Mengelola
Politik Identitas
Masdar Hilmy ; Dosen dan Wakil Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Ampel,
Surabaya
|
KOMPAS,
23 November
2017
Politik identitas diramalkan
bakal meramaikan panggung politik negeri ini di “tahun politik” 2018. Salah
satu karakteristik utama politik identitas adalah pemanfaatan isu-isu
keagamaan sebagai sarana meraih dukungan publik dalam proses kontestasi
politik. Yang perlu dipahami, di balik setiap riuh-rendah isu-isu sensitif:
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di ruang publik selalu ada
aktor-aktor politik yang berusaha mengeksploitasi, mengapitalisasi, dan
mengonversikannya menjadi suara elektoral (electoral vote).
Mengapitalisasi politik
identitas dalam aturan main demokrasi memang bukan pelanggaran hukum. Akan
tetapi, pemanfaatannya akan kontraproduktif dengan nilai-nilai intrinsik dan
substantif demokrasi, seperti toleransi, penegakan hukum, keadilan,
kesederajatan, kewarganegaraan dan politik akal sehat.
Riuh-rendah politik identitas
dipastikan hanya akan menguras energi bangsa dan menyeretnya ke dalam labirin
keterbelahan sosial-politik yang tak berujung. Terlebih lagi, politik
identitas cenderung menyingkirkan meritokrasi.
Strategi purba
Kendatipun tidak persis sama,
eksploitasi politik identitas di ruang publik sejatinya setali tiga uang
dengan politisasi aspek-aspek primordial seseorang (seperti simbol-simbol
agama dan kesukuan) di ruang publik. Keduanya melibatkan rasionalitas dalam
porsinya yang paling minimalis dan banal. Bedanya, politik identitas sering
kali bersifat kolektif dan mengakumulasi sisi sentimental-konatif dari
identitas kedirian seseorang. Dari sinilah politik pencitraan bekerja untuk
menjerat sisi-sisi persamaan identitas primordial kolektif sekelompok orang.
Dalam banyak kontestasi
politik, kapitalisasi suara elektoral dan dukungan politik melalui politik
identitas merupakan strategi purba yang masih tetap di andalkan oleh elite
politik kita. Hal ini karena politik identitas mampu membangkitkan sense of
belongingness di kalangan para penganutnya. Terlebih pada era digital seperti
sekarang ini, pengagregasian dukungan politik dapat dengan mudah dilakukan
melalui media sosial secara cepat, mudah dan masif. Berbagai upaya dilakukan,
termasuk menyebarkan kabar burung (hoaks) untuk mencapai tujuan jangka pendek
tertentu. Akibatnya, ruang publik kita dijejali oleh sampah sosial-politik
yang sering kali mendangkalkan nalar publik dan membelah masyarakat.
Sebenarnya preferensi dan
kanalisasi segala atribut keagamaan yang kemudian mengkristal jadi politik
identitas bukanlah aspek yang diharamkan dalam panggung politik demokrasi.
Politik identitas adalah efek samping dari kebebasan berserikat dan berkumpul
sebagaimana digaransi oleh demokrasi (Amy Gutmann, Identity in Democracy,
2009).
Namun, tingkat resepsi dan
resistensi sebuah gagasan yang bermuatan politik identitas akan berpulang
pada masyarakat sebagai pengambil keputusan akhir. Seiring semakin
meningkatnya rasionalitas publik, gagasan yang bagus (baca: memiliki
rasionalitas publik yang kuat) niscaya akan “dibeli” oleh masyarakat.
Sebaliknya, gagasan yang miskin rasionalitas publik akan diabaikan. Lambat
laun masyarakat akan mengenali dan menyadari keuntungan-kerugian pemanfaatan
politik identitas.
Oleh karena itu, sebaiknya
setiap elite politik tidak mengumbar politik identitas (keagamaan, kesukuan,
jender dan semacamnya) secara membabi-buta di ruang publik. Sebab, jika ini
yang terjadi, hiruk-pikuk wacana publik tentang politik identitas bisa
menjadi urusan keseharian yang menyedot energi bangsa. Terlebih di sebuah
negara yang tidak menganut asas pemisahan agama dari negara (sekularisme),
pemanfaatan politik identitas berbasis agama akan dengan mudah menimbulkan
kegaduhan.
Di negara-negara dengan tingkat
demokrasi mapan, seperti AS dan Eropa pun, persoalan politik identitas
berbasis agama masih jadi isu publik yang dapat mengancam stabilitas
sosial-politik. Persoalan riuh-rendahnya politik identitas hanya dapat
diatasi melalui kebijakan non-intervensi negara dengan cara mendahulukan
komunikasi dan dialog politik dengan pihak-pihak terkait ketimbang law
enforcement yang dipaksakan. Hal ini terjadi karena akar masalah politik
identitas sering kali terletak pada keterjarakan dan dislokasi sosial-politik
di antara pihak-pihak yang terlibat di satu pihak dengan negara di pihak
lain.
Strategi keluar
Dalam konteks kebijakan negara,
politik identitas jangan sampai menimbulkan favoritisme politik yang
menguntungkan pihak-pihak tertentu secara parsial. Favoritisme politik yang
dimaksudkan di sini adalah pelembagaan politik identitas dalam bentuk
kebijakan publik yang hanya menguntungkan segelintir orang. Dalam konteks
ini, favoritisme politik bisa berupa fund channeling kepada kelompok tertentu
sebagai akibat dari kebijakan negara yang “memihak” berdasarkan politik
identitas. Inilah yang menjadi tantangan politik paling serius bagi Indonesia
yang mengadopsi pilihan negara “bukan-bukan” (bukan agama dan bukan sekuler).
Lantas, bagaimana mengelola
politik identitas di tengah konstruksi negara “bukan-bukan” tersebut?
Pertama, setiap elite politik hendaknya memiliki tingkat kecerdasan,
sensitivitas, dan sensibilitas budaya terhadap berbagai isu sosial-politik
yang melingkupinya.
Sensitivitas dan sensibilitas
budaya dimaksud termanifestasi dalam bentuk tutur kata untuk menghindari
pilihan kata, diksi, atau kalimat yang dapat melukai perasaan sekelompok
orang. Seorang pemimpin yang bijak semestinya dapat mendayagunakan
kecerdasannya dalam memfilter, memilih dan memilah ujaran-ujaran yang dapat
mengayomi seluruh warganya.
Kedua, di tingkat akar rumput,
masyarakat kita harus diedukasi secara terus-menerus dalam rangka memperkuat
rasionalitas publik mereka. Termasuk dalam konteks ini adalah mengedukasi
agar mereka tidak memiliki “sumbu pendek” dalam merespons setiap isu sensitif
(SARA) di ruang publik.
Harus diakui, cepatnya
penyebaran berbagai bentuk hoaks di ruang publik kita disebabkan oleh
rendahnya rasionalitas publik yang kita miliki. Dalam ungkapan berbeda,
rendahnya tingkat literasi masyarakat kita turut bertanggung jawab dalam
menciptakan kegaduhan-kegaduhan yang dapat membelah masyarakat kita.
Ketiga, semua elemen
bangsa-utamanya aktor-aktor politik dan negara-harus mengambil peran aktif-partisipatif
dalam menguraikan “narasi tebal” politik yang melampaui sekat-sekat
primordialitas seseorang. Setiap dari kita harus senantiasa diingatkan konsep
dan praktik politik kita harus melampaui “narasi tipis” politik identitas.
Dan, tujuan akhir dari segala bentuk ingar-bingar politik keseharian adalah
terpenuhinya kesejahteraan lahir batin, bukan sekadar terpuaskannya aspek
sentimental primordialitas semata. Sudah saatnya kita lebih mengedepankan isi
dan kedalaman makna ketimbang kulit luar dari politik identitas dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar