakin tertantang, di sisi lain juga semakin maju.
Semakin diburukkan oleh media dan politisi semakin dikenal oleh masyarakat
luas. Semakin berusaha disembunyikan semakin menampakkan diri.
Lalu apa sesungguhnya yang terjadi? Banyak
jawaban terhadap teka-teki ini. Tapi, beberapa di antaranya dapat disampaikan
sebagai berikut:
Satu, Islam itu bagaikan air. Akan bergerak
terus menerus membawa kehidupan. Justeru di saat tergenang air akan membusuk.
Oleh karenanya, Islam sebagai kebenaran tidak akan pernah terhenti begerak
membawa kebaikan, kedamaian, ketentraman, dan peradaban.
Dan jangan pernah mengidentikkan Islam
dengan pemeluknya. Justeru tidak jarang pemeluknyalah yang menjadikan Islam
nampak stagnan (tergenang) sehingga nampak buruk. Tapi, yakinlah Islam itu
akan terus bergerak menyebarkan cahayanya, keindahannya, dan membangun
kehidupan yang lebih sehat dan baik.
Jika ada Islam yang diakui selain itu, maka
itu bukan Islam. Jika Islam diakui sebagai kekerasan, pembunuhan dan
terorisme, maka itu adalah antitesis dari Islam. Dan pelaku yang mengakuinya
adalah musuh pertama dan terbesar bagi Islam itu sendiri.
Dua, panggilan batin. Sejak lama warga
Amerika merasakan kerinduan batin yang dalam. Kemajuan materi yang didukung
oleh kemajuan teknologi, dan dipercepat oleh alat informasi yang semakin
canggih dan di luar kontrol menjadikan hidup manusia bergelimang dengn
kemewahannya.
Gemerlap dunia yang seolah datang memenuhi
nafsu serakah manusia itu ternyata semakin membawa kegersangan batin. Sebab
sampai kapanpun manusia tidak akan pernah terlepas dari kebutuhan dasar
kemanusiannya. Selama perut masih merasakan lapar, selama itu pula batin akan
merasakan lapar dan dahaga. Sehingga ketika perut terisi, tapi batin kosong
maka manusia akan menjadi liar. Seolah hebat secara fisik, namun sejatinya
mereka sedang meradang kesakitan.
Dalam situasi seperti inilah Islam
dirindukan untuk menawarkan “healing” (pengobatan). Bukankah memang itu janji
Alquran: “syifaa limaa fis-shuduur” (obat jiwa).
Sesungguhnya agama-agama semuanya
memberikan tawaran yang sama. Kalau kita lihat misalnya, praktek meditasi
menjadi agama dengan perkembangan tertinggi kedua setelah Islam di Amerika.
Karena meditasi bisa memberikan kepuasan batin bagi kaum profesional dan
kaya. Sehingga jangan heran jika Dalai Lama menjadi figur yang didewakan di
kalangan warga Hollywood.
Hanya saja warga Amerika yang rasional,
berpendidikan dan maju dalam pemikiran, kurang bisa menerima ajaran yang
memisahkan antara kepuasan batin, rasionalitas dan juga kemajuan materi. Di
sinilah kemudian Islam bisa menjadi alternatif. Karena Islam menjembatani
antara akal dan hati, fisik dan ruh. Alquran mendefenisikan ulul albab
sebagai “orang-orang yang selalu mengingat Allah dan berfikir tentang
penciptaan langit dan bumi”.
Artinya dengan dua kekuatan ini, manusia
akan mampu membangun dunia yang lebih baik. Itulah kekuatan zikir
(spiritualitas) dan kekuatan fikir (intelektualitas). Ketika salah satunya
terabaikan maka akan terjadi ketimpangan hidup yang pada akhirnya hanya
mambawa kepada penderitaan yang tidak nampak.
Tiga, didukung oleh tingkat rasionalitas
yang mapan. Agama itu dasarnya iman. Tapi iman itu berproses melalui akal
manusia. Dan karenanya akal menjadi sangat penting dalam proses tumbuhnya
iman di hati manusia. Ketika iman dipaksakan akan terjadi pemberontakan akal,
yang pada akhirnya akan menumbuhkan kepura-puraan dan juga keragu-raguan.
Beberapa waktu lalu saya satu panggung
dengan Karen Amstrong, ahli agama-agama dari Inggris, di sebuah diskusi di
kota New York. Tema diskusi ketika itu adalah “The Nothingness”. Kira-kira
penggambaran tentang ketiadaan, kehampaan, dan pada akhirnya hanya ada satu
yang ada: Yang Maha Ada (Tuhan). Salah satu pertanyaan moderator ke beliau
adalah: Anda ahli dalam semua agama. Kalau agama-agama itu adalah makanan,
kira-kira makanan apa yang paling lezat?
Jawaban beliau pintar dan penuh diplomasi.
Beliau mengatakan: “saat ini saya masih sedang mempelajari resep dari semua
makanan itu”. Tapi kemudian beliau menyambung: “Tapi saya jujur, bahwa agama
Islam adalah agama yang sangat rasional. Walau saya menemukan banyak orang
Islam yang kurang rasional”.
Mendengar itu saya di satu sisi bangga.
Tapi, di sisi lain malu. Bangga kalau agama Islam itu memang rasional. Semua
dimulai dengan “iqra”. Tapi, dalam berpikir dan bersikap seringkali
pengikutnya menanggalkan rasionalitasnya. Tapi, malu dan mengakui betapa umat
ini kerap kali kurang rasional dalam berpikir dan bersikap.
Di sinilah kenapa Islam begitu mudah
diterima warga Amerika. Karena di saat Islam terekspos secara benar, maka
Islam akan sangat mudah diterima. Wajar saja jika agama ini dipersepsikan
sedemikian rupa sebagai agama yang irasional. Kerap kali melalui prilaku dan
pikiran pengikutnya yang memang kurang rasional.
Empat, pertemuan substansi kebenaran yang
sama. Saya tidak membandingkan agama dan negara. Sebab, memang langit dan
bumi berbeda. Tapi, ketika air dari langit dan tanah bumi yang subur menyatu,
maka akan tumbuh tanaman-tanaman segar, yang buahnya akan dinikmati oleh
manusia.
Di sinilah terjadi pertautan antara
kebenaran samawi Islam dan kesunuran nilai-nilai bumi Amerika. Dua nilai
kebenaran yang dengan mudah menyatu dan menumbuhkan kebajikan besar dalam
kehidupan manusia. Ajaran Islam dan nilai-nilai Amerika (American values)
adalah dua hal seirama. Keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, dan perjuangan
mencari kebahagiaan adalah nilai-nilai yang diajarkan keduanya.
Maka, ketika Islam yang sesungguhnya terekspos,
masyakat Amerika akan melihatnya bukan sebagai sesuatu yang dicurigai dan
dilihat sebagai ancaman. Justeru Islam hadir sebagai konfirmasi nilai-nilai
kebaikan yang sudah lama hadir dalam masyarakat Amerika.
Hal ini juga menyangkut kemajuan peradaban
manusia. Kemajuan materi Amerika dan Barat secara umum tidak perlu terancam
dengan kehadiran Islam. Sebaliknya justeru Islam hadir sebagai pelengkap bagi
kemajuan materi yang sudah ada. Melengkapi nilai-nilai maknawi, yang
dengannya kemajuan materi itu akan membawa kepada hasil diimpikan. Yaitu
terwujudnya: pursuit of happiness (mencari kebahagiaan).
Ringkasnya, Islam dengan segala
tantangannya akan selalu eksis dan maju di Amerika. Justeru yang diperlukan
Islam di Amerika saat ini adalah agar masyarakat Muslim di dunia Islam mampu
merepresentasi kebenaran dan keindahan Islam dalam kenyataan hidup. Jika
tidak maka Kebenaran dan keindahan Islam ini akan tertutupi oleh representasi
yang buruk itu. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar