Mencermati
Registrasi Kartu Prabayar
Abdul Salam Taba ; Alumnus Fakultas Hukum Universitas Bosowa 45
Makassar dan School of Economics The University of Newcastle, Australia
|
DETIKNEWS,
29 November
2017
Paradoks akibat kebijakan registrasi ulang
dan baru bagi pengguna kartu prabayar telepon selular (ponsel) yang
dikemukakan oleh Kepala Badan Intelijen Strategis TNI periode 2011-2013
Soleman B. Ponto, dalam kolom berjudul Mengkritisi Registrasi Kartu Seluler
(detikcom, 13/11/2017) menarik untuk dicermati. Kolom yang bermaksud
mengkritisi kebijakan proses pendaftaran ulang dan baru kartu prabayar yang
diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan Badan
Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sejak 2005 itu berpotensi
menyesatkan, dan menggiring masyarakat untuk berpikir antipati terhadap
kebijakan tersebut.
Dikatakan menyesatkan karena masyarakat
(pengguna ponsel dan media elektronik lainnya) yang tidak paham, apalagi
belum membaca regulasinya secara detail, akan mudah terpengaruh dan menilai
kebijakan tersebut membodohi dan merugikan pengguna kartu prabayar. Pandangan
Soleman yang menilai keharusan mengirim lampiran berupa formulir yang berisi
nama ibu kandung dapat menimbulkan kejahatan yang lebih dahsyat, sepintas
lalu tidak salah. Karena, nama ibu kandung merupakan data penting dan
bersifat rahasia (super password) yang dapat digunakan melakukan berbagai
tindakan kriminal, seperti penipuan dan kejahatan keuangan/perbankan.
Namun, kewajiban mengirim lampiran tersebut
dalam hal proses registrasi secara normal gagal --sebagaimana ditetapkan pada
Pasal 5 dan 8 Permenkominfo Nomor 14 Tahun 2017 tentang Perubahan atas
Permenkominfo Nomor 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa
Telekomunikasi-- sudah dibatalkan, dan secara yuridis dianggap tidak berlaku
lagi. Dengan demikian, pembatalan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (3)
Permenkominfo Nomor 21 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Permenkominfo
Nomor 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi itu
membuat penilaian Soleman yang menuding kebijakan registrasi ulang dan baru
kartu prabayar berpotensi memicu kejahatan yang lebih besar menjadi tidak
relevan, dan gugur dengan sendirinya.
Bila dicermati, kebijakan registrasi kartu
prabayar sejatinya bermanfaat meningkatkan perlindungan terhadap informasi
data pribadi, serta keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat. Karena dalam
proses registrasi, operator seluler (provider) hanya diberi hak akses membuka
dan mencocokkan nomor induk kependudukan (NIK) dengan nomor kartu keluarga
(KK) setiap pengguna atau pelanggannya.
Dengan kata lain, Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) --dalam hal ini Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil)
sebagai penghimpun dan pengelola data NIK dan KK-- hanya memberikan NIK dan
nomor KK kepada operator, bukan akses membuka database Dukcapil. Singkatnya,
akses yang diberikan kepada operator dalam proses validasi hanya sebatas
melihat nomor KK, tanpa bisa membuka isi atau data keluarga yang ada dalam
KK.
Berbeda dengan mekanisme pada awal
registrasi kartu prabayar diluncurkan pada 2005 yang dibuat semudah mungkin,
yang hanya mensyaratkan pengguna ponsel mengirim nama, alamat, dan data
lainnya kepada operator. Namun, belakangan data yang diterima operator banyak
yang fiktif. Terbukti, jumlah nomor aktif jauh melebihi jumlah penduduk (400
juta lebih nomor) sehingga sulit divalidasi oleh operator.
Karena itu, pemerintah (Kemkominfo, BRTI
dan Kemendagri cq. Dukcapil) membuat sistem registrasi baru yang simpel
dengan cara pengguna atau pelanggan seluler hanya diharuskan mengirim
identitas berupa NIK dan KK kepada operator. Secara teknis operasional,
proses registrasi berbasis data e-KTP ini membuat setiap nomor ponsel
tersingkronisasi dengan data penduduk yang terdapat di Dukcapil.
Penerapan sistem tersebut, selain data
pribadi pengguna atau pelanggan seluler aman dan terlindungi, penyalahgunaan
nomor ponsel pun lebih gampang dideteksi. Dalam arti, aksi teror dan penipuan,
kejahatan keuangan/perbankan, penyebaran hoax, ujaran kebencian dan konten
negatif, serta kebiasaan pakai buang kartu prabayar dapat dicegah, setidaknya
berkurang drastis.
Adanya kekhawatiran data pribadi mudah
dicuri dan disalahgunakan dengan alasan belum ada undang-undang khusus yang
melindungi data pribadi tampaknya tidak tepat. Sebab, implementasi kebijakan
registrasi kartu prabayar didasarkan pada berbagai peraturan perundang-undangan
yang sudah menjamin perlindungan terhadap data pribadi baik secara implisit
maupun eksplisit.
Secara implisit, peraturan dimaksud
tercantum dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, Pasal 32 UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Azasi Manusia, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Convention on Civil and Political Rights 1976. Sementara secara
eksplisit, aturan yang melidungi data pribadi terdapat dalam UU Nomor 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Untuk memudahkan penerapannya dalam
melindungi data pribadi, ditetapkan pula berbagai aturan pelaksanaan yang
secara hierarki lebih rendah dari UU. Regulasi dimaksud adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi
Elektronik, dan Permenkominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data
Pribadi dalam Sistem Elektronik.
Selain itu, Kemkominfo cq. Ditjen PPI
bersama para operator seluler terus berupaya memperbaiki mekanisme dan proses
registrasi. Caranya, dengan menyediakan layanan fitur Cek Nomor yang
berfungsi mencegah data pribadi (NIK dan KK) disalahgunakan oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab, termasuk upaya moratorium fitur disclimer
(www.kominfo.go.id, 22/11/2017).
Fitur Cek Nomor memungkinkan masyarakat
mengetahui NIK-nya telah digunakan untuk berapa nomor, sehingga bila
ditemukan nomor yang tidak dikenal terdaftar dengan data NIK dan KK miliknya,
masyarakat bisa langsung ke gerai melakukan unreg. Bagi pelanggan operator,
fitur ini bisa diakses paling telat 27 November 2017, sementara yang bukan
pelanggan paling lambat 31 Desember 2017.
Adapun fitur disclimer (pernyataan
kebenaran identitas) pada registrasi kartu prabayar secara mandiri melalui
SMS ini bertujuan mengantisipasi penggunaan data dan identitas yang tidak
benar. Seluruh operator diwajibkan melakukan moratorium layanan penggunaan
fitur 5 kali gagal+disclimer terhitung mulai 22 November 2017.
Bagi pelanggan yang sudah registrasi
mandiri via SMS tapi gagal, diminta cek format SMS (ketepatan data NIK dan
KK), serta konfirmasi ke Dinas Dukcapil setempat untuk memperoleh status dan
perbaikan NIK dan KK yang diperlukan. Adapun yang berhasil melakukan
registrasi via fitur disclimer diwajibkan registrasi ulang dengan NIK dan KK
paling telat 28 Pebruari 2018, baik secara mandiri atau lewat gerai resmi
(yang ditunjuk) operator.
Secara fungsional, kebijakan registrasi
berbasis pengiriman data NIK dan KK itu juga menguntungkan industri dan
operator seluler. Sebab, akan mengakhiri era pengguna atau pelanggan
"bodong" yang pulsanya nol, tetapi berakibat ARPU (average revenue
per user –-rata-rata pendapatan dari pelanggan) operator sangat rendah, hanya
berkisar Rp 23.000 per bulan.
Dalam arti, registrasi dengan prosedur data
NIK dan KK pelanggan dicocokkan (tervalidasi/terverifikasi) data Kemendagri,
akan menghasilkan jumlah pelanggan murni yang diperkirakan berkisar 170 juta
sampai 200 juta, sisanya akan diblokir. Bagi operator, angka pelanggan murni
itu akan membuat ARPU terkerek, sehingga industri menjadi lebih sehat.
Pun, memutus fenomena pelanggan pindah
operator (churn) akibat pemberian program promo secara jor-joran, padahal
promo membebani operator karena tarif layanannya di bawah biaya investasi dan
biaya operasi. Akibatnya, operator tidak perlu lagi bersaing menyerbu pasar
dengan beragam tawaran promo murah yang membebani para distributor karena
mereka yang harus menanggung selisih harga operator dan harga pasar.
Dari penjelasan singkat di atas dapat
disimpulkan bahwa kebijakan registrasi kartu prabayar berbasis data NIK dan
KK sejatinya berimplikasi ganda. Selain meningkatkan perlindungan terhadap
data pribadi, keamanan dan kenyamanan masyarakat (pengguna dan pelanggan
seluler) yang berdampak mencegah terjadinya berbagai tindakan kriminal, juga
akan membuat industri seluler lebih sehat dan menguntungkan para operator. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar