Menghadapi
Era Disrupsi
Muhammad Nur Rizal ; Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan;
Ketua Grup Riset
Digital Literasi DTETI UGM
|
REPUBLIKA,
24 November
2017
Dunia hari ini sedang menghadapi fenomena
disruption (disrupsi), situasi di mana pergerakan dunia industri atau
persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahannya sangat cepat, fundamental
dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru.
Disrupsi menginisiasi lahirnya model bisnis
baru dengan strategi lebih inovatif dan disruptif. Cakupan perubahannya luas
mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat, hingga
pendidikan. Era ini akan menuntut kita untuk berubah atau punah.
Tidak diragukan lagi, disrupsi akan
mendorong terjadinya digitalisasi sistem pendidikan. Munculnya inovasi
aplikasi teknologi seperti Uber atau Gojek akan menginspirasi lahirnya
aplikasi sejenis di bidang pendidikan.
Misalnya MOOC, singkatan dari Massive Open
Online Course serta AI (Artificial Intelligence). MOOC adalah inovasi
pembelajaran daring yang dirancang terbuka, dapat saling berbagi dan saling
terhubung atau berjejaring satu sama lain.
Prinsip ini menandai dimulainya
demokratisasi pengetahuan yang menciptakan kesempatan bagi kita untuk
memanfaatkan dunia teknologi dengan produktif.
Sedangkan AI adalah mesin kecerdasan buatan
yang dirancang untuk melakukan pekerjaan yang spesifik dalam membantu
keseharian manusia. Di bidang pendidikan, AI akan membantu pembelajaran yang
bersifat individual.
Sebab, AI mampu melakukan pencarian
informasi yang diinginkan sekaligus menyajikannya dengan cepat, akurat, dan
interaktif. Baik MOOC maupun AI akan mengacak-acak metode pendidikan lama.
Kegiatan belajar-mengajar akan berubah
total. Ruang kelas mengalami evolusi dengan pola pembelajaran digital yang
memberikan pengalaman pembelajaran yang lebih kreatif, partisipatif, beragam,
dan menyeluruh.
Evolusi pembelajaran yang ditawarkan oleh
MOOC dan AI akan memunculkan pertanyaan kritis, "Masih relevankah peran
guru ke depan?"
Chief Executive Officer TheHubEdu, Tiffany
Reiss berpendapat, guru memiliki peran penting dalam melakukan
kontekstualisasi informasi serta bimbingan terhadap siswa dalam penggunaan
praktis diskusi daring.
Jack Ma, pendiri Alibaba, perusahaan
transaksi daring terbesar di dunia juga mengatakan, fungsi guru pada era
digital ini berbeda dibandingkan guru masa lalu.
Kini, guru tidak mungkin mampu bersaing
dengan mesin dalam hal melaksanakan pekerjaan hapalan, hitungan, hingga
pencarian sumber informasi. Mesin jauh lebih cerdas, berpengetahuan, dan
efektif dibandingkan kita karena tidak pernah lelah melaksanakan tugasnya.
Karena itu, fungsi guru bergeser lebih
mengajarkan nilai-nilai etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman hingga
empati sosial karena nilai-nilai itulah yang tidak dapat diajarkan oleh
mesin. Jika tidak, wajah masa depan pendidikan kita akan suram.
Guru perlu untuk memulai mengubah cara
mereka mengajar, meninggalkan cara-cara lamanya serta fleksibel dalam
memahami hal-hal baru dengan lebih cepat. Teknologi digital dapat membantu
guru belajar lebih cepat dan lebih efektif untuk berubah dan berkembang.
Mereka akan lebih cakap mengubah pelajaran
yang membosankan dan tidak inovatif menjadi pembelajaran multi-stimulan
sehingga menjadi lebih menyenangkan dan menarik. Pertanyaannya adalah apakah
guru-guru saat ini telah disiapkan untuk menghadapi perubahan peran ini?
Ini bukan hanya persoalan mengganti kelas
tatap muka konvensional menjadi pembelajaran daring.
Namun yang lebih penting adalah revolusi
peran guru sebagai sumber belajar atau pemberi pengetahuan menjadi mentor,
fasilitator, motivator, bahkan inspirator mengembangkan imajinasi,
kreativitas, karakter, serta team work siswa yang dibutuhkan pada masa depan.
Hal
ini memerlukan inisiatif pemerintah untuk menata ulang arah kebijakan
pendidikannya mulai dari paradigma, kurikulum, assessment hingga sistem
rekrutmen serta metode pengembangan profesionalitas guru di pendidikan dasar
ataupun pendidikan tinggi.
Sayangnya, kebijakan saat ini belum mampu
menjawab kebutuhan pendidikan pada masa depan. Misalkan kurikulum dan
assessment, sistemnya masih berorientasi penguasaan materi akibatnya
pengajaran guru lebih berorientasi pada peningkatan nilai akademis siswa.
Orientasinya bukan pada aspek karakter atau
kompetensi yang dibutuhkan di abad ke-21, seperti berpikir kritis,
kreativitas, komunikasi, kolaborasi, hingga pemecahan masalah. Karena itu,
perombakan kebijakannya harus komprehensif mulai dari hulu hingga hilir.
Di hulu, paradigma pendidikannya harus
digeser dari pendidikan yang menstandardisasi ke pendidikan berbasis keunikan
individu. Paradigma yang baru ini tidak menuntut capaian belajar yang
diseragamkan, tetapi diberi ruang untuk tumbuh secara berbeda.
Sedangkan di hilir, guru dikembangkan untuk
lebih melek teknologi digital serta memiliki ketrampilan mengajar
'metakognisi', yakni mengajarkan siswa bagaimana cara belajar yang benar agar
dapat menjadi pembelajar mandiri pada era persaingan yang kompetitif.
Dalam taksonomi Bloom yang direvisi David
Krathwohl tahun 1991, ranah metakognisi meliputi enam tingkatan kecerdasan
akademis, yakni mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi,
dan mencipta (creating).
Sistem pengajaran saat ini tidak dirancang
untuk menjalankan enam tingkatan kecerdasan metakognisi itu.
Pembelajaran metakognisi mensyaratkan
ekosistem belajar positif yang mampu memfasilitasi siswa mengenali dirinya
sendiri serta mampu mengelola perilaku dan karakter diri. Untuk itu, peran
guru lebih untuk membimbing siswa mengembangkan bakat atau potensi yang
dimiliki.
Perubahan mendasar pada peran tersebut
menuntut sistem perencanaan guru yang baru agar mutu dan profesionalitas guru
sesuai tuntutan pendidikan ke depan.
Kinerja guru bukan semestinya hanya diukur
pada uji kompetensi guru yang lebih bersifat teoritis dan administratif,
melainkan kemampuannya untuk menghadirkan ekosistem pendidikan yang
memanusiakan dan memerdekakan.
Ekosistem tersebut akan membuat siswa
bergairah dalam belajar serta gigih dalam memenangkan pertarungan pada abad
digital. Dan ekosistem itu membutuhkan guru dengan mindset baru, kaya inovasi
atau konten pembelajaran, fleksibel, serta adaptif terhadap perubahan dunia
yang sangat cepat.
Jika semua kualitas itu terpenuhi, tidak
akan ada keraguan tentang pentingnya guru pada era disrupsi ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar