Indonesia
dan Perjanjian Perdagangan WTO
Huala Adolf ; Ketua Pusat Studi Hukum Perdagangan
Internasional dan Arbitrase Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
|
KOMPAS,
29 November
2017
Ditolaknya permohonan banding Indonesia
terhadap putusan Majelis Banding (Appellate Body) dari Badan Penyelesaian
Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
mengenai produk pangan RI melahirkan tanggapan cukup hangat.
Putusan majelis panel dan banding WTO ini
dipandang sebagai bukti bahwa perjanjian perdagangan membatasi keleluasaan
negara di dalam membuat kebijakan perdagangannya. Sebagai reaksi dari putusan
itu, ada pandangan agar kita menolak perjanjian perdagangan internasional,
Kompas (13/11).
Tanggapan atau reaksi di atas ada benarnya.
Putusan majelis banding DSB menguatkan putusan majelis panel sebelumnya.
Putusan majelis panel WTO antara lain mengharuskan RI mengubah kebijakan
perdagangan pangannya terkait impor pangan (seperti termuat dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan). Selandia Baru dan kemudian
AS turut serta dalam mengajukan gugatan ini di panel penyelesaian sengketa
WTO.
Keharusan menaati putusan majelis panel
adalah sebagai konsekuensi dari keikutsertaan RI pada perjanjian WTO. RI
telah memutuskan ikut dalam perjanjian perdagangan multilateral WTO pada
1994.
Benar pula bahwa dengan keikutsertaan RI
pada perjanjian WTO, keleluasaan negara di dalam membuat kebijakan
perdagangannya tidaklah bebas lagi.
Sedikitnya ada tiga mekanisme yang membatasi keleluasaan negara ini.
Pertama, dengan ikut sertanya pemerintah dalam perjanjian WTO, kebijakan
perdagangan negara anggota, termasuk RI, diwajibkan harus sama dengan
prinsip-prinsip perdagangan terbuka WTO, seperti prinsip transparansi,
prinsip nondiskriminasi, dan lain-lain.
Kedua, kebijakan perdagangan pemerintah pun
wajib untuk ditinjau, dikoreksi, atau diverifikasi oleh WTO. Badan khusus WTO
yang mengoreksi kebijakan perdagangan negara anggotanya adalah Trade Policy
Review Body (TPRB). Badan ini mengoreksi kebijakan perdagangan negara-negara
anggota secara berkala. Untuk negara berkembang ditinjau lima tahun sekali
dan negara maju tiga tahun sekali.
Ketiga, negara anggota juga harus segera
mengoreksi kebijakan perdagangannya apabila majelis panel WTO memutuskan
supaya kebijakan atau peraturan perdagangan negara anggota ternyata
diputuskan bertentangan dengan prinsip atau peraturan perdagangan WTO.
Ketiga mekanisme ini tampaknya mengekang
atau mengendalikan kebijakan perdagangan negara anggotanya, termasuk RI.
Wajar-wajar saja kalau kemudian ada suara atau pendapat yang menyatakan bahwa
dengan ikutnya RI ke dalam perjanjian WTO ternyata merugikan kepentingan
nasional di bidang perdagangannya.
Menolak
perjanjian perdagangan?
Dengan adanya pengekangan di atas, apakah
tepat kalau kita menolak perjanjian perdagangan ini? Keikutsertaan suatu
negara menjadi anggota WTO dan kewajiban untuk segera menyesuaikan kebijakan
perdagangannya, tidaklah bersifat diskriminatif. Persyaratan ini berlaku
untuk semua negara anggota. Negara anggota WTO, baik negara berkembang yang
merupakan mayoritas negara anggota WTO, maupun negara maju, tunduk pada
persyaratan ini.
Dari tujuan yang hendak dicapainya,
perjanjian WTO berupaya menciptakan terbukanya perdagangan dunia. Produk
negara anggota, termasuk dari negara berkembang secara normatif tidaklah
boleh dibatasi untuk masuk ke dalam pasar negara maju. Untuk mencapai kondisi
ini, negara anggota terikat untuk tunduk pada perjanjian WTO dan perjanjian
turunannya.
Upaya TPRB mengoreksi kebijakan perdagangan
negara anggotanya pun tidaklah bersifat tebang pilih. Perjanjian WTO
mensyaratkan semua negara anggota berkewajiban untuk dikoreksi kebijakan
perdagangannya. Kebijakan ini dilakukan untuk memastikan agar kepatuhan semua
negara anggota terhadap persyaratan penaatan tersebut dapat terpenuhi.
Adapun perintah untuk mengubah kebijakan
perdagangan yang diperintahkan dalam putusan majelis panel DSB adalah putusan
yang mengikat. Majelis panel mengeluarkan putusan guna memastikan agar
kebijakan perdagangan negara anggotanya tidak bertentangan dengan aturan
hukum dalam perjanjian WTO.
Kewajiban atau konsekuensi dari
keikutsertaan pada perjanjian perdagangan internasional di atas juga memberi
peluang positif untuk produk RI. Dengan adanya kewajiban atau syarat di atas,
semua negara anggota perjanjian WTO secara normatif tidak boleh menghalangi
masuknya produk RI ke pasar mereka.
Selama ini keikutsertaan RI di dalam
perjanjian perdagangan internasional secara kualitatif telah memberi peluang
cukup besar kepada produk RI. Perjanjian WTO telah membuka pintu pasar yang
luas kepada produk RI di pasar 163 negara anggota WTO.
Implikasi putusan majelis panel WTO
Ditolaknya gugatan banding RI atas
kebijakan produk pangan RI tidaklah perlu dipandang sebagai suatu hal yang
minus. Putusan tersebut seharusnya menjadi introspeksi. Putusan seyogianya
mendorong kita untuk mengoreksi kembali kebijakan kita selama ini, terutama
di dalam proses pembuatan UU yang terkait dengan perdagangan internasional.
Apakah di dalam proses pembuatan UU, di samping kepentingan nasional,
ketentuan perdagangan internasional di mana RI telah terikat, sudah
dipertimbangkan?
Perlu juga dipertimbangkan, apakah di dalam proses penyusunan UU terkait
perdagangan internasional, pendapat atau pandangan sarjana hukum perdagangan
internasional yang sekarang sudah cukup banyak di Tanah Air telah didengar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar