Kamis, 30 November 2017

Indonesia dan Perjanjian Perdagangan WTO

Indonesia dan Perjanjian Perdagangan WTO
Huala Adolf ;  Ketua Pusat Studi Hukum Perdagangan Internasional dan Arbitrase Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
                                                    KOMPAS, 29 November 2017



                                                           
Ditolaknya permohonan banding Indonesia terhadap putusan Majelis Banding (Appellate Body) dari Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai produk pangan RI melahirkan tanggapan cukup hangat.

Putusan majelis panel dan banding WTO ini dipandang sebagai bukti bahwa perjanjian perdagangan membatasi keleluasaan negara di dalam membuat kebijakan perdagangannya. Sebagai reaksi dari putusan itu, ada pandangan agar kita menolak perjanjian perdagangan internasional, Kompas (13/11).

Tanggapan atau reaksi di atas ada benarnya. Putusan majelis banding DSB menguatkan putusan majelis panel sebelumnya. Putusan majelis panel WTO antara lain mengharuskan RI mengubah kebijakan perdagangan pangannya terkait impor pangan (seperti termuat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan). Selandia Baru dan kemudian AS turut serta dalam mengajukan gugatan ini di panel penyelesaian sengketa WTO.

Keharusan menaati putusan majelis panel adalah sebagai konsekuensi dari keikutsertaan RI pada perjanjian WTO. RI telah memutuskan ikut dalam perjanjian perdagangan multilateral WTO pada 1994.

Benar pula bahwa dengan keikutsertaan RI pada perjanjian WTO, keleluasaan negara di dalam membuat kebijakan perdagangannya tidaklah bebas lagi.  Sedikitnya ada tiga mekanisme yang membatasi keleluasaan negara ini. Pertama, dengan ikut sertanya pemerintah dalam perjanjian WTO, kebijakan perdagangan negara anggota, termasuk RI, diwajibkan harus sama dengan prinsip-prinsip perdagangan terbuka WTO, seperti prinsip transparansi, prinsip nondiskriminasi, dan lain-lain.

Kedua, kebijakan perdagangan pemerintah pun wajib untuk ditinjau, dikoreksi, atau diverifikasi oleh WTO. Badan khusus WTO yang mengoreksi kebijakan perdagangan negara anggotanya adalah Trade Policy Review Body (TPRB). Badan ini mengoreksi kebijakan perdagangan negara-negara anggota secara berkala. Untuk negara berkembang ditinjau lima tahun sekali dan negara maju tiga tahun sekali.

Ketiga, negara anggota juga harus segera mengoreksi kebijakan perdagangannya apabila majelis panel WTO memutuskan supaya kebijakan atau peraturan perdagangan negara anggota ternyata diputuskan bertentangan dengan prinsip atau peraturan perdagangan WTO.

Ketiga mekanisme ini tampaknya mengekang atau mengendalikan kebijakan perdagangan negara anggotanya, termasuk RI. Wajar-wajar saja kalau kemudian ada suara atau pendapat yang menyatakan bahwa dengan ikutnya RI ke dalam perjanjian WTO ternyata merugikan kepentingan nasional di bidang perdagangannya.

Menolak perjanjian perdagangan?

Dengan adanya pengekangan di atas, apakah tepat kalau kita menolak perjanjian perdagangan ini? Keikutsertaan suatu negara menjadi anggota WTO dan kewajiban untuk segera menyesuaikan kebijakan perdagangannya, tidaklah bersifat diskriminatif. Persyaratan ini berlaku untuk semua negara anggota. Negara anggota WTO, baik negara berkembang yang merupakan mayoritas negara anggota WTO, maupun negara maju, tunduk pada persyaratan ini.

Dari tujuan yang hendak dicapainya, perjanjian WTO berupaya menciptakan terbukanya perdagangan dunia. Produk negara anggota, termasuk dari negara berkembang secara normatif tidaklah boleh dibatasi untuk masuk ke dalam pasar negara maju. Untuk mencapai kondisi ini, negara anggota terikat untuk tunduk pada perjanjian WTO dan perjanjian turunannya.

Upaya TPRB mengoreksi kebijakan perdagangan negara anggotanya pun tidaklah bersifat tebang pilih. Perjanjian WTO mensyaratkan semua negara anggota berkewajiban untuk dikoreksi kebijakan perdagangannya. Kebijakan ini dilakukan untuk memastikan agar kepatuhan semua negara anggota terhadap persyaratan penaatan tersebut dapat terpenuhi.

Adapun perintah untuk mengubah kebijakan perdagangan yang diperintahkan dalam putusan majelis panel DSB adalah putusan yang mengikat. Majelis panel mengeluarkan putusan guna memastikan agar kebijakan perdagangan negara anggotanya tidak bertentangan dengan aturan hukum dalam perjanjian WTO.

Kewajiban atau konsekuensi dari keikutsertaan pada perjanjian perdagangan internasional di atas juga memberi peluang positif untuk produk RI. Dengan adanya kewajiban atau syarat di atas, semua negara anggota perjanjian WTO secara normatif tidak boleh menghalangi masuknya produk RI ke pasar mereka.

Selama ini keikutsertaan RI di dalam perjanjian perdagangan internasional secara kualitatif telah memberi peluang cukup besar kepada produk RI. Perjanjian WTO telah membuka pintu pasar yang luas kepada produk RI di pasar 163 negara anggota WTO.

Implikasi putusan majelis panel WTO

Ditolaknya gugatan banding RI atas kebijakan produk pangan RI tidaklah perlu dipandang sebagai suatu hal yang minus. Putusan tersebut seharusnya menjadi introspeksi. Putusan seyogianya mendorong kita untuk mengoreksi kembali kebijakan kita selama ini, terutama di dalam proses pembuatan UU yang terkait dengan perdagangan internasional. Apakah di dalam proses pembuatan UU, di samping kepentingan nasional, ketentuan perdagangan internasional di mana RI telah terikat, sudah dipertimbangkan?

Perlu juga dipertimbangkan, apakah  di dalam proses penyusunan UU terkait perdagangan internasional, pendapat atau pandangan sarjana hukum perdagangan internasional yang sekarang sudah cukup banyak di Tanah Air telah didengar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar