Sabtu, 25 November 2017

Mengelola Politik Identitas

Mengelola Politik Identitas
Masdar Hilmy ;  Dosen dan Wakil Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Ampel, Surabaya
                                                    KOMPAS, 23 November 2017



                                                           
Politik identitas diramalkan bakal meramaikan panggung politik negeri ini di “tahun politik” 2018. Salah satu karakteristik utama politik identitas adalah pemanfaatan isu-isu keagamaan sebagai sarana meraih dukungan publik dalam proses kontestasi politik. Yang perlu dipahami, di balik setiap riuh-rendah isu-isu sensitif: suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di ruang publik selalu ada aktor-aktor politik yang berusaha mengeksploitasi, mengapitalisasi, dan mengonversikannya menjadi suara elektoral (electoral vote).

Mengapitalisasi politik identitas dalam aturan main demokrasi memang bukan pelanggaran hukum. Akan tetapi, pemanfaatannya akan kontraproduktif dengan nilai-nilai intrinsik dan substantif demokrasi, seperti toleransi, penegakan hukum, keadilan, kesederajatan, kewarganegaraan dan politik akal sehat.

Riuh-rendah politik identitas dipastikan hanya akan menguras energi bangsa dan menyeretnya ke dalam labirin keterbelahan sosial-politik yang tak berujung. Terlebih lagi, politik identitas cenderung menyingkirkan meritokrasi.

Strategi purba

Kendatipun tidak persis sama, eksploitasi politik identitas di ruang publik sejatinya setali tiga uang dengan politisasi aspek-aspek primordial seseorang (seperti simbol-simbol agama dan kesukuan) di ruang publik. Keduanya melibatkan rasionalitas dalam porsinya yang paling minimalis dan banal. Bedanya, politik identitas sering kali bersifat kolektif dan mengakumulasi sisi sentimental-konatif dari identitas kedirian seseorang. Dari sinilah politik pencitraan bekerja untuk menjerat sisi-sisi persamaan identitas primordial kolektif sekelompok orang.

Dalam banyak kontestasi politik, kapitalisasi suara elektoral dan dukungan politik melalui politik identitas merupakan strategi purba yang masih tetap di andalkan oleh elite politik kita. Hal ini karena politik identitas mampu membangkitkan sense of belongingness di kalangan para penganutnya. Terlebih pada era digital seperti sekarang ini, pengagregasian dukungan politik dapat dengan mudah dilakukan melalui media sosial secara cepat, mudah dan masif. Berbagai upaya dilakukan, termasuk menyebarkan kabar burung (hoaks) untuk mencapai tujuan jangka pendek tertentu. Akibatnya, ruang publik kita dijejali oleh sampah sosial-politik yang sering kali mendangkalkan nalar publik dan membelah masyarakat.

Sebenarnya preferensi dan kanalisasi segala atribut keagamaan yang kemudian mengkristal jadi politik identitas bukanlah aspek yang diharamkan dalam panggung politik demokrasi. Politik identitas adalah efek samping dari kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana digaransi oleh demokrasi (Amy Gutmann, Identity in Democracy, 2009).

Namun, tingkat resepsi dan resistensi sebuah gagasan yang bermuatan politik identitas akan berpulang pada masyarakat sebagai pengambil keputusan akhir. Seiring semakin meningkatnya rasionalitas publik, gagasan yang bagus (baca: memiliki rasionalitas publik yang kuat) niscaya akan “dibeli” oleh masyarakat. Sebaliknya, gagasan yang miskin rasionalitas publik akan diabaikan. Lambat laun masyarakat akan mengenali dan menyadari keuntungan-kerugian pemanfaatan politik identitas.

Oleh karena itu, sebaiknya setiap elite politik tidak mengumbar politik identitas (keagamaan, kesukuan, jender dan semacamnya) secara membabi-buta di ruang publik. Sebab, jika ini yang terjadi, hiruk-pikuk wacana publik tentang politik identitas bisa menjadi urusan keseharian yang menyedot energi bangsa. Terlebih di sebuah negara yang tidak menganut asas pemisahan agama dari negara (sekularisme), pemanfaatan politik identitas berbasis agama akan dengan mudah menimbulkan kegaduhan.

Di negara-negara dengan tingkat demokrasi mapan, seperti AS dan Eropa pun, persoalan politik identitas berbasis agama masih jadi isu publik yang dapat mengancam stabilitas sosial-politik. Persoalan riuh-rendahnya politik identitas hanya dapat diatasi melalui kebijakan non-intervensi negara dengan cara mendahulukan komunikasi dan dialog politik dengan pihak-pihak terkait ketimbang law enforcement yang dipaksakan. Hal ini terjadi karena akar masalah politik identitas sering kali terletak pada keterjarakan dan dislokasi sosial-politik di antara pihak-pihak yang terlibat di satu pihak dengan negara di pihak lain.

Strategi keluar

Dalam konteks kebijakan negara, politik identitas jangan sampai menimbulkan favoritisme politik yang menguntungkan pihak-pihak tertentu secara parsial. Favoritisme politik yang dimaksudkan di sini adalah pelembagaan politik identitas dalam bentuk kebijakan publik yang hanya menguntungkan segelintir orang. Dalam konteks ini, favoritisme politik bisa berupa fund channeling kepada kelompok tertentu sebagai akibat dari kebijakan negara yang “memihak” berdasarkan politik identitas. Inilah yang menjadi tantangan politik paling serius bagi Indonesia yang mengadopsi pilihan negara “bukan-bukan” (bukan agama dan bukan sekuler).

Lantas, bagaimana mengelola politik identitas di tengah konstruksi negara “bukan-bukan” tersebut? Pertama, setiap elite politik hendaknya memiliki tingkat kecerdasan, sensitivitas, dan sensibilitas budaya terhadap berbagai isu sosial-politik yang melingkupinya.

Sensitivitas dan sensibilitas budaya dimaksud termanifestasi dalam bentuk tutur kata untuk menghindari pilihan kata, diksi, atau kalimat yang dapat melukai perasaan sekelompok orang. Seorang pemimpin yang bijak semestinya dapat mendayagunakan kecerdasannya dalam memfilter, memilih dan memilah ujaran-ujaran yang dapat mengayomi seluruh warganya.

Kedua, di tingkat akar rumput, masyarakat kita harus diedukasi secara terus-menerus dalam rangka memperkuat rasionalitas publik mereka. Termasuk dalam konteks ini adalah mengedukasi agar mereka tidak memiliki “sumbu pendek” dalam merespons setiap isu sensitif (SARA) di ruang publik.

Harus diakui, cepatnya penyebaran berbagai bentuk hoaks di ruang publik kita disebabkan oleh rendahnya rasionalitas publik yang kita miliki. Dalam ungkapan berbeda, rendahnya tingkat literasi masyarakat kita turut bertanggung jawab dalam menciptakan kegaduhan-kegaduhan yang dapat membelah masyarakat kita.

Ketiga, semua elemen bangsa-utamanya aktor-aktor politik dan negara-harus mengambil peran aktif-partisipatif dalam menguraikan “narasi tebal” politik yang melampaui sekat-sekat primordialitas seseorang. Setiap dari kita harus senantiasa diingatkan konsep dan praktik politik kita harus melampaui “narasi tipis” politik identitas. Dan, tujuan akhir dari segala bentuk ingar-bingar politik keseharian adalah terpenuhinya kesejahteraan lahir batin, bukan sekadar terpuaskannya aspek sentimental primordialitas semata. Sudah saatnya kita lebih mengedepankan isi dan kedalaman makna ketimbang kulit luar dari politik identitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar